Asap rokok melayang di udara, menciptakan atmosfer serius di antara kami. Saya menyeruput kopi, mencoba membayangkan kerumitan di balik layar birokrasi pemerintah.
"Kalau gitu, Mas, menurutmu solusi terbaiknya apa? Gimana caranya biar desa nggak jadi korban terus?"
Mas Luki tersenyum kecil, matanya penuh pemikiran. "Yang paling sederhana, sebenarnya. Semua pihak harus mau melepaskan ego masing-masing. Kalau Kemendagri nggak mau terlibat, ya Kominfo dan Kemendes harus tetap jalan berdua. Jangan terlalu bergantung pada pihak lain. Fokus ke solusi, bukan hambatan."
Saya mengangguk setuju. "Betul juga, Mas. Kadang kebanyakan tunggu-tungguan malah bikin semuanya nggak jalan."
"Kuncinya ada di kemauan politik. Kalau semua mau fokus ke desa, bukan ke nama besar kementeriannya, pasti bisa," tambahnya sambil mematikan rokoknya di asbak.
Langit Senayan mulai gelap, dan lampu-lampu kota menyala satu per satu. Kami menyelesaikan kopi kami dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran. Obrolan ini mengingatkan saya bahwa perjuangan desa bukan hanya soal kebijakan, tapi juga soal manusia-manusia di balik layar, yang harus mau menurunkan ego demi masa depan desa-desa di negeri ini.
Ketika saya dan Mas Luki berpisah di depan kedai kopi, saya merasa ada beban di dada saya. Desa, dengan segala potensinya, selalu menjadi pelanduk yang tertindas di tengah ego besar para gajah. Tapi mungkin, dengan sedikit harapan dan banyak usaha, pelanduk itu bisa bangkit menjadi lebih kuat dari yang pernah dibayangkan.
Senayan City sore itu ramai seperti biasa. Namun, di pojok sebuah kedai kopi dengan smoking area, saya dan Mas Luki memilih tempat duduk yang nyaman. Udara di ruangan itu penuh aroma campuran kopi hitam, tembakau, dan obrolan yang mulai memanas. Mas Luki, seorang akademisi sekaligus konsultan di Kemendesa, duduk di seberang saya sambil menyesap kopinya.
“Jadi, gimana kabar Satu Data Desa, Mas?” saya memulai pembicaraan.
Mas Luki tersenyum kecil, menyulut rokoknya sebelum menjawab. “Ah, Satu Data Desa. Program yang niatnya bagus, tapi ya gitu, selalu terhambat di eksekusi. Kayak kemarin, misalnya, masih banyak desa yang lebih milih bikin website mandiri daripada ikut program pemerintah seperti Sideka NG-nya Komdigi.”
Saya mengangguk sambil menyeruput kopi. “Kenapa begitu, Mas? Padahal kan program kayak Sideka NG itu seharusnya bisa bikin desa lebih terintegrasi.”