"Usir ..!!"
"Iya usir aja .. !! "
"Munafik.. "
Kali ini cacian dan ujaran kebencian yang keluar dari sekumpulan warga yang telah membakar habis rumahnya. Anjani hanya bisa meminta maaf sejadi jadinya, terutama kepada Tuhan yang mungkin telah merasa terhina dengan ucapannya yang menyebut jika menggunakan hijab itu panas. Ia tak tahu apakah Tuhan mau memaafkannya, tapi toh yang ia yakini bahwa Tuhan adalah maha atas segala hal, dan semoga Ia juga maha mengampuni.
Anjani pun akhirnya terusir dari kampungnya, meninggalkan anaknya yang akhirnya dititipkan kepada kepala desa. Ia tahu, anaknya yang baru berumur beberapa bulan tersebut tidak mungkin hidup bersamanya, bayi tak berdosa itu masih terlalu ringkih dan rentan dengan udara dingin di malam hari dan panasnya sinar matahari siang yang bisa menyengat kulitnya. Anjani meninggalkan desa dengan embel embel penista agama.
Sejak itu, Anjani tidak pernah terlihat lagi di desa, Tidak ada lagi cerita sinis soal perempuan yang menjual keperawanannya pada tuan tanah demi setumpuk harta, tidak ada lagi teman bercerita untuk Mbah Jinem yang sejak hari itu lebih memilih menjahit mulutnya dan enggan berbicara kepada warga desa hingga akhirnya Mbah Jinem di temukan meninggal di dalam rumahnya, sendirian, tanpa suami, teman, tukang hutang, atau Anjani, si penista agama yang sudah menghilang. Mbah Jinem hanya menyisakan papan catur, kartu remi  dan tumpukan piutang tidak tertagih yang tidak akan pernah terbayar atau mungkin di bayar.
Beberapa warga desa yang sering mencari kayu bakar di hutan sering mengatakan kalau mereka beberapa kali melihat sosok mirip Anjani di dalam hutan, kata orang ia suka terlihat di air terjun dengan posisi duduk bersila sambal menutup mata, mirip seperti orang yang sedang bertapa.
"Main ilmu hitam... "
"Jadi berhala.. "
begitu gossip yang mulai tersebar di desa, tentang berita terkini si penista agama.
Anjani sendiri sejak hari itu memang tinggal sendirian di dalam hutan dan tidak lagi berhijab. Ia sering duduk bersila di bawah air terjun, hingga bersimpuh di sana, berdoa dan berharap derasnya air yang turun membasuh dirinya yang dianggapnya kotor karena dosa, menghilangkan stigma penista agama yang melekat pada dirinya. Sehari hampir 5 kali ia membasuh diri, tak jarang ia berendam di sana dari malam sore hingga lewat tengah malam.