KOMPATIBILITAS ISLAM DAN MODERNITAS DALAM NEO-MODERNISME NURCHOLISH MADJID
Oleh: Suratno
(Tulisan ini telah dimuat di: Jurnal Universitas Paramadina, Edisi Khusus: Pemikiran Prof. DR. Nurcholish Madjid, Vol. 4, No. 3, Agustus 2006, Jakarta: Universitas Paramadina, hal. 315-336)
Nurcholish Madjid (1939—2005), also known as Cak Nur, a vanguard of renewal in Islamic thought in Indonesia, was mainly concerned with three topics namely: Islam, modernity and Indonesia. On Islam and modernity, Cak Nur explains that practically many Islamic and Muslim countries have obstacles in their modernization processes due to their ignorance and reduction of heritage of traditional culture as well as classical Islam. For Cak Nur, such procesess would be successful if the spirit of modernity is placed in the whole of cultural frame related to tradition and cultural heritage of Islam and their own nations. Furthermore, Cak Nur emphasizes that theoretically Islam is compatible with modernity and it can be seen in the history of classical Islam. Modernization, for Cak Nur, is neither westernization nor Christianization. It is a changing process from the old way of thinking and working that is irrational to the new one that is rational in order to achieve benefit of thinking and working optimally that lead human to their wealth and welfare. This changing process is imperatively and fundamentally God’s order considering the Qur’an 45:13, 2:170, 43:22—25 etc. Also, some evidences of genius of Islamic modernity can be seen in the era of classical Islam in which we can see that what are known as ideals of western modern era such as universalism, cosmopolitanism, internal relativism, openness, pluralism etc, were found in that era. In Indonesian context, genius of Islamic modernity can be seen in Pancasila as the basis and philosophy of state. In Cak Nur’s opinion, Pancasila can be juxtaposed to the Madinah Chapter concerning its spirit of Bhinekka Tunggal Ika that is appropriate to be a basis of social development that promotes religious tolerance and pluralism. The similar spirit can be seen in the Madinah Chapter constituting all of citizens, no matter they are Muslims, Jews, Christians etc, are one umma/nation with their equal rights and duties. Those above are Cak Nur’s arguments to realize Indonesia a laboratorium of developing religious tolerance and pluralism framed by genius of Islamic modernity.
(SEKILAS) AKAR HISTORIS PERGULATAN ISLAM DAN MODERNITAS
Sudah tentu Nurcholish Madjid (1939—2005), Selanjutnya di sebut Cak Nur, membicarakan Islam dan Modernitas. Ruang diskusi Islamnya memang bermuara pada 3 hal utama yakni: ke-Islaman, kemodernan dan ke-Indonesiaan. Concern Cak Nur pada diskursus Islam dan Modernitas bukannya tanpa alasan. Meskipun sering mengutip pernyataan sosiolog Robbert. N Bellah bahwa Islam memiliki kelenturan luar biasa (kompatibel) dengan modernitas, dan bahwa hal-hal ideal di era modern Barat sekarang secara teknis sudah terdapat pada zaman Islam salaf (klasik), namun realitas kekinian yang berkembang di dunia Muslim, dimana proses modernisasi banyak menemui hambatan jelas menggelitik pikiran Cak Nur bahwa ada yang keliru dalam proses modernisasi di dunia Muslim.
Secara historis, proses modernisasi di dunia Muslim sebenarnya sudah berlangsung lama, tepatnya sejak otoritas Islam sebagai kekuatan politik merosot tajam pada abad ke-18 M. Masuknya modernitas ke dalam dunia Muslim melewati suatu proses yang disebut dengan l’irruption (bahasa Perancis) yang berarti serbuan (militer). L’irruption pertama kali terjadi ketika Napoleon Bonaparte melakukan ekspedisi ke Mesir tahun 1798-1801. Ekspedisi Napoleon selanjutnya tidak hanya bermakna penaklukan militer tetapi juga eksplorasi ilmiah, karena selain membawa pasukan Napoleon juga membawa serta sekitar 500 ilmuwan ke Mesir. Pada periode berikutnya setelah Mesir berhasil ditaklukkan dan kemudian merambah ke wilayah lain, kaum Muslim secara tidak langsung seperti disadarkan akan kelemahan-kelemahannya. Bersamaan dengan ekspedisi Napoleon itu, berturut-turut negara-negara Eropa seperti Belanda, Inggris, Portugis dan Italia juga melakukan kolonisasi dibeberapa negara Muslim. Bahkan, negara-negara Eropa itu tidak hanya melakukan kolonisasi, tetapi juga proses modernisasi, suatu paket besar yang didalamnya terdapat ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, agama dan budaya. Akibat proses modernisasi sebagai produk kolonialisme yang awalnya lebih bersifat Eropanisasi dan Westernisasi itulah kemudian muncul ketegangan di negara-negara Muslim.
Ketegangan itu, sebagaimana dinyatakan Daniel Lerner, akhirnya melahirkan semacam ‘kegagapan’ kaum Muslim dalam mengawinkan Islam sebagai entitas yang sakral, dengan modernitas sebagai entitas yang profan. Sementara, W. Brand menjelaskan fenomena ketegangan itu sebagai ‘salah baca’ kaum Muslim terhadap modernitas. Menurutnya, hal ini bisa dilihat dalam kasus Turki tahun 1924; ketika Mustafa Kemal Attaturk melakukan serangkaian modernisasi, yang popluer dengan istilah ‘Kemalisme” dengan 6 prinsipnya yakni, republikanisme, nasionalisme, populisme, etatisme, sekularisme, dan reformisme. Melalui proyek ‘kemalisme’nya, Kemal melakukan perombakan total seluruh institusi politik dan kultural di Turki untuk kemudian diselaraskan dengan Barat, meski pada akhirnya gagal total dan Kemal dicemooh karena kecerobohannya.
Kegagalan modernisasi di dunia Muslim (seperti Turki) menggelitik pikiran banyak tokoh, dan di sini termasuk juga Cak Nur untuk melakukan analisis tentang hal tersebut, terutama dikaitkan dengan hubungan antara modernitas dan tradisi dalam perspektif sosiologi. Mengapa modernisasi di Turki gagal, padahal di Jepang berhasil?
Menurut Cak Nur, kaum pembaharu di Turki, khususnya kelompok Kemal, dalam menjalankan proyek modernisasinya hanya melibatkan teknikalisme bangsa Turki. Cak Nur melihat ada dua kesalahan utama dalam pembaharuan di Turki. Pertama, adanya kompleks psikologis dalam rangka penegasan ide tentang modernitas (misalnya; Turki ingin diakui sebagai Eropa “yang maju”, dibanding sebagai Asia “yang terbelakang”. Kedua, adanya pemutusan warisan (tradisi) kultural yang sudah berakar sebelumnya di masyarakat, khususnya yang menyangkut tradisi masyarakat Turki dan huruf Arab.
Berbeda dengan Turki, Jepang justru melakukan modernisasinya, bukan dengan cara menginginkannya disebut sebagai Eropa, tetapi dengan cara menegaskan keasliannya (originality). Jepang juga tidak melakukan pemutusan warisan (tradisi) kulturalnya, tetapi melakukan asimilasi jiwa kemodernan dengan kultur asli Jepang. Sumber inspirasi untuk menjadi modern bukan Eropanisasi, tetapi semangat dan jiwa keagamaan Jepang yakni Tokugawa. Pada perkembangan selanjutnya, berbeda dengan Turki yang terbukti gagal dengan upaya modernisasinya, Jepang sejak Restorasi Meiji 1868 justru berhasil menunjukkan keberhasilan modernisasinya kepada dunia internasional, meskipun sempat mengalami jatuh bangun.
Kasus Turki dan Jepang memberi pelajaran berharga bagi banyak tokoh, seperti juga Cak Nur, terkait dengan proyek modernisasi di negara-negara Muslim. Memadukan Islam sebagai produk Tuhan yang sakral, eternal (abadi) dan transenden, dengan modernitas sebagai produk peradaban manusia yang profan, temporal dan manusiawi bukanlah pekerjaan yang mudah. Singkatnya, banyak tokoh yang sepakat bahwa proses modernisasi yang telah dan sedang berlangsung di berbagai belahan dunia Muslim akan mengalami banyak hambatan jika melupakan tradisi. Jepang yang memanfaatkan tradisi sebagai khasanah kultural untuk menjadi modal dalam proses modernisasi itu terbukti berhasil. Sementara, Turki yang mengabaikan hal itu justru dianggap gagal Islam dan modernitas dalam proses modernisasinya.
Analisis kritis terhadap proses modernisasi yang telah dan sedang berlangsung dibelahan dunia Muslim itu memang menjadi bagian tak terpisahkan dari ruang diskusi Cak Nur tentang diskursus Islam dan modernitas. Cak Nur mengkritik modernisasi yang mengabaikan dan (bahkan) mereduksi warisan kultur tradisional dan khasanah ke-Islaman. Dalam pandangan Cak Nur, proyek modernisasi akan berhasil dengan baik, jika jiwa dan semangat modernitas itu diletakkan dalam kerangka kultural yang secara menyeluruh berkaitan dengan tradisi dan warisan budaya (kultur) dan agama (Islam) dari bangsa yang bersangkutan.
Secara umum, simpul gagasan dan pemikiran Cak Nur sendiri sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari dua hal, yakni monoteisme fundamental (tawhid) dan kemodernan. Variannya antara lain gagasan tentang sekularisasi serta inklusivisme dan universalisme Islam. Sekularisasi versi Cak Nur adalah’menduniawikan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Gagasan inklusivisme dan universalisme Islam dalam pendapat Cak Nur yakni bahwa Islam tidaklah identik dengan ideologi. Sementara, gagasan kemodernan Cak Nur secara singkat terartikulasikan dalam jargon ‘modernisasi adalah rasionalisasi, bukan westernisasi (Kristenisasi)’.
MODERNISASI ADALAH RASIONALISASI (BUKAN WESTERNISASI)
Menurut Cak Nur, pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang (hampir) identik dengan pengertian rasionalisasi, yang bermakna proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah (tidak rasional) dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliah (rasional). Kegunaannya ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Bagi seorang Muslim, yang sepenuhnya meyakini kebenaran Islam sebagai way of life, semua nilai dasar way of life itu telah tercantum di dalam al-Qur’an. Menurut Cak Nur, berdasarkan apa yang ada dalam al-Qur’an maka dalam menetapkan penilaian tentang modernis, kita juga harus berorientasi kepada nilai-nilai besar Islam. Bahkan, lebih jauh Cak Nur berpendapat bahwa modernisasi adalah suatu keharusan dan kewajiban yang mutlak. Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Allah SWT. Dasar pemikiran ini adalah:
a. Allah menciptakan seluruh alam ini dengan haq (benar) bukan bathil (palsu) (QS. 16:3, 38:27).
b. Dia mengaturnya dengan peraturan Illahi yang menguasai dan pasti (QS. 7:54, 25:2)
c. Sebagai buatan Tuhan Maha Pencipta, alam ini adalah baik, menyenangkan (mendatangkan kebahagiaan duniawi) dan harmonis. (QS. 21:7, 67:3).
d. Manusia diperintah oleh Allah untuk mengamati dan menelaah hukum-hukum yang ada dalam ciptaan-Nya. (QS. 10:101).
e. Allah menciptakan seluruh jagad raya untuk kepentingan manusia, kesejahteraan hidup dan kebahagiaannya, sebagai rahmat dari-Nya. Akan tetapi, hanya golongan manusia yang berpikir atau berasional yang akan mengerti dan kemudian memanfaatkan karunia itu (QS. 45:13).
f. Karena adanya perintah untuk mempergunakan akal-pikiran (rasio) itu, maka Allah melarang segala sesuatu yang menghambat perkembangan pemikiran, yakni terutama berupa pewarisan membuta terhadap tradisi-tradisi lama, yang merupakan cara berpikir dan tata kerja generasi sebelumnya (QS. 2:170, 43: 22—25).
Dari uraian di atas, Cak Nur ingin menjelaskan bahwa modernisasi, yang berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja yang maksimal guna kebahagiaan umat manusia, sesungguhnya adalah perintah Alla SWT yang imperatif dan mendasar. Meskipun demikian, Cak Nur juga menegaskan bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Allah SWT. Oleh karena itu, Cak Nur dengan jelas menolak segala pengertian yang menyatakan bahwa modernisasi ialah westernisasi/pembaratan. Memang ada kemerosotan moral terjadi di Barat dan itu, menurut Cak Nur, harus kita tolak. Namun demikian, kita tidak menolak ilmu pengetahuan yang benar dan juga teknologi, dari manapun ia berasal, termasuk dari Barat. Sebab ilmu pengetahuan dan teknologi sama sekali tidak dapat dikatakan dimonopoli oleh Barat saja, apalagi disebut westernisme. Malahan, menurut Cak Nur, sudah menjadi pengakuan umum sekali sekarang ini, bahwa kemajuan diBarat sekarang ini adalah berkat ilmu pengetahuan kaum Muslimin dizaman-zaman keemasannya. Supremasi Islam dimuka bumi, dua kali lebih panjang lamanya daripada supremasi Barat sekarang ini.
Meskipun abad modern ini, kebetulan, dimulai oleh Eropa Barat Laut, namun menurut Cak Nur, sesungguhnya bahan-bahan pembentuk kemodernan itu berasal dari pengalaman hampir seluruh umat manusia, dari Cina di Timur sampai Spanyol di Barat. Karena rentang daerah peradaban umat manusia pra-modern itu berpusat pada kawasan Timur Tengah dengan budaya Islamnya, maka yang paling banyak memberi sumbangan bahan klasik bagi timbulnya abad modern it, menurut Cak Nur, sesungguhnya adalah peradaban Islam. Dalam kosa kata ilmu pengetahuan modern, dapat kita temukan berbagai “jejak kaki”yang menunjukkan bahwa sumbangan Islam itu terutama berujud berbagai bahan yang merupakan high culture umat manusia saat itu --dan sampai batas tertentu, juga saat sekarang—sebagaimana tercermin dalam istilah-istilah ilmiah, seperti aljabar (al-jabr), alcohol (al-kuhul), asimut (al-sumt), logaritma (al-khawarizmiyyah), cipher (al-sifr) dan sebagainya. Tidak seluruh bahan peradaban Islam itu dihasilkan oleh kreasi umat Islam sendiri. Selain berkreasi, umat Islam klasik juga berfungsi sebagai penengah (wasit) dan saksi (syahid) keseluruhan umat manusia. Fungsi itu dijalankan dengan menerapkan sikap terbuka terhadap peradaban dan ilmu pengetahuan umat-umat lain. Sikap ini melahirkan sikap terbuka untuk mengambil sesuatu yang baik dan bermanfaat dari umat lain. Dalam hal ini Cak Nur merefer sabda Nabi SAW bahwa “ hikmah (ilmu pengetahuan, wisdom) adalah barang hilang kaum beriman, sehingga siapapun dari mereka menemukannya , hendaknya ia mengambilnya,” dan hendaknya kita menuntut ilmu pengetahuan, meskipun harus ke “negeri China”. Jadi umat Islam memang dianjurkan untuk menjadi Muslim yang senantiasa modern, maju, terbuka, progresif dan terus-menerus menguasahakn perbaikan-perbaikan bagi diri dan masyarakatnya.
ISLAM (MEMANG) KOMPATIBEL DENGAN MODERNITAS
Lebih jauh tentang kemodernan dalam Islam, Cak Nur (terutama setelah periode 1970) sebenarnya telah melakukan kajian dan analisis secara mendalam tentang hal tersebut melalui tradisi dan perkembangan sejarah umat Islam dan juga sejarah zaman modern. Secara umum, ia menjelaskan bahwa jika hakikat zaman modern adalah teknikalisme dan sikap modern dalam kehidupan sosial-politik sebagai suatu zaman baru, maka abad teknik ini, menurut Cak Nur, sesungguhnya dapat dibandingkan dengan peradaban masa Islam klasik yang telah mendominasi peradaban umat manusia selama beberapa abad dan menjadi dasar munculnya peradaban masyarakat modern Barat seperti sekarang ini. Di dalam zaman klasik Islam, apa yang sekarang dianggap sebagai ideal manusia modern justru telah menjadi kenyataan, seperti sikap-sikap universalistik, kosmopolit, relativisme-internal, terbuka, menerima paham pluralisme dalam kehidupan sosial dan sebagainya.
Bagi Cak Nur, sejarah Spanyol yang memiliki kesadaran pluralisme yang tinggi selama 5 abad di bawah pengaruh Islam (kemudian menjadi monolitis dibawah kekuasaan raja Kristen, dan kini sedang berusaha menumbuhkan kembali pluralisme atas nama demokrasi dan inspirasi modern) menunjukkan adanya kompatibilitas antara Islam dan modernitas. Keyakinan tersebut didukung (dan juga merupakan) kesimpulan para pengamat mutakhir tentang Islam dan sejarahnya, seperti Ernest Gellner dan Robbert. N. Bellah. Cak Nur beberapa kali mengutip pendapat Bellah yang menyatakan bahwa Islam, menurut zaman dan tempatnya, adalah sangat modern, dan bahkan terlalu modern sehingga kemudian gagal. Masa kekhalifahan cerah (rasyidah) yang demokratis dan terbuka, menurut Cak Nur, berlangsung hanya 30 tahun, untuk selanjutnya digantikan masa kerajaan (al-mulk) dari Dinasti Umawi yang otoriter dan tertutup. Bagi Cak Nur, seperti halnya Bellah dan pendapat para ulama Islam, sistim Umawi dipandang sebagai kelanjutan sistim kesukuan atau tribalisme Arab belaka. Selanjutnya muncul kegagalan, karena pada saat itu Timur tengah belum memiliki prasarana yang mendukung sepenuhnya ide modernitas Islam dan pelaksanaannya secara tepat, sehingga sistim dan konsep yang sangat modern itupun gagal, sampai kemudian diadopsi oleh dunia Barat.
Jadi, dari penjelasan di atas bisa dikatakan bahwa secara historis Islam sebenarnya tidak memiliki masalah dengan modernitas. Dalam soal ilmu pengetahuan, banyak sekali Hadist Nabi yang secara langsung menganjurkan umat Islam untuk menuntut ilmu. Al-Qur’an juga selalu menyerukan manusia untuk berpikir, menalar dan sebagainya. Dalam hal filsafat, misalnya, meski tafsiran para filsuf atas beberapa noktah ajaran agama tidak bisa diterima kalangan ulama ortodoks, namun para filsuf Muslim itu berfilsafat tentu karena dorongan keagamaan, untuk membela dan melindungi keimanan agama. Dengan demikian, wajar jika menurut Cak Nur sebagaimana kaum Muslim klasik telah dengan bebas menggunakan bahan-bahan yang datang dari dunia Hellenis tanpa mengalami Hellenisasi, kaum Muslim saat sekarang juga sebenarnya dapat menggunakan bahan-bahan modern yang datang dari Barat tanpa mengalami pembaratan (Westernisasi). Keadaan yang penuh dengan sikap bebas dan terbuka itu jelas memerlukan kepercayaan diri yang tinggi, sehingga ada dukungan psikologis untuk bertindak proaktif dan reaktif. Bagi Cak Nur, kepercayaan diri yang diperlukan akan segera terwujud, mengingat realitas kekinian menunjukkan semakin banyaknya kaum Muslim yang memasuki kehidupan modern tanpa kehilangan loyalitas pada agama mereka. Oleh karena itu, Cak Nur berpendapat bahwa kemodernan adalah suatu keniscayaan bagi umat Islam, meski sekarang ini kadang terjadi benturan antara Islam dan modernitas yang sering menghasilkan sikap-sikap reaksioner dalam bentuk anti-modernitas dan sikap-sikap penegasan diri (self-assertion) secara berlebihan. Cak Nur menganggap bahwa luka lama dunia Muslim akibat penjajahan itu akan hilang, lenyap ditelan sang waktu. Keyakinan itu didasarkan pada anggapan bahwa kemodernan adalah kelanjutan wajar dan logis dalam perkembangan kehidupan manusia sehingga kemodernan sendiri adalah sesuatu yang tak bisa dihindari (inevitable).
(BEBERAPA) CONTOH JENIUS KEMODERNAN ISLAM
Cak Nur melalui gagasan dan pemikirannya telah berusaha secara meyakinkan menjelaskan jenius kemodernan Islam. Konsep sosial-politik Islam, misalnya, oleh Cak Nur dianggap sangat modern dan hal ini disebabkan karena sifat universal dan kosmopolitan dari ajaran Islam. Sumber universalisme Islam bisa dilacak dari kata generik al-Islam itu sendiri, yang berarti sikap pasrah kepada Tuhan. Dengan pengertian tersebut, semua agama yang benar pasti bersifat al-Islam (karena mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan). Selanjutnya, al-Islam menjadi konsep kesatuan kenabian (the unity of prophecy), kesatuan kemanusiaan (the unity of humanity) yang keduanya merupakan kelanjutan dari ke-Maha-Esa-an Tuhan (the unity of God) atau tawhid. Dalam kesatuan itulah terletak kosmopolitanisme Islam. Yang menarik, menurut Cak Nur, adalah sebagai seorang Muslim, setelah menjadi sebuah nama agama “yang dilembagakan” (organized religion), al-Islam itu apa artinya? Menurutnya, ini berarti bahwa kaum Muslim harus menjadi penengah (al-wasith) dan saksi (syuhada) diantara sesama manusia. Sebagai penengah, kaum Muslim tidak boleh terlalu ekstrim memihak terlampau jauh, tetapi di dalam jiwanya harus memiliki rasa adil dan obyektif. Kaum Muslim sebagai penengah ini, menurut Cak Nur, bisa dibuktikan dalam sejarah peradaban Islam yang di dalamnya sangat menghargai umat non-Muslim (Yahudi dan Kristen). Sikap inklusivisme dan pluralisme ini ada karena al-Qur’an sendiri mengajarkan paham kemajemukan beragama (religious pluralism). Sikap ini juga telah menjadi prinsip pada masa kejayaan Islam dan telah mendasari kebijaksanaan politik kebebasan beragama. Cak Nur menyatakan bahwa meskipun tidak sepenuhnya sama dengan apa yang ada di zaman modern ini, namun prinsip-prinsip kebebasan beragama di zaman modern adalah pengembangan lebih lanjut dan konsisten dari apa yang ada pada zaman Islam klasik.
Selain konsep sosial-politik, nilai ke-Islaman lain yang menurut Cak Nur berkesesuaian (compatible) dengan kemodernan adalah paham kemajemukan beragama (pluralisme). Pluralisme inilah salah satu ajaran pokok Islam yang dianggap sangat relevan dengan kondisi sekarang. Para pengamat modernpun banyak yang mengapreasi hal ini secara tulus, seperti Max Dimmont yang memuji pluralisme Islam karena dianggap memberi ruang kebebasan agama dan ekonomi bagi kaum Yahudi di masa lalu. Bahkan, Bertrand Russell, seorang filsuf atheis-sekularis, juga memuji pluralisme Islam sebagai sikap kurang fanatik (lack of fanaticism) tapi justru membuat umat Islam mampu memerintah daerah amat luas dari berbagai bangsa dengan peradaban duniawi yang lebih tinggi. Pluralism Islam juga yang melahirkan konsep ahlu al-kitab, yang darinya lahir konsep al-dzimmah, yakni perlindungan; yakni perlindungan bagi non-Muslim penganut kitab suci. Oleh karena itu, menurut Cak Nur, golongan ahlu al-kitab juga disebut golongan ahlu al-dzimmah atau kaum dzimmi yang berarti bahwa mereka harus dilindungi. Hal ini sesuai dengan Hadist Nabi SAW yang berbunyi: “man adza dzimmiyyan falaysa minni (barang siapa yang menyakiti seorang dzimmi, maka ia tidak termasuk golonganku (Nabi)”.
Selain pluralisme, ajaran Islam tentang tauhid (monoteisme) dan kedudukan Nabi SAW sebagai manusia biasa juga dianggap sangat relevan dengan kehidupan modern saat ini. Cak Nur dengan mengutip pendapat Russell, menyatakan bahwa agama Nabi SAW adalah monoteisme sederhana, yang tidak dibuat ruwet oleh teologi berbelit-belit seperti Trinitas dan inkarnasi. Demikian juga Nabi SAW tidak mengaku sebagai illahi, dan para penganutnya tidak membuat klaim seperti itu atas namanya. Tentang Nabi SAW yang tidak pernah mengaku bersifat illahi itu dikatakan Cak Nur sebagai sebuah penilaian yang tepat, mengingat banyak agama terjerembab ke dalam teologi dan praktek menyembah dan menuhankan tokoh-tokoh yang mendirikannya. Penilaian Nabi SAW sebagai manusia biasa, menurut Cak Nur, memang sepenuhnya benar. Sebab bukan saja kitab suci al-Qur’an yang menegaskan bahwa beliau hanyalah manusia (Q.S. al-Kahfi/18:110, al-Fushilat/41:6), bahkan Nabi SAW sendiri pernah bersabda: “Aku hanyalah seorang manusia, aku bisa lupa dan alpa; maka jika aku alpa, hendaknya kamu semua mengingatkan kepadaku”(Hadist Shahih dikutip oleh Ibn Taymiyya dalam minhaj, 1:175). Nabi sendiri juga berpesan: “Janganlah kamu mengkultuskan aku seperti kaum Nasrani mengkultuskan Isa al-Masih. Aku hanyalah seorang hamba. Maka sebutlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya saja” (ibid, 1:305). Dari Hadist tersebut, secara tersurat Nabi sebenarnya ingin menekankan signifikansi konsep ke-tauhid-an itu.
Semua pemikiran dan gagasan tentang genius kemodernan Islam, menurut Cak Nur, titik tolaknya sangat jelas yakni konsep tauhid, yang dianggapnya memiliki efek pembebasan. Bagi kaum Muslim, konsep la ila-ha illalloh (tiada Tuhan selain Tuhan) itu menjadi semacam ‘teologi pembebasan’. Namun, tentu harus dibedakan dengan istilah teologi pembebasan yang biasanya diasosiasikan dengan Amerika Latin yang identik dengan Marxisme. Efek pembebasan dari konsep tauhid adalah pembebasan dari unsur-unsur mitologis yang harus ditempuh dengan ‘sekularisasi’. Sekularisasi diartikan Cak Nur sebagai bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan karena; sebagai akibat dari perjalanan sejarahnya sendiri, kaum Muslim terkadang tidak bisa membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami, mana yang transendental dan mana yang temporal. Lebih jauh, hirarkhi nilai itu sendiri sering dianggap secara terbalik, transendental semuanya. Cak Nur melalui konsep sekularisasinya mengajak kaum Muslim untuk menduniawikan hal-hal yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Sekularisasi juga dimaksudkan sebagai upaya untuk memantapkan tugas manusia dibumi sebagai khalifah Tuhan. Fungsi ini memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk memilih dan menetapkan sendiri cara dan tindakan dalam rangka perbaikan hidupnya, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas segala perbuatannya dihadapan Tuhan.
Menurut Cak Nur, soal kepercayaan kepada Tuhan, politeisme (syirik) adalah problem manusia sepanjang masa. Syirk adalah sebuah kepercayaan yang meskipun berpusat pada Tuhan, akan tetapi membuka peluang bagi adanya kepercayaan pada wujud-wujud lain yang dianggap bersifat illahi, meskipun lebih rendah dari Tuhan. Itu sebabnya mengapa al-Qur’an juga bertujuan untuk membebaskan manusia dari belenggu paham politeisme dengan mencanangkan dasar kepercayaan ‘negasi-afirmasi’ yang diungkapkan dalam kalimat al-nafy wa al-itsbat: La ila ha illalloh (“Tidak ada Tuhan” setelah itu “kecuali Tuhan itu’). Implikasi dari pembebasan ini adalah seseorang akan menjadi manusia terbuka, yang kritis dan tanggap kepada masalah kebenaran dan kepalsuan yang ada dalam masyarakat. Sikap tanggap ini muncul dari rasa keadilan (‘adl) dan perbuatan positif sesama manusia (al-ihsan).
Efek pembebasan ini, selanjutnya akan mengalir dari yang bersifat individual kepada yang lebih sosial. Menurut Cak Nur, dalam al-Qur’an prinsip tauhid berkaitan dengan sikap menolak thaghut (tiran), sehingga konsekuensinya melahirkan pembebasan sosial berupa egalitarianisme. Tauhid menghendaki sistim kemasyarakatan yang demokratis, berdasarkan musyawarah, sehingga memungkinkan masing-masing anggota masyarakat saling ber-amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran) dan tentang ketabahan serta kesabaran. Prinsip egalitariansime diharapkan berujung pada terciptanya keadilan sosial disegala bidang karena jika hal ini tidak terpenuhi terkadang menjadi masalah besar dalam proses modernisasi. Pertumbuhan ekonomi terkadang tidak sinkron dengan tingkat pemerataan. Akan tetapi, pembangunan tanpa pertumbuhan tampaknya tidaklah mungkin. Oleh karena itu, dalam pertumbuhan itu, problem keadilan sosial harus bisa diselesaikan. Hal ini menurut Cak Nur bisa dilakukan, misalnya, dengan membangun kelas menengah (yang nota bene di Indonesia mayoritasnya Muslim) yang kuat, karena selain berkaitan dengan kerja-kerja intelektual Cak Nur sendiri, juga berkaitan dengan peningkatan etos kerja dan transformasi masyarakat Indonesia. Dari sini Cak Nur kemudian memikirkan tentang kemungkinan pengembangan etos kerja dari sudut teologi Islam. Untuk itu, ia mengambil manfaat dari tradisi Weberian dalam menafsirkan al-Qur’an, termasuk di dalamnya mendinamisasikan teologi al-Asy’ariyyah hingga memiliki dinamika layaknya etika Calvinisme yang pre-destinian, tetapi membawa akumulasi kapital yang terus menerus sebagai akibat dari cara hidup yang asketis.
Demikianlah beberapa ajaran Islam, yang menurut Cak Nur sangat relevan dan bahkan bisa dijadikan dasar bagi kemodernan. Bagi Cak Nur, kesimpulan Ernest Gellner bahwa diantara 3 Abrahamic religions (Yahudi, Kristen dan Islam), Islam termasuk yang dekat dengan modernitas dianggap sangat tepat. Alasannya adalah karena ajaran dasar Islam (bila kita pahami secara kritis) dinilai sanggup bertahan dalam mengatasi persoalan kesenjangan antara yang normatif dan yang kongkret historis, atau antara tradisi besar dan tradisi kecilnya. Alasan lain adalah kualitasnya yang bersemangat kesarjanaan (scholarly).
ISLAM DAN MODERNITAS DALAM BINGKAI NEO-MODERNISME
Cak Nur, melalui gagasan dan pemikirannya tentang diskursus Islam dan Modernitas sering dikategorikan dalam kelompok Neo-Modernisme Islam. Sebagai gerakan kritis terhadap modernisme, Neo-Modernisme sebenarnya berusaha menggabungkan dua faktor penting yakni: modernisme dan tradisionalisme. Keduanya, menurut Cak Nur, masing-masing memiliki kelemahan. Modernisme cenderung menampilkan dirinya sebagai pemikiran yang angkuh dan bahkan kaku. Sementara, tradisionalisme Islam yang cukup kaya dengan berbagai pemikiran klasik Islam, tetapi justru dengan kekayaan itu, para pendukung pola pemikiran ini sangat berorientasi pada masa lampau dan terlalu kaku (rigid) untuk menerima gagasan-gagasan modernisme. Dengan Neo-Modernisme Islamnya, Cak Nur berusaha menjembatani, dan bahkan mengatasi, dua pemikiran konvensional itu. Selain itu, seperti dikatakan Greg Barton (1999), jika modernisme merupakan gerakan intelektual yang sangat concern terhadap persoalan-persoalan yang ditinggalkan modernisme, sambil mengambil rasionalisme mereka, Cak Nur justru mengambil pendekatan rasional terhadap kitab suci (al-Qur’an) dan Hadist untuk memperoleh kesimpulan-kesimpulan logis (rasional). Dalam konteks pemikiran sosial-politik, sikap akomodatif terhadap modernisme dan tradisionalisme ini juga mempengaruhi cara pandang Cak Nur dalam melihat relasi Islam dan negara. Di satu sisi, elemen-elemen sosial-politik modern diterima sebagai suatu kenyataan yang tidak bisa ditolak, tetapi di sisi yang lain tradisi keagamaan yang bersifat lokal juga dipergunakan dalam usaha menempatkan diri dalam sistim politik yang ditentukan oleh pemerintah.
Dalam rangka menjelaskan kompatibiltas Islam dan modernitas, Cak Nur memang terkadang menggunakan sejarah peradaban Islam dan teori-teori sosial modern, terutama yang dikembangkan oleh Max Weber dan Talcott Parson. Akan tetapi, yang dilakukan Cak Nur dengan teori-teori sosial modern bukanlah penelitian sosial sebagaimana umumnya yang dilakukan para ilmuwan sosial, tetapi untuk mengelaborasi ajaran-ajaran Islam seperti dalam al-Qur’an dan Hadist serta berusaha mereaktualisasikan tradisi Islam sendiri. Dengan demikian, seperti dijelaskan Deden Ridwan Cak Nur sesungguhnya seperti bekerja pada level meta-penelitian sosial, yakni memberikan rekomendasi bagi hasil penelitian sosial yang berparadigma modern dalam mempertanyakan dan menjawab persoalan ke-Islaman secara umum. Tujuan rekomendasi ini, tentu saja, agar kaum Muslim meneriman kemodernan dalam arti yang sangat luas. Bagi Cak Nur, makna modernisasi berarti merombak pola pikir dan tata kerja yang tidak aqliah (tidak rasional) dengan yang aqliah (rasional), karena Tuhan memerintahkan manusia agar menggunakan akal-pikirnya. Dengan demikian, modernisasi adalah suatu keharusan, bahkan kewajiban mutlak. Modernisasi merupakan perintah dan ajaran Tuhan. Ini berarti makna modernisasi telah bermuatan teologis, tidak hanya sekedar kenyataan historis. Inilah respon positif dan respon akomodasionis pemikiran Neo-Modernisme Islam Cak Nur. Demikianlah konsep Neo-Modernisme Cak Nur yang menyangkut gagasan dan pemikirannya tentang Islam dan modernitas. Menurut saya, ide dan gagasan tersebut memang masih berkutat pada bagaimana memperlakukan tradisi, terutama menyangkut epistemologi dan metodologinya, tetapi bertujuan liberalisasi pemikiran Islam sebagai bagian dari upaya pembaharuan untuk mewujudkan aplikasi dan kontekstualisasi nilai-nilai Islam ke dalam bingkai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semua).
JENIUS KEMODERNAN ISLAM DI INDONESIA
Menurut Cak Nur, jenius kemodernan Islam di Indonesia secara fundamental dapat dilihat dari makna Pancasila sendiri sebagai dasar dan Filosofi bangsa. Melalui slogan “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetapi satu jua, hal ini mengandung makna bahwa meskipun masyarakat Indonesia bersifat sangat plural baik dari segi agama, suku bangsa, bahasa dan sebagainya tetapi mereka diikat dan disatukan oleh sebuah landasan hidup bersama (common platform) yakni Pancasila. Makna seperti ini menurut Cak Nur, berkesesuaian dengan fokusnya pada penafsiran Islam dalam konteks keIndonesiaan yang dibingkai dalam kerangka toleransi, pluralisme dan inklusivisme. Oleh karena itu, maka Cak Nur menyatakan bahwa ke-5 sila dalam Pancasila sebenarnya dapat disejajarkan dengan Piagam Madinah dalam hal spirit/semangatnya. Cak Nur juga sering merujuk kepada persaudaraan harmonis antara kaum Muslim, Yahudi dan Kristen selama masa Dinasti Umayya di Andalusia dan mengambil contoh Khalifah Umar dalam Perjanjian Aeliya bagi Yerusalem sebagai model sejarah yang bermanfaat dalam pembentukan masyarakat Indonesia kontemporer. Ibn Taymiyya, seorang reformer abad 14, adalah rujukan penting lainnya yang menjadi inspirasi bagi penafsiran inklusif tentang Islam dalam konteks Indonesia.
Di dalam piagam Madinah, yang spirit/semangatnya oleh Cak Nur disejajarkan dengan Pancasila itu, dinyatakan tentang hak kewargaan dan partisipasi kaum non-Muslim di negeri Madinah yang dipimpin Nabi SAW. Kaum Yahudi yang semula merupakan himpunan suku-suku diangkat statusnya oleh Piagam itu menjadi warga negara yang sah. Tidak hanya terhadap kaum Yahudi, terhadap kaum Nasranipun Nabi berlaku sama. Tindakan Nabi yang memperlakukan non-Muslim dengan penuh penghargaan serta tidak pernah menutup dialog dengan mereka, dijadikan teladan oleh para sahabatnya. Umar Ibn Khattab ketika menaklukan Yerusalem bertemu dengan uskup agung untuk membuat perjanjian yang isinya antara lain melindungi pemeluk Kristen. Perjanjian itu selanjutnya dikenal dengan nama Perjanjian Aeliya. Begitu pula ketika kaum Muslim melakukan ekspansi ke anak benua India pada tahun 711 M. Tidak ada pemaksaan kepada penganut Hindu dan Buddha di sana untuk memeluk Islam. Mereka dibiarkan dan dilindungi dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing.
Terinspirasi oleh Adam Malik (pernah menjadi Wakil Presiden RI), Cak Nur memandang Pancasila sebagai sebuah dasar bagi pembangunan suasana sosial yang mempromosikan toleransi dan pluralisme agama di Indonesia. Menurut Malik, apa yang disebut Konstitusi Madinah yang dibuat oleh Nabi, dengan Pancasila sebenarnya ada kemiripan dalam hal spirit/semangatnya. Konstitusi itu memproklamirkan bahwa semua warga negara, baik Muslim maupun Yahudi, adalah satu bangsa atau umma dan bahwa mereka semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. Malik kemudian menafsirkan hal ini sebagai sebuah formula bagi sebuah negara yang berdasar pada ide tentang pluralisme sosial dan agama. Menurut Cak Nur dokumen ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Khalifah yang kedua yakni Umar dalam Piagam Aelia-nya bagi Yerusalem dan Syiria dan yang kurang lebih sama oleh Kekhalifahan Umayya di Spanyol. Khalifah di Andalusia ini kemudian di puji oleh Ibn Taymiyya sebagai pengikut sejati aliran Madinah, yang dianggap paling valid.
Lebih jauh, untuk konteks Indonesia yang plural Cak Nur menekankan pentingnya menemukan kemiripan dan kesinambungan antara agama-agama untuk membangun saling pengertian antar umat beragama di Indonesia. Semua agama Nabi Ibrahim berasal dari Tuhan yang sama dan karenanya tidak mengherankan jika kita menemukan kesamaan dalam sumber-sumber yang mereka ikuti. Meski tidak mengherankan juga jika kita temukan perbedaan didalamnya, karena Nabi dan rasul yang mereka ikuti semua beraksi sebagai respon terhadap kebutuhan dan tantangan lokasi dan waktu mereka sendiri-sendiri. Juga pengikut Hindu, Buddha, dan agama China memiliki kitab suci masing-masing yang berisi doktrin fundamental tentang Keesaan Tuhan, tauhid, atau mototeisme. Tetapi, adalah benar bahwa mereka melakukan penyimpangan dari monoteisme sejati dan bahwa formulasi didalam kitab suci mereka, sebagaimana dalam sumber-sumber Kristen dan Yahudi, telah mengalami perubahan melalui sejarah. Menurut Ibn Taymiyya Allah menurunkan al-Qur’an untuk mensupport dan melindungi pesan-pesan yang sudah eksis dalam kitab-kitab suci, meskipun pesan-pesan mereka dapat dirubah atau bahkan secara total berbeda dari apa yang ada di dalam al-Qur’an. Ini tergantung pada perubahan kebutuhan dalam waktu dan tempat dan tidak pada validitas sumber-sumber yang telah diwahyukan sebelumnya. Sebagai kesimpulan, menurut pemahaman inklusif Cak Nur, tidak ada perbedaan fundamental antara pesan-pesan yang ada dalam agama-agama besar dunia.
Hal-hal di atas, menurut Cak Nur, bisa dijadikan argumen dan landasan untuk mempromosikan dan membangun sebuah atmosfer toleransi dan pluralisme beragama di Indonesia. Lebih jauh, Cak Nur bahkan ingin membawa argumen dan landasan ini ke dalam realisasi untuk menjadikan Indonesia sebuah laboratorium bagi pembangunan pluralisme dan toleransi agama dalam bingkai jenius kemodernan Islam. Hal ini karena menurut Cak Nur, Indonesia yang paling terkenal sebagai negara Muslim terbesar di dunia, memiliki kesempatan yang bagus untuk menciptakan dialog yang positif dan konstruktif antara Islam dan kebutuhan dunia zaman modern kini.
END NOTES
1. Cak Nur bahkan menulis buku dengan judul yang sama dengan muara pemikirannya itu. Lihat Nurcholish Madjid, 1987, Islam, Kemodernan dan KeIndonesiaan, Bandung: Penerbit Mizan.
2. Robbert N Bellah menyatakan bahwa: “When the structure that took shape under the Prophet was extended by early Caliphs to provide the organizing principle for a world empire, the result is something that for its time and place is remarkably modern (Ketika struktur yang dibangun Nabi (Muhammad) dikembangkan oleh kekhalifahan awal dengan menyediakan prinsip-prinsip pengorganisasian bagi sebuah kekaisaran dunia, hasilnya adalah sesuatu yang pada masa dan tempat itu bisa dianggap sangat modern). Lihat Amich Alhumami, 2001, Gerakan Neo-Modernisma Islam di Indonesia: Menimbang Nurcholish Madjid, dalam Sukandi (ed), 2001, Thariqat Nurcholisiy: Jejak pemikiran dari pembaharu sampai guru bangsa, cetakan 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 386-387
3. Lihat Sumanto al-Qurtubi, 2001, Proyek Membangun Jalan Tengah: Membaca Pemikiran Hukum KH Sahal Mahfudz, dalam Jurnal Taswhirul Afkar, 2001, Post Tradisionalisme Islam: Ideologi dan metodologi, Jakarta: Lakpesdam NU, hal. 108
4. Idem, hal. 108. Apa yang diungkapkan Daniel Lerner itu merupakan hasil penelitiannya di 6 negara Islam yakni; Syiria, Mesir, Turki, Jordania, Libanon dan Iran dalam rangka memotret bagaimana respons masyarakat Muslim terhadap modernisasi yang melanda kawasan Timur Tengah. Meskipun disajikan dengan cukup apik, namun buku ini sering dianggap tendensius dan memojokkan dunia Islam. Lihat Daniel Lerner, 1983, Memudarnya Masyarakat Tradisional, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
5. Restorasi Meiji dalam bahasa Jepang disebut Meiji Ishin (Pembaharuan Meiji). Dalam makna yang sempit sering diartikan sebagai pemulihan kembali kekuasaan Kaisar Meiji dengan menggulingkan kekuasaan Tokugawa pada 3 Januari 1868. Secara lebih luas, peristiwa ini telah membuka pintu ke arah pembaharuan-pembaharuan dalam bidang mental, politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya serta meletakkan sendi-sendi dasar bagi suatu Jepang modern.
6. Nurcholish Madjid, 1985, Agama dan Modernisasi: Pelajaran dari Jepang dan Turki, sebuah kata pengantar dalam Donald Smith, 1985, Agama Di Tengah Sekularisasi Politik (terjemahan Azyumardi Azra dan Hari Zamhari), Jakarta: Pustaka Panjimas, hal. xiii—xvii.
7. Lebih lanjut lihat N. Madjid, 1987, Islam, Kemodernan dan KeIndonesiaan, Bandung: Penerbit Mizan, hal 171—203.
8. Idem, hal. 274—275.
9. Nurcholish Madjid, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemodernan, Jakarta: Paramadina, hal. lxxxii. Lihat M. Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sebuah keyakinan akan Islam yang mampu memberikan jalan keluar, dalam M. Wahyuni Nafis (dkk), 2005, Kesaksian Intelektual: Mengiringi kepergian sang guru bangsa, Jakarta: Paramadina, hal. 24
10. idem, hal. 25
11. Uraian lebih detail lihat Budhy Munawar-Rachman, 2005, Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di Indonesia, makalah yang tidak dipublikasikan dalam Simposium dan Dies Natalis Universitas Paramadina ke VII, di Jakarta, 17-19 Maret 2005.
12. M. Wahyuni Nafis, 2005, op.cit, hal. 25-26
13. Suratno, 2005, In Memory of Nurcholish and His Islamic Liberalism, dalam www.thejakartapost.com, 24 September 2005
14. Etika pre-destinian menganggap bahwa manusia ketika dilahirkan sudah membawa takdirnya sendiri-sendiri, apakah ia akan celaka (masuk neraka) atau bahagia (masuk surga) dikehidupan akhiratnya kelak.
15. Nurcholish Madjid, 1992, op.cit, hal. 469 dan 472
16. Deden Ridwan, 2001, Tempo dan Gerakan Neo Modernisme Islam di Indonesia, dalam Sukandi (ed), 2001, op.cit, hal. 271-272
17. Lihat Ann Kull, 2005, Modern Interpretation of Islamic History in the Indonesian Context: The case of Nurcholish Madjid, dalam www.google.com
18. Suatu hari Nabi kedatangan utusan dari pemeluk Kristen Najran di Yaman. Mereka menanyakan perihal status mereka sebagai kaum Nasrani di hadapan negara Islam. Yang menarik adalah bahwa Nabi menerima para utusan itu di masjid. Kepada mereka beliau menjelaskan tentang Islam, dan mengajak mereka memeluk Islam. Sebagian dari mereka menerima Islam, dan sebagian yang lain ingin tetap sebagai Kristen. Namun demikian Nabi memberi kebebasan memilih, dan menjelaskan bahwa status mereka sama dengan kaum Yahudi sebagai warga negara yang sah. Lihat Nurcholish Madjid dkk, 2004, Fiqh Lintas Agama: Membangun masyarakat inklusif-pluralis, Jakarta: Paramadina, hal. 216.
19. Isi perjanjian Aeliya antara lain: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha pengasih, Maha penyayang. Perjanjian ini diberikan oleh Umar, hamba Allah, dan Amirul Mukminin, kepada penduduk Aeliya. Umar menjamin keamanan jiwa mereka dan harta-harta mereka; gereja-gereja dan salib-salib mereka…. Dan kepada penganut agama Kristen. Gereja-gereja mereka tidaklah akan dijarah ataupun dihancurkan…. Atau harta benda dikurangi dalam bentuk apapun. Mereka (pemeluk Kristen) tidaklah akan dipaksa dalam bentuk apapun dalam kaitan dengan agama mereka; dan mereka haruslah terpelihara dari bahaya. Lihat Nurcholish Majdid dkk, 2004, op.cit, hal. 257
20. Idem, hal. 217.
21. Ann Kull, 2005, op.cit.
22. Nurcholish Madjid, 1995, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun tradisi dan visi baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, hal. 138.f
23. Nurcholish Madjid, 1994, Islamic Roots of Modern Pluralism, dalam Jurnal Studia Islamika, vol.1 No.1, Jakarta, hal. 74.f
24. Idem, hal. 76.f
BIBLIOGRAFI
Alhumami, Amich, 2001, Gerakan Neo-Modernisma Islam di Indonesia: Menimbang Nurcholish Madjid, dalam Sukandi (ed), 2001, Thariqat Nurcholisiy: Jejak pemikiran dari pembaharu sampai guru bangsa, cetakan 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Qurtubi, Sumanto, 2001, Proyek Membangun Jalan Tengah: Membaca Pemikiran Hukum KH Sahal Mahfudz, dalam Jurnal Taswhirul Afkar, 2001, Post Tradisionalisme Islam: Ideologi dan metodologi, Jakarta: Lakpesdam NU.
Kull, Ann, 2005, Modern Interpretation of Islamic History in the Indonesian Context: The case of Nurcholish Madjid, dalam www.google.com
Lerner, Daniel, 1983, Memudarnya Masyarakat Tradisional, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Madjid, Nurcholish, 1985, Agama dan Modernisasi: Pelajaran dari Jepang dan Turki, sebuah kata pengantar dalam Donald Smith, 1985, Agama Di Tengah Sekularisasi Politik (terjemahan Azyumardi Azra dan Hari Zamhari), Jakarta: Pustaka Panjimas.
----------, 1987, Islam, Kemodernan dan KeIndonesiaan, Bandung: Penerbit Mizan.
----------, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemodernan, Jakarta: Paramadina.
----------, 1994, Islamic Roots of Modern Pluralism, dalam Jurnal Studia Islamika, vol.1 No.1, Jakarta.
----------, 1995, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun tradisi dan visi baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina.
---------- dkk, 2004, Fiqh Lintas Agama: Membangun masyarakat inklusif-pluralis, Jakarta: Paramadina.
Munawar-Rachman, Budhy, 2005, Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di Indonesia, makalah yang tidak dipublikasikan dalam Simposium dan Dies Natalis Universitas Paramadina ke VII, di Jakarta, 17-19 Maret 2005.
Nafis, M Wahyuni, 2005, Cak Nur: Sebuah keyakinan akan Islam yang mampu memberikan jalan keluar, dalam M. Wahyuni Nafis (dkk), 2005, Kesaksian Intelektual: Mengiringi kepergian sang guru bangsa, Jakarta: Paramadina.
Ridwan, Deden, 2001, Tempo dan Gerakan Neo Modernisme Islam di Indonesia, dalam Sukandi (ed), 2001, Thariqat Nurcholisiy: Jejak pemikiran dari pembaharu sampai guru bangsa, cetakan 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suratno, 2005, In Memory of Nurcholish and His Islamic Liberalism, dalam harian The Jakarta Post, 24 September 2005.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H