"Pelacur.."
Begitu kata laki laki yang dulu pernah sangat mencintai Anjani ketika tahu Anjani telah menikah dengan si tuan tanah dan berhijab. Lelaki yang cukup berpengaruh di desanya.
Seorang taruna muda yang aktif di berbagai kegiatan desa dan masjid yang rela menolak cinta anak kepala desa yang kayanya melebihi si tuan tanah demi Anjani sang pujaan hati. Anjani marah, namun ia mencoba memaafkan lelaki tersebut, ia tahu agamanya melarangnya untuk mendendam.
Setiap sholat, ia menyempatkan diri berdoa untuk laki laki tersebut, tak lupa ia juga meminta ampun pada Sang Empunya hidup karena ia telah menyakiti hati seorang laki-laki yang sangat mencintainya dan juga agar ia mampu menjaga mulut dan hatinya supaya ia tetap bisa mengeluarkan kata kata yang baik dan tidak mempermalukan agamanya.
"Gimana, kamu terlihat lebih cantik kan setelah berhijab.. "
Suara bergetar seorang wanita renta menyambut Anjani ketika ia menjejakkan kakinya ke warung kopi yang biasa menjadi tempat favorit bapak-bapak berhutang kopi dan rokok sekaigus melepas lelah sembari bermain catur dan kartu remi, dua olahraga sederhana yang cukup digilai di kampungnya namun sayangnya belum mampu untuk menyumbang atlit catur dan bridge di pelatnas.
"Makasih mbah.. " ujar Anjani pelan pada Mbah Jinem, si pemilik warung kopi yang selalu bisa tersenyum walau warung kopi yang menjadi satu satunya sumber penghasilannya sering dihutangi warga kampung yang tak jarang lupa membayar, atau parahnya tahu-tahu sudah pergi ke kota, menyisakan hutang tanpa bunga yang entah kapan akan dibayar.
"Daripada aku sendirian, sepi... "
Begitu kata Mbah Jinem suatu saat ketika ia menceritakan bagaimana pusingnya ia untuk bisa menjaga perputaran uang dan barang di warungnya agar ia masih bisa tetap berjualan, tak jarang ia harus berhutang kiri kanan. Kesepian menjadi ketakutannya yang menimbulkan kekuatan.
Ia enggan sendirian dari pagi hingga malam menjelang, jika tidak ada rokok, kopi, hutang dan papan catur tua serta kartu remi yang merupakan peninggalan suaminya itu, mungkin ketakutannya akan menjadi kenyataan, walau mungkin ia bebas hutang, walau mungkin ia juga tidak usah berpusing pusing menghitung piutang yang tidak dibayar dan menagihnya yang biasanya berakhir dengan kata 'ntar' atau mungkin senyuman minim malu yang menandakan kalau si empunya hutang belum punya uang.
"Panas yang ni.. " ujar si Mbah sambil memberikan segelas air putih ketika ia melihat intensitas air keringat yang turun ke wajah Anjani dari dahinya.