Cukup bermodal kardus, sarung atau kain bekas, sedikit cat dan kreativitas kita sudah bisa bikin sebuah barongan. Untuk musiknya, kita akan membuat gendang dari kaleng bekas dan kertas semen juga sepasang tutup panci bekas.
Karena barongan hanya dimainkan saat langit sudah gelap, maka kesenian ini cuma ada saat bulan puasa, di mana anak-anak libur dari sekolah. Selesai menunggu teman-teman kelar salat tarawih, saya akan menghambur memimpin rombongan barongan.
Pada petang hari, selagi aku tidak bermain barongan bersama teman-teman, ayah dan anak-anaknya akan mendengarkan sandiwara Ramadan yang diputar di radio, atau bermain meriam bambu di batas kampung. Di malam hari, selesai orang selesai salat tarawih, ayah akan memanggil pengamen tawurji untuk mengajarkan pada saya makna berbagi.
"Tawurjiii, Tawurjiii, Tawur! Tawur Tuan Kaji, Smoga Dawa Umur. Tawur" Setelah pengamen selesai bernyanyi, ayah akan membawakan sekaleng beras dari dapur untuk aku berikan pada rombongan pengamen yang hanya muncul saat bulan puasa atau perayaan Maulud Nabi.
Beberapa hari menjelang Lebaran, ayah dan ibu akan mengajak kami anak-anaknya ke Pasar Balong untuk berbelanja pakaian. Pulangnya, kita akan mampir di alun-alun Kota Cirebon untuk minum es durian.
Ramadan tahun 1990 memang sederhana, tapi memberi bekas yang mendalam. Saya belajar banyak hal dari bulan Ramadan mulai dari kesederhanaan, kehangatan keluarga, semangat berbagi hingga belajar bersyukur.
Bagi kalian orang yang segenerasi dengan saya masih bisa mengenalkan Ramadan tempo dulu pada anak-anaknya. Berikut ini sejumlah cara yang bisa kalian lakukan:
1. Kurangi pemakaian gawai dan televisi. Daripada seharian di rumah, ajak anak untuk keluar berinteraksi dengan teman dan tetangga.
2. Saat Ramadan kita punya banyak waktu, habiskan bersama keluarga. Ajak anak menghafal doa atau ayat bersama.
3. Bila ingin ngabuburit, carilah taman kota, atau landmark di kota kamu.