Mohon tunggu...
surya hadi
surya hadi Mohon Tunggu... Administrasi - hula

Pengkhayal gila, suka fiksi dan bola, punya mimpi jadi wartawan olahraga. Pecinta Valencia, Dewi Lestari dan Avril Lavigne (semuanya bertepuk sebelah tangan) :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wanita yang Melepas Hijab

7 Desember 2018   08:49 Diperbarui: 7 Desember 2018   09:26 1073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Anjani, kembang desa yang selalu menjadi cerita, baik itu karena kecantikannya, latar belakangnya, hingga kisah cintanya. Sejak kecil, ia tidak pernah tahu siapa ayah dan ibunya, toh ia hanya mengenal Umi, perempuan tua yang jarang bergaul dan terkenal tertutup di desa.

Gosip di desa bercerita bahwa Anjani adalah anak haram dari anak si Umi yang main gila dengan seorang pria yang kemudian mencampakkannya, hal yang akhirnya membuat si Umi menutup diri dari warga sekitar karena tidak tahan dengan gunjingan di desa.

Anjani mencintai agamanya. Sejak kecil ia selalu di didik oleh Umi untuk menjadi wanita yang soleha, yang tidak tercemari oleh perilaku dan selalu taat dengan agamanya. Anjani menurut, ia tidak pernah lupa sholat 5 waktu, membaca Al Quran, hingga tumbuh menjadi gadis yang cantik dan menjadi idaman semua pria desa.

Banyak pemuda desa yang berusaha mendekatinya, bersikap baik padanya, hingga kemudian menyatakan perasaan dan cintanya kepada Anjani.

Anjani bukannya mati rasa, hanya saja menurutnya para pemuda desa yang mengejarnya belum bisa menjadi imam yang baik baginya. Kebanyakan dari mereka selalu menjanjikan kebahagian. Bekerja siang malam untuk memenuhi semua keinginan Anjani, rumah, ladang untuk bercocok tanam, hingga mobil untuk jalan jalan.

Padahal, Anjani hanya ingin Tuhan...

Anjani akhirnya menikah. Bukan, bukan dengan pemuda yang menjanjikannya kerja keras dan hidup berkecukupan. Ia menikah dengan seorang yang biasa di sebut tuan tanah di desanya. Duda kaya yang di tinggal mati istrinya, satu satunya laki-laki yang mendekatinya dengan mengajarkannya banyak hal tentang agama, bukan dengan janji surga berupa kekayaan yang berkelimpahan.

Anjani hanya ingin Tuhan...

Sejak menikah dengan tuan tanah, Anjani memutuskan untuk mengenakan hijab, satu hal yang telah lama di inginkannya, namun enggan di lakukannya. Dulu, ia sering bertanya pada dirinya sendiri, apa ia sudah pantas mengenakannya, ia takut jika saja sedikit perilakunya yang mungkin buruk dimata orang lain bisa mencoreng agama yang sangat di cintainya, toh hijab yang dikenakannya pasti akan langsung merepresentasikan agamanya.

"Munafik.. "

"Matre.."

"Pelacur.."

Begitu kata laki laki yang dulu pernah sangat mencintai Anjani ketika tahu Anjani telah menikah dengan si tuan tanah dan berhijab. Lelaki yang cukup berpengaruh di desanya.

Seorang taruna muda yang aktif di berbagai kegiatan desa dan masjid yang rela menolak cinta anak kepala desa yang kayanya melebihi si tuan tanah demi Anjani sang pujaan hati. Anjani marah, namun ia mencoba memaafkan lelaki tersebut, ia tahu agamanya melarangnya untuk mendendam.

Setiap sholat, ia menyempatkan diri berdoa untuk laki laki tersebut, tak lupa ia juga meminta ampun pada Sang Empunya hidup karena ia telah menyakiti hati seorang laki-laki yang sangat mencintainya dan juga agar ia mampu menjaga mulut dan hatinya supaya ia tetap bisa mengeluarkan kata kata yang baik dan tidak mempermalukan agamanya.

"Gimana, kamu terlihat lebih cantik kan setelah berhijab.. "

Suara bergetar seorang wanita renta menyambut Anjani ketika ia menjejakkan kakinya ke warung kopi yang biasa menjadi tempat favorit bapak-bapak berhutang kopi dan rokok sekaigus melepas lelah sembari bermain catur dan kartu remi, dua olahraga sederhana yang cukup digilai di kampungnya namun sayangnya belum mampu untuk menyumbang atlit catur dan bridge di pelatnas.

"Makasih mbah.. " ujar Anjani pelan pada Mbah Jinem, si pemilik warung kopi yang selalu bisa tersenyum walau warung kopi yang menjadi satu satunya sumber penghasilannya sering dihutangi warga kampung yang tak jarang lupa membayar, atau parahnya tahu-tahu sudah pergi ke kota, menyisakan hutang tanpa bunga yang entah kapan akan dibayar.

"Daripada aku sendirian, sepi... "

Begitu kata Mbah Jinem suatu saat ketika ia menceritakan bagaimana pusingnya ia untuk bisa menjaga perputaran uang dan barang di warungnya agar ia masih bisa tetap berjualan, tak jarang ia harus berhutang kiri kanan. Kesepian menjadi ketakutannya yang menimbulkan kekuatan.

Ia enggan sendirian dari pagi hingga malam menjelang, jika tidak ada rokok, kopi, hutang dan papan catur tua serta kartu remi yang merupakan peninggalan suaminya itu, mungkin ketakutannya akan menjadi kenyataan, walau mungkin ia bebas hutang, walau mungkin ia juga tidak usah berpusing pusing menghitung piutang yang tidak dibayar dan menagihnya yang biasanya berakhir dengan kata 'ntar' atau mungkin senyuman minim malu yang menandakan kalau si empunya hutang belum punya uang.

"Panas yang ni.. " ujar si Mbah sambil memberikan segelas air putih ketika ia melihat intensitas air keringat yang turun ke wajah Anjani dari dahinya.

"Iya Mba, agak panas memang kalau pake hijab, mungkin akunya juga yang belum biasa.." ujar Anjani seraya tersenyum manis pada si Mbah yang hanya bisa di balas si Mbah dengan tawa terkekeh yang memperlihatkan mulutnya yang sudah minim gigi alias ompong.

Mbah sangat mencintai Anjani, baginya Anjani sudah seperti anak kandungnya yang dilahirkannya dengan paksa dulu. Dulu ia lebih memilih menggugurkan kandungannya dan menyerahkannya kepada tanah di belakang rumahnya, ia takut anaknya tidak bisa makan atau mati kelaparan karena kondisi keuangan ia dan suaminya yang kala itu sangat morat marit yang bahkan hanya makan dari nasi sisa yang dipungutnya dari warung-warung di sekitar rumah.

Ah... Andai ia tidak membiarkan tanah merah di belakang rumah itu memeluk anaknya, mungkin saja anak itu sudah seumuran dengan Anjani.

Mbah adalah satu satunya pribadi di kampung itu yang sangat mengenal Anjani.-selain Umi tentunya- Mereka sering bertukar cerita, dan keluhan layaknya ibu dan anak yang hanya dipisahkan status kewarganegaraan.

Mbah menjadi orang yang pertama membela Anjani ketika Anjani memilih menikah dengan si tuan tanah yang berbuntut gossip yang bergerak liar di desanya. Ia mengenal Anjani hingga ke dalam sumsum tulangnya. Tak jarang ketika mengobrol dengan penduduk kampung yang suka kumpul di warungnya, si Mbah bercerita mengenai Anjani, menceritakan keluguan dan kebaikan hati Anjani.

**

Deru lari kepala desa dan beberapa warga di belakangnya yang tergesa gesa membuat si Mbah heran, hari ini ia melihat banyak orang berpakaian putih putih, baik itu baju gamis ataupun kemeja lenga panjang dan celana panjang dengan warna yang sama lewat di depan warungnya dengan suara takbir yang lantang dan wajah penuh amarah, -walau mungkin ada beberapa yang tertawa tawa-.

Awalnya si mbah berusaha untuk tidak peduli, namun asap hitam yang mengepul di udara dari sebuah lokasi yang sangat di kenalnya membuat tubuh rentanya bergerak secepat yang ia mampu. Menutup warung kopinya yang sepi karena sepertinya hampir semua warga desa yang biasa ngutang di warungnya sudah pergi ke sumber asap.

"Saya minta maaf pak, saya yakin istri saya tidak ada maksud seperti itu.. " ujar si tuan tanah lirih. Ia mencoba melindungi istrinya dari pukulan dan tendangan beberapa orang warga yang terlihat marah, wajahnya lebam, kepalanya masih bermandikan darah ketika Anjani terakhir kali melihat matanya, sebelum akhirnya satu pukulan balok kayu mengakhiri nyawa si tuan tanah dan menutup matanya untuk selama lamanya.

Suara takbir berkumandang di tengah tangisan pilu Anjani dan jilatan api yang membakar habis rumah si tuan tanah. Tak ada yang bisa di lakukan Anjani selain menangis menyesali kesalahannya yang membuat orang yang di cintainya mati dengan naas demi melindunginya. Tak ada juga yang mau menolongnya, banyak warga yang marah akibat ucapannya, namun tidak sedikit juga warga yang terlihat takut sehingga enggan untuk menolongnya.

"Usir dia !!! Dia telah menghina agama kita !! " ujar laki laki yang pernah sangat mencintai Anjani sambil menunjuk Anjani yang sudah lemas, Anjani hanya berharap anaknya yang di gendong oleh kepala desa tidak menjadi korban selanjutnya kemudian meninggalkannya.

"Usir ..!!"

"Iya usir aja .. !! "

"Munafik.. "

Kali ini cacian dan ujaran kebencian yang keluar dari sekumpulan warga yang telah membakar habis rumahnya. Anjani hanya bisa meminta maaf sejadi jadinya, terutama kepada Tuhan yang mungkin telah merasa terhina dengan ucapannya yang menyebut jika menggunakan hijab itu panas. Ia tak tahu apakah Tuhan mau memaafkannya, tapi toh yang ia yakini bahwa Tuhan adalah maha atas segala hal, dan semoga Ia juga maha mengampuni.

Anjani pun akhirnya terusir dari kampungnya, meninggalkan anaknya yang akhirnya dititipkan kepada kepala desa. Ia tahu, anaknya yang baru berumur beberapa bulan tersebut tidak mungkin hidup bersamanya, bayi tak berdosa itu masih terlalu ringkih dan rentan dengan udara dingin di malam hari dan panasnya sinar matahari siang yang bisa menyengat kulitnya. Anjani meninggalkan desa dengan embel embel penista agama.

Sejak itu, Anjani tidak pernah terlihat lagi di desa, Tidak ada lagi cerita sinis soal perempuan yang menjual keperawanannya pada tuan tanah demi setumpuk harta, tidak ada lagi teman bercerita untuk Mbah Jinem yang sejak hari itu lebih memilih menjahit mulutnya dan enggan berbicara kepada warga desa hingga akhirnya Mbah Jinem di temukan meninggal di dalam rumahnya, sendirian, tanpa suami, teman, tukang hutang, atau Anjani, si penista agama yang sudah menghilang. Mbah Jinem hanya menyisakan papan catur, kartu remi  dan tumpukan piutang tidak tertagih yang tidak akan pernah terbayar atau mungkin di bayar.

Beberapa warga desa yang sering mencari kayu bakar di hutan sering mengatakan kalau mereka beberapa kali melihat sosok mirip Anjani di dalam hutan, kata orang ia suka terlihat di air terjun dengan posisi duduk bersila sambal menutup mata, mirip seperti orang yang sedang bertapa.

"Main ilmu hitam... "

"Jadi berhala.. "

begitu gossip yang mulai tersebar di desa, tentang berita terkini si penista agama.

Anjani sendiri sejak hari itu memang tinggal sendirian di dalam hutan dan tidak lagi berhijab. Ia sering duduk bersila di bawah air terjun, hingga bersimpuh di sana, berdoa dan berharap derasnya air yang turun membasuh dirinya yang dianggapnya kotor karena dosa, menghilangkan stigma penista agama yang melekat pada dirinya. Sehari hampir 5 kali ia membasuh diri, tak jarang ia berendam di sana dari malam sore hingga lewat tengah malam.

Hingga kulitnya mengkerut...

Keriput...

Kisut...

Hingga ia tidak tahu untuk apa ia hidup..

Note : Tulisan ini tulisan lama dan merupakan respon saya atas kasus yang terjadi beberapa bulan silam di Tanjung Balai mengenai suara Azan yang berakibat pengrusakan terhadap beberapa rumah ibadah. Hoax bekerja dengan gila, hiperbola menjadi hal biasa, di dukung tingkat sensitifitas tinggi soal agama, hingga penerima informasi yang menurut saya terlalu dangkal untuk menerima informasi, mengolahnya, untuk kemudian menyampaikannya.

*greget tingkat tinggi 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun