Bila mengingat Ramadan, entah kenapa kenangan selalu melayang ketika saya masih bocah.Â
Mungkin karena suasana Ramadan sekarang sudah jauh berbeda. Rasanya, bulan puasa sudah tidak seistimewa dulu. Tayangan Ramadan di televisi kini "garing" dan kurang mendidik; media sosial penuh caci maki dan permusuhan.
Ramadan hari ini juga tidak hangat lagi. Komplek dan kampung justru kosong saat sore hari. Tidak ada warga yang ngeriung membahas rencana membersihkan kampung sebelum Lebaran. Sebab, orang dewasa lebih suka menunggu waktu berbuka puasa di mall dan tempat hiburan.
Taman dan lapangan bola juga sepi karena anak-anak lebih asyik main video game di dalam rumahnya masing-masing. Maaf jika saya lancang berkata. Tapi, menurut saya, Ramadan hari ini tidak ada bedanya dengan bulan dan hari biasa. Sedih memang.
Kadang, saya merasa beruntung lahir dan besar di kampung, di sebuah kota kecil di Cirebon Utara. Di saat gawai dan internet belum lagi ada, saat televisi masih jadi sebuah kemewahan bila orangtua kita memilikinya.
Saat itu tahun 1990, Ramadan adalah momen yang ditunggu-tunggu. Jantung saya hampir selalu berdebar-debar ketika hari pertama Ramadan sudah dekat. Bukan girang karena sekolah libur panjang dan kita bebas tidur dan bermalasan seharian. Bukan juga karena orangtua kita pulang lebih cepat sehingga kita bisa ajak untuk berbuka puasa sambil jalan-jalan di mall. Melainkan karena Ramadan selalu indentik dengan waktu bersama teman dan keluarga.
Sebagai orang yang merasa paling beruntung di dunia karena pernah menikmati Ramadan yang berbeda, saya mau berbagi kisah khususnya untuk generasi yang lahir di era "Ramadan 2.0".
Saat saya bocah, Ramadan selalu ditunggu karena saat sore taman dan lapangan kampung selalu ramai dengan teman sebaya. Sambil bermain bola, petak umpet, gundu, tokle, dan sederet permainan tradisonal lainnya, kita menunggu waktu berbuka.
Barongan Ramadan
Bulan puasa juga ditunggu karena inilah kesempatan bagi kami anak-anak lelaki mencari tambahan uang jajan tanpa harus merengek minta orangtua. Bagi bocah-bocah Cirebon di zaman saya, Ramadan adalah waktunya untuk bermain barongan. Barongan adalah kesenian asli Cirebon yang menggunakan topeng berwajah seram. Mirip dengan barongsai.
Para bocah pengamen barongan biasanya berkelana dari rumah ke rumah sambil menenteng barongan. Jika ada orang yang tertarik menanggap, maka kelompok seniman barongan ini akan dipanggil untuk beraksi di depan rumah si penanggap. Upahnya bisa uang receh atau beras.
Cukup bermodal kardus, sarung atau kain bekas, sedikit cat dan kreativitas kita sudah bisa bikin sebuah barongan. Untuk musiknya, kita akan membuat gendang dari kaleng bekas dan kertas semen juga sepasang tutup panci bekas.
Karena barongan hanya dimainkan saat langit sudah gelap, maka kesenian ini cuma ada saat bulan puasa, di mana anak-anak libur dari sekolah. Selesai menunggu teman-teman kelar salat tarawih, saya akan menghambur memimpin rombongan barongan.
Pada petang hari, selagi aku tidak bermain barongan bersama teman-teman, ayah dan anak-anaknya akan mendengarkan sandiwara Ramadan yang diputar di radio, atau bermain meriam bambu di batas kampung. Di malam hari, selesai orang selesai salat tarawih, ayah akan memanggil pengamen tawurji untuk mengajarkan pada saya makna berbagi.
"Tawurjiii, Tawurjiii, Tawur! Tawur Tuan Kaji, Smoga Dawa Umur. Tawur" Setelah pengamen selesai bernyanyi, ayah akan membawakan sekaleng beras dari dapur untuk aku berikan pada rombongan pengamen yang hanya muncul saat bulan puasa atau perayaan Maulud Nabi.
Beberapa hari menjelang Lebaran, ayah dan ibu akan mengajak kami anak-anaknya ke Pasar Balong untuk berbelanja pakaian. Pulangnya, kita akan mampir di alun-alun Kota Cirebon untuk minum es durian.
Ramadan tahun 1990 memang sederhana, tapi memberi bekas yang mendalam. Saya belajar banyak hal dari bulan Ramadan mulai dari kesederhanaan, kehangatan keluarga, semangat berbagi hingga belajar bersyukur.
Bagi kalian orang yang segenerasi dengan saya masih bisa mengenalkan Ramadan tempo dulu pada anak-anaknya. Berikut ini sejumlah cara yang bisa kalian lakukan:
1. Kurangi pemakaian gawai dan televisi. Daripada seharian di rumah, ajak anak untuk keluar berinteraksi dengan teman dan tetangga.
2. Saat Ramadan kita punya banyak waktu, habiskan bersama keluarga. Ajak anak menghafal doa atau ayat bersama.
3. Bila ingin ngabuburit, carilah taman kota, atau landmark di kota kamu.
4. Ajak anak mengenali kesenian lokal, terlebih jika kamu bisa menemukan yang khas berkaitan dengan Ramadan seperti barongan.
5. Ajarkan anak berbagi dengan mengunjungi panti asuhan.
Nah, rindu dengan Ramadan tempo dulu itu berat, kan? Oleh karenannya, sudah tugas kitalah sebagai orangtua mengembalikan kehangatan dan intimnya suasana Ramadan seperti saat kita masih kanak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H