“Kuncinya ada di kemauan politik. Kalau semua mau fokus ke desa, bukan ke nama besar kementeriannya, pasti bisa,” tambahnya sambil mematikan rokoknya di asbak.
Langit Senayan mulai gelap, dan lampu-lampu kota menyala satu per satu. Kami menyelesaikan kopi kami dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran. Obrolan ini mengingatkan saya bahwa perjuangan desa bukan hanya soal kebijakan, tapi juga soal manusia-manusia di balik layar, yang harus mau menurunkan ego demi masa depan desa-desa di negeri ini.
Ketika saya dan Mas Luki berpisah di depan kedai kopi, saya merasa ada beban di dada saya. Desa, dengan segala potensinya, selalu menjadi pelanduk yang tertindas di tengah ego besar para gajah. Tapi mungkin, dengan sedikit harapan dan banyak usaha, pelanduk itu bisa bangkit menjadi lebih kuat dari yang pernah dibayangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H