Baca Juga: Memberi Makan Fakir Miskin, kok, Malah Dibully?
Penulis vs Pedagang
Bicara tentang rendahnya harga sebuah karya tulis, saya pribadi mengalami perubahan pendapat. Ini berawal dari iklan lowongan kerja sebuah website yang saya baca beberapa waktu lalu.
Iklan tersebut mengumumkan bahwa sebuah perusahaan sedang mencari seorang penulis profesional yang berpengalaman menulis tema-tema finansial dan memahami SEO. Harga upah yang ditawarkan menurut saya cukup layak yakni Rp 15 juta per bulan.
Setelah membaca iklan tersebut saya merenung. Jangan-jangan yang membuat nilai sebuah karya tulis rendah itu tak lain karena ketidakmampuan kita mempertemukan produk yang kita hasilkan (dalam hal ini karya tulis) dengan pasarnya. Atau, dalam kata lain, kebanyakan penulis tidak mampu melakukan analisis peluang dan tidak punya kemampuan pemasaran yang baik.
Tapi, kita bisa saja mengelak, "Ahh...... saya kan penulis bukan pedagang! bukan petani!". Hai bung, jika kamu menggantungkan penghasilan dari menulis, tulisanmu itu adalah komoditasmu, kamu adalah produsennya. Apapun barang yang kita produksi, tidak akan laku jika kita tidak cakap memasarkannya, tidak mampu memodivikasinya sesuai keinginan pasar atau tidak mampu memaksimalkan peluang yang ada.
Contohnya, kita sadar bahwa sekarang adalah era digital di mana banyak perusahaan membutuhkan penulis yang punya pemahaman SEO. Namun, bukannya memoles keahlian kita menulis dengan pengetahuan mengenai Teknik SEO, kita justru mengutuk peluang itu sendiri.
Baca Juga: Mudik Lewat Pantura, Siap-siap Kenyang Kampanye Politik
SEO Sebagai Kejahatan Intelektual
"Ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan," tulis Leila Chudori dalam novel barunya, Laut Bercerita.