Mata kita berpandangan beberapa detik, cukup untuk membuatku grogi, tak bisa membayangkan jika aku akan kehilangan mata itu nanti. Aku lalu mendorong kacamataku ke arah dalam dengan jari manisku, sebuah gesture yang kubuat untuk mengulur waktu sebelum kau kembali mengucapka empat kata sakti itu.
 "Kenapa .. ?" Sial aku tak berhenti memaki diriku sendiri dalam hati. Mengapa juga aku harus mengeluarkan kata ini kepadamu, sebuah kata tanya yang pasti akan membuatmu mengeluarkan kembali empat kata yang sedari tadi ragu untuk kutanggapi. Apalagi saat ini kau berada tepat di depan mataku, sehingga kesempatan untukku berkelit semakin sempit. Hampir nol persen.
"Pa, Catherine mau menikah.. " ujarmu pelan dengan senyum yang kembali mengembang.
Empat kata itu berdampak semakin hebat, berhasil membuatku tersenyum bahagia walaupun sejujurnya terselip rasa takut di sana. Tak ada yang bisa kulakukan selain memelukmu erat, mengecup kepalamu, dan membelai rambutmu yang hitam pekat.Â
Bagiku kamu adalah pemberian terbaik dari Tuhan setelah ibumu yang pergi meninggalkan kita dulu setelah melahirkanmu. Â putri kecilku..