Mohon tunggu...
Suryani Amin
Suryani Amin Mohon Tunggu... -

Penyuka jalan jalan dan tulisan tentang perjalanan. Sosiolog, bekerja sebagai Konsultan untuk Adaptasi Perubahan Iklim di lembaga bantuan pembangunan Internasional di Jakarta. Menulis fiksi dan mendokumentasikan perjalanan adalah minatnya diluar pekerjaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lontong dan Tahu Isi di Gerbong Kereta

15 September 2016   21:46 Diperbarui: 15 September 2016   22:31 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Gorengan Teh? . Tiga ribuan  satunya. Besar Teh

 Sebagian menggeleng meginsyaratkan penolakan. Untunglah selalu ada saja pembeli.   Teteh nampaknya pandai membaca pasar. Diantara rombongan kereta pagi, pasti ada yang  melewatkan sarapan  karena berbagai alasan. Mungkin tidak cukup waktu, atau  dengan sengaja meniatkan sarapan praktis diluar rumah. Kelompok inilah pembeli potensial potensial  yang disasar.

Teteh meletakkan dagangannya dilantai gerbong. Setiap ada pembeli, ia menunduk agar bisa menjangkau  gorengan yang dikehendaki pembeli. Tangannya dibungkus kantong plastik kecil agar tidak kontak  langsung makanan.   Kemudian dengan sigap memasukkannya kedalam kantong plastik kecil lain . Selanjutnya,  melengkapi  dengan beberapa biji cabe  dan cairan encer berisi sambal kacang  yang  dikemas dalam plastik kecil.  

Tahap berikutnya adalah transaksi pembayaran. Dari kantong kain ia memasukkan setiap lembar rupiah yang diperoleh. Sesekali, ia merogohnya untuk mencari pecahan uang untuk diberikan ke pembeli sebagai kembalian.  Saya sampai hafal  setelah berkali-kali melihat.  Sekali dua kali, perut gembul saya tergoda membeli. Favorit saya tahu isi. Ukurannya jumbo.  Mengenyangkan. Saya sampai tidak pernah sanggup menghabiskan gorengan kedua.  Biasanya saya sisakan saja kedalam tas untuk dibawa kekantor.

Saya sering iba. Meskipun,  wajah orientalnya  yang bersih sejujurnya tidak mengundang rasa iba. Ditengah jejalan penumpang pada jam puncak, sulit sekali untuk bergerak maju dan menunduk. Sementara ia harus melakukannya perlahan agar tidak menganggu penumpang lain. Atau sampai menarik perhatian petugas gerbong.  Dugaan saya sebetulnya petugas sudah tahu, tapi membiarkan saja karena toh  tidak menimbulkan gangguan.  Bisa jadi sebenarnya penumpang terganggu, namun merasakan iba yang sama dengan yang saya rasakan.  Hingga membiarkan si Teteh melanjutkan usahanya.

Sekali waktu saat mata kami bersirobok, saya melihat wajahnya berpeluh. Namun ia  harus terus menawarkan dagangannya.  Yang saya suka, si teteh bisa sangat sopan meminta diberi jalan. Biasanya disertai  permintaan maaf.

Maap Teh, permisi ya. Maap   

Begitu berulang ulang. Penumpang lain mahfum dan memberi jalan.

Satuwaktu, kami pernah berbincang singkat. Saat itu saya  turun di stasiun Tebet untuk  menunggu kereta berikut yang akan mengantar saya ke stasiun Sudirman.  Rupanya ia juga  berniat menunggu kereta lain untuk melanjutkan bedagang gorengan.  Saya   mengeluarkan lembaran uang untuk membeli sepotong lontong dan tahu isi darinya. Saya lupa, apa karena saya memang tidak sempat sarapan  atau dengan sengaja  hanya mau membeli.  

Cucuran keringat diwajahnya nampak jelas.  Ia terlihat lelah. Namun masih berusaha tersenyum ramah.   Dengan sigap ia melayani permintaan saya. Sambil mengunyah sepotong lontong, saya membuka  percakapan dengannya.  Kami berdiri bersisian.  

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun