Luki memilih tempat duduk yang nyaman. Udara di ruangan itu penuh aroma campuran kopi hitam, tembakau, dan obrolan yang mulai memanas. Mas Luki, seorang akademisi sekaligus konsultan di Kemendesa, duduk di seberang saya sambil menyesap kopinya.
Senayan City sore itu ramai seperti biasa. Namun, di pojok sebuah kedai kopi dengan smoking area, saya dan Mas"Jadi, gimana kabar Satu Data Desa, Mas?" saya memulai pembicaraan.
Mas Luki tersenyum kecil, menyulut rokoknya sebelum menjawab. "Ah, Satu Data Desa. Program yang niatnya bagus, tapi ya gitu, selalu terhambat di eksekusi. Kayak kemarin, misalnya, masih banyak desa yang lebih milih bikin website mandiri daripada ikut program pemerintah seperti Sideka NG-nya Komdigi."
Saya mengangguk sambil menyeruput kopi. "Kenapa begitu, Mas? Padahal kan program kayak Sideka NG itu seharusnya bisa bikin desa lebih terintegrasi."
Mas Luki mengembuskan asap rokoknya pelan, lalu berkata, "Desa sebenarnya bukan nggak mau. Tapi mereka bingung juga. Kemendes sebenarnya sudah ngajak Kominfo kolaborasi lebih mendalam, sampai bikin MoU dan PKS sejak dua tahun lalu. Tapi apa? Komdigi bilang nggak mau kalau nggak ada Kemendagri. Eh, giliran Kemendagri diajak, mereka diam aja. Jadi ya batal semua."
Saya tertawa kecil, meskipun situasinya cukup menyedihkan. "Jadi ini semacam cerita gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah, ya?"
Mas Luki mengangguk sambil tersenyum pahit. "Tepat. Desa itu si pelanduknya. Lihat aja, mereka akhirnya bikin website sendiri-sendiri, tanpa integrasi. Padahal, niat awalnya bagus: semua data desa terpusat, terintegrasi, supaya gampang diakses untuk pembangunan."
"Kenapa sih, Mas, pemerintah nggak bisa saling sinkron? Kan sama-sama buat desa," saya bertanya, penasaran.
Mas Luki mengangkat bahu. "Ya, biasalah. Ego sektoral. Setiap kementerian merasa punya otoritas masing-masing, padahal masalahnya saling terkait. Di atas kertas, kita selalu bicara kolaborasi, tapi prakteknya ribet. Apalagi kalau udah menyangkut anggaran, ya makin sulit."
Saya mengangguk, mencoba mencerna. "Tapi kalau terus begini, kapan desa-desa bisa benar-benar maju? Program-program yang baik jadi mubazir."
Mas Luki menatap saya tajam, lalu menghisap rokoknya dalam-dalam. "Itulah, bro. Desa cuma butuh sistem yang sederhana dan jelas. Mereka nggak peduli siapa yang menang atau siapa yang kalah di antara kementerian. Yang penting mereka punya alat untuk berkembang. Tapi apa yang terjadi? Mereka harus cari jalan sendiri, karena gajah-gajah di atas sibuk bertarung."
Asap rokok melayang di udara, menciptakan atmosfer serius di antara kami. Saya menyeruput kopi, mencoba membayangkan kerumitan di balik layar birokrasi pemerintah.
"Kalau gitu, Mas, menurutmu solusi terbaiknya apa? Gimana caranya biar desa nggak jadi korban terus?"
Mas Luki tersenyum kecil, matanya penuh pemikiran. "Yang paling sederhana, sebenarnya. Semua pihak harus mau melepaskan ego masing-masing. Kalau Kemendagri nggak mau terlibat, ya Kominfo dan Kemendes harus tetap jalan berdua. Jangan terlalu bergantung pada pihak lain. Fokus ke solusi, bukan hambatan."
Saya mengangguk setuju. "Betul juga, Mas. Kadang kebanyakan tunggu-tungguan malah bikin semuanya nggak jalan."
"Kuncinya ada di kemauan politik. Kalau semua mau fokus ke desa, bukan ke nama besar kementeriannya, pasti bisa," tambahnya sambil mematikan rokoknya di asbak.
Langit Senayan mulai gelap, dan lampu-lampu kota menyala satu per satu. Kami menyelesaikan kopi kami dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran. Obrolan ini mengingatkan saya bahwa perjuangan desa bukan hanya soal kebijakan, tapi juga soal manusia-manusia di balik layar, yang harus mau menurunkan ego demi masa depan desa-desa di negeri ini.
Ketika saya dan Mas Luki berpisah di depan kedai kopi, saya merasa ada beban di dada saya. Desa, dengan segala potensinya, selalu menjadi pelanduk yang tertindas di tengah ego besar para gajah. Tapi mungkin, dengan sedikit harapan dan banyak usaha, pelanduk itu bisa bangkit menjadi lebih kuat dari yang pernah dibayangkan.
Senayan City sore itu ramai seperti biasa. Namun, di pojok sebuah kedai kopi dengan smoking area, saya dan Mas Luki memilih tempat duduk yang nyaman. Udara di ruangan itu penuh aroma campuran kopi hitam, tembakau, dan obrolan yang mulai memanas. Mas Luki, seorang akademisi sekaligus konsultan di Kemendesa, duduk di seberang saya sambil menyesap kopinya.
“Jadi, gimana kabar Satu Data Desa, Mas?” saya memulai pembicaraan.
Mas Luki tersenyum kecil, menyulut rokoknya sebelum menjawab. “Ah, Satu Data Desa. Program yang niatnya bagus, tapi ya gitu, selalu terhambat di eksekusi. Kayak kemarin, misalnya, masih banyak desa yang lebih milih bikin website mandiri daripada ikut program pemerintah seperti Sideka NG-nya Komdigi.”
Saya mengangguk sambil menyeruput kopi. “Kenapa begitu, Mas? Padahal kan program kayak Sideka NG itu seharusnya bisa bikin desa lebih terintegrasi.”
Mas Luki mengembuskan asap rokoknya pelan, lalu berkata, “Desa sebenarnya bukan nggak mau. Tapi mereka bingung juga. Kemendes sebenarnya sudah ngajak Komdigi kolaborasi lebih mendalam, sampai bikin MoU dan PKS sejak dua tahun lalu. Tapi apa? Komdigi bilang nggak mau kalau nggak ada Kemendagri. Eh, giliran Kemendagri diajak, mereka diam aja. Jadi ya batal semua.”
Saya tertawa kecil, meskipun situasinya cukup menyedihkan. “Jadi ini semacam cerita gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah, ya?”
Mas Luki mengangguk sambil tersenyum pahit. “Tepat. Desa itu si pelanduknya. Lihat aja, mereka akhirnya bikin website sendiri-sendiri, tanpa integrasi. Padahal, niat awalnya bagus: semua data desa terpusat, terintegrasi, supaya gampang diakses untuk pembangunan.”
“Kenapa sih, Mas, pemerintah nggak bisa saling sinkron? Kan sama-sama buat desa,” saya bertanya, penasaran.
Mas Luki mengangkat bahu. “Ya, biasalah. Ego sektoral. Setiap kementerian merasa punya otoritas masing-masing, padahal masalahnya saling terkait. Di atas kertas, kita selalu bicara kolaborasi, tapi prakteknya ribet. Apalagi kalau udah menyangkut anggaran, ya makin sulit.”
Saya mengangguk, mencoba mencerna. “Tapi kalau terus begini, kapan desa-desa bisa benar-benar maju? Program-program yang baik jadi mubazir.”
Mas Luki menatap saya tajam, lalu menghisap rokoknya dalam-dalam. “Itulah, bro. Desa cuma butuh sistem yang sederhana dan jelas. Mereka nggak peduli siapa yang menang atau siapa yang kalah di antara kementerian. Yang penting mereka punya alat untuk berkembang. Tapi apa yang terjadi? Mereka harus cari jalan sendiri, karena gajah-gajah di atas sibuk bertarung.”
Asap rokok melayang di udara, menciptakan atmosfer serius di antara kami. Saya menyeruput kopi, mencoba membayangkan kerumitan di balik layar birokrasi pemerintah.
“Kalau gitu, Mas, menurutmu solusi terbaiknya apa? Gimana caranya biar desa nggak jadi korban terus?”
Mas Luki tersenyum kecil, matanya penuh pemikiran. “Yang paling sederhana, sebenarnya. Semua pihak harus mau melepaskan ego masing-masing. Kalau Kemendagri nggak mau terlibat, ya Komdigi dan Kemendes harus tetap jalan berdua. Jangan terlalu bergantung pada pihak lain. Fokus ke solusi, bukan hambatan.”
Saya mengangguk setuju. “Betul juga, Mas. Kadang kebanyakan tunggu-tungguan malah bikin semuanya nggak jalan.”
“Kuncinya ada di kemauan politik. Kalau semua mau fokus ke desa, bukan ke nama besar kementeriannya, pasti bisa,” tambahnya sambil mematikan rokoknya di asbak.
Langit Senayan mulai gelap, dan lampu-lampu kota menyala satu per satu. Kami menyelesaikan kopi kami dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran. Obrolan ini mengingatkan saya bahwa perjuangan desa bukan hanya soal kebijakan, tapi juga soal manusia-manusia di balik layar, yang harus mau menurunkan ego demi masa depan desa-desa di negeri ini.
Ketika saya dan Mas Luki berpisah di depan kedai kopi, saya merasa ada beban di dada saya. Desa, dengan segala potensinya, selalu menjadi pelanduk yang tertindas di tengah ego besar para gajah. Tapi mungkin, dengan sedikit harapan dan banyak usaha, pelanduk itu bisa bangkit menjadi lebih kuat dari yang pernah dibayangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H