Seketika aku terduduk di lantai, napasku tersengal-sengal, dan suara detak jantungku menggema di telinga. Darah Mas Bro membasahi bajuku, bercak merah yang terus melebar. Aku ingin menjerit, tapi tenggorokanku tercekat.
Dia menatapku dengan pandangan penuh keterkejutan dan ketakutan yang begitu dalam, seolah-olah tak pernah menduga kalau semua akan berakhir seperti ini. Dalam benakku berputar-putar pertanyaan, "Apa yang baru saja kulakukan?"
Semuanya terjadi begitu cepat. Tadi hanya sekedar adu mulut, percekcokan biasa yang selalu kami lakukan. Aku bahkan tak pernah bermaksud untuk menyentuh pistol itu---hanya ingin menakutinya, agar dia mendengar. Tapi entah bagaimana, ujung pelatuk itu terasa begitu dingin dan jari-jariku seperti bergerak tanpa sadar. Dan kini, aku duduk di sini, dikelilingi aroma logam darah yang menyengat.
Aku mendengar langkah-langkah kaki mendekat. Mereka akan datang. Tidak ada waktu untuk berpikir, hanya ada satu jalan keluar. Kutarik napas dalam, lalu berbisik pada Mas Bro yang kini terkulai lemah, "Maafkan aku..." Kau ternyata afair dengan Amirah tetangga kita Mas".
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H