Menurut Cak Nur, jenius kemodernan Islam di Indonesia secara fundamental dapat dilihat dari makna Pancasila sendiri sebagai dasar dan Filosofi bangsa. Melalui slogan “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetapi satu jua, hal ini mengandung makna bahwa meskipun masyarakat Indonesia bersifat sangat plural baik dari segi agama, suku bangsa, bahasa dan sebagainya tetapi mereka diikat dan disatukan oleh sebuah landasan hidup bersama (common platform) yakni Pancasila. Makna seperti ini menurut Cak Nur, berkesesuaian dengan fokusnya pada penafsiran Islam dalam konteks keIndonesiaan yang dibingkai dalam kerangka toleransi, pluralisme dan inklusivisme. Oleh karena itu, maka Cak Nur menyatakan bahwa ke-5 sila dalam Pancasila sebenarnya dapat disejajarkan dengan Piagam Madinah dalam hal spirit/semangatnya. Cak Nur juga sering merujuk kepada persaudaraan harmonis antara kaum Muslim, Yahudi dan Kristen selama masa Dinasti Umayya di Andalusia dan mengambil contoh Khalifah Umar dalam Perjanjian Aeliya bagi Yerusalem sebagai model sejarah yang bermanfaat dalam pembentukan masyarakat Indonesia kontemporer. Ibn Taymiyya, seorang reformer abad 14, adalah rujukan penting lainnya yang menjadi inspirasi bagi penafsiran inklusif tentang Islam dalam konteks Indonesia.
Di dalam piagam Madinah, yang spirit/semangatnya oleh Cak Nur disejajarkan dengan Pancasila itu, dinyatakan tentang hak kewargaan dan partisipasi kaum non-Muslim di negeri Madinah yang dipimpin Nabi SAW. Kaum Yahudi yang semula merupakan himpunan suku-suku diangkat statusnya oleh Piagam itu menjadi warga negara yang sah. Tidak hanya terhadap kaum Yahudi, terhadap kaum Nasranipun Nabi berlaku sama. Tindakan Nabi yang memperlakukan non-Muslim dengan penuh penghargaan serta tidak pernah menutup dialog dengan mereka, dijadikan teladan oleh para sahabatnya. Umar Ibn Khattab ketika menaklukan Yerusalem bertemu dengan uskup agung untuk membuat perjanjian yang isinya antara lain melindungi pemeluk Kristen. Perjanjian itu selanjutnya dikenal dengan nama Perjanjian Aeliya. Begitu pula ketika kaum Muslim melakukan ekspansi ke anak benua India pada tahun 711 M. Tidak ada pemaksaan kepada penganut Hindu dan Buddha di sana untuk memeluk Islam. Mereka dibiarkan dan dilindungi dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing.
Terinspirasi oleh Adam Malik (pernah menjadi Wakil Presiden RI), Cak Nur memandang Pancasila sebagai sebuah dasar bagi pembangunan suasana sosial yang mempromosikan toleransi dan pluralisme agama di Indonesia. Menurut Malik, apa yang disebut Konstitusi Madinah yang dibuat oleh Nabi, dengan Pancasila sebenarnya ada kemiripan dalam hal spirit/semangatnya. Konstitusi itu memproklamirkan bahwa semua warga negara, baik Muslim maupun Yahudi, adalah satu bangsa atau umma dan bahwa mereka semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. Malik kemudian menafsirkan hal ini sebagai sebuah formula bagi sebuah negara yang berdasar pada ide tentang pluralisme sosial dan agama. Menurut Cak Nur dokumen ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Khalifah yang kedua yakni Umar dalam Piagam Aelia-nya bagi Yerusalem dan Syiria dan yang kurang lebih sama oleh Kekhalifahan Umayya di Spanyol. Khalifah di Andalusia ini kemudian di puji oleh Ibn Taymiyya sebagai pengikut sejati aliran Madinah, yang dianggap paling valid.
Lebih jauh, untuk konteks Indonesia yang plural Cak Nur menekankan pentingnya menemukan kemiripan dan kesinambungan antara agama-agama untuk membangun saling pengertian antar umat beragama di Indonesia. Semua agama Nabi Ibrahim berasal dari Tuhan yang sama dan karenanya tidak mengherankan jika kita menemukan kesamaan dalam sumber-sumber yang mereka ikuti. Meski tidak mengherankan juga jika kita temukan perbedaan didalamnya, karena Nabi dan rasul yang mereka ikuti semua beraksi sebagai respon terhadap kebutuhan dan tantangan lokasi dan waktu mereka sendiri-sendiri. Juga pengikut Hindu, Buddha, dan agama China memiliki kitab suci masing-masing yang berisi doktrin fundamental tentang Keesaan Tuhan, tauhid, atau mototeisme. Tetapi, adalah benar bahwa mereka melakukan penyimpangan dari monoteisme sejati dan bahwa formulasi didalam kitab suci mereka, sebagaimana dalam sumber-sumber Kristen dan Yahudi, telah mengalami perubahan melalui sejarah. Menurut Ibn Taymiyya Allah menurunkan al-Qur’an untuk mensupport dan melindungi pesan-pesan yang sudah eksis dalam kitab-kitab suci, meskipun pesan-pesan mereka dapat dirubah atau bahkan secara total berbeda dari apa yang ada di dalam al-Qur’an. Ini tergantung pada perubahan kebutuhan dalam waktu dan tempat dan tidak pada validitas sumber-sumber yang telah diwahyukan sebelumnya. Sebagai kesimpulan, menurut pemahaman inklusif Cak Nur, tidak ada perbedaan fundamental antara pesan-pesan yang ada dalam agama-agama besar dunia.
Hal-hal di atas, menurut Cak Nur, bisa dijadikan argumen dan landasan untuk mempromosikan dan membangun sebuah atmosfer toleransi dan pluralisme beragama di Indonesia. Lebih jauh, Cak Nur bahkan ingin membawa argumen dan landasan ini ke dalam realisasi untuk menjadikan Indonesia sebuah laboratorium bagi pembangunan pluralisme dan toleransi agama dalam bingkai jenius kemodernan Islam. Hal ini karena menurut Cak Nur, Indonesia yang paling terkenal sebagai negara Muslim terbesar di dunia, memiliki kesempatan yang bagus untuk menciptakan dialog yang positif dan konstruktif antara Islam dan kebutuhan dunia zaman modern kini.
END NOTES
1. Cak Nur bahkan menulis buku dengan judul yang sama dengan muara pemikirannya itu. Lihat Nurcholish Madjid, 1987, Islam, Kemodernan dan KeIndonesiaan, Bandung: Penerbit Mizan.
2. Robbert N Bellah menyatakan bahwa: “When the structure that took shape under the Prophet was extended by early Caliphs to provide the organizing principle for a world empire, the result is something that for its time and place is remarkably modern (Ketika struktur yang dibangun Nabi (Muhammad) dikembangkan oleh kekhalifahan awal dengan menyediakan prinsip-prinsip pengorganisasian bagi sebuah kekaisaran dunia, hasilnya adalah sesuatu yang pada masa dan tempat itu bisa dianggap sangat modern). Lihat Amich Alhumami, 2001, Gerakan Neo-Modernisma Islam di Indonesia: Menimbang Nurcholish Madjid, dalam Sukandi (ed), 2001, Thariqat Nurcholisiy: Jejak pemikiran dari pembaharu sampai guru bangsa, cetakan 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 386-387
3. Lihat Sumanto al-Qurtubi, 2001, Proyek Membangun Jalan Tengah: Membaca Pemikiran Hukum KH Sahal Mahfudz, dalam Jurnal Taswhirul Afkar, 2001, Post Tradisionalisme Islam: Ideologi dan metodologi, Jakarta: Lakpesdam NU, hal. 108
4. Idem, hal. 108. Apa yang diungkapkan Daniel Lerner itu merupakan hasil penelitiannya di 6 negara Islam yakni; Syiria, Mesir, Turki, Jordania, Libanon dan Iran dalam rangka memotret bagaimana respons masyarakat Muslim terhadap modernisasi yang melanda kawasan Timur Tengah. Meskipun disajikan dengan cukup apik, namun buku ini sering dianggap tendensius dan memojokkan dunia Islam. Lihat Daniel Lerner, 1983, Memudarnya Masyarakat Tradisional, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
5. Restorasi Meiji dalam bahasa Jepang disebut Meiji Ishin (Pembaharuan Meiji). Dalam makna yang sempit sering diartikan sebagai pemulihan kembali kekuasaan Kaisar Meiji dengan menggulingkan kekuasaan Tokugawa pada 3 Januari 1868. Secara lebih luas, peristiwa ini telah membuka pintu ke arah pembaharuan-pembaharuan dalam bidang mental, politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya serta meletakkan sendi-sendi dasar bagi suatu Jepang modern.
6. Nurcholish Madjid, 1985, Agama dan Modernisasi: Pelajaran dari Jepang dan Turki, sebuah kata pengantar dalam Donald Smith, 1985, Agama Di Tengah Sekularisasi Politik (terjemahan Azyumardi Azra dan Hari Zamhari), Jakarta: Pustaka Panjimas, hal. xiii—xvii.
7. Lebih lanjut lihat N. Madjid, 1987, Islam, Kemodernan dan KeIndonesiaan, Bandung: Penerbit Mizan, hal 171—203.
8. Idem, hal. 274—275.
9. Nurcholish Madjid, 1992, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemodernan, Jakarta: Paramadina, hal. lxxxii. Lihat M. Wahyuni Nafis, Cak Nur: Sebuah keyakinan akan Islam yang mampu memberikan jalan keluar, dalam M. Wahyuni Nafis (dkk), 2005, Kesaksian Intelektual: Mengiringi kepergian sang guru bangsa, Jakarta: Paramadina, hal. 24
10. idem, hal. 25
11. Uraian lebih detail lihat Budhy Munawar-Rachman, 2005, Nurcholish Madjid dan Perdebatan Islam di Indonesia, makalah yang tidak dipublikasikan dalam Simposium dan Dies Natalis Universitas Paramadina ke VII, di Jakarta, 17-19 Maret 2005.
12. M. Wahyuni Nafis, 2005, op.cit, hal. 25-26
13. Suratno, 2005, In Memory of Nurcholish and His Islamic Liberalism, dalam www.thejakartapost.com, 24 September 2005
14. Etika pre-destinian menganggap bahwa manusia ketika dilahirkan sudah membawa takdirnya sendiri-sendiri, apakah ia akan celaka (masuk neraka) atau bahagia (masuk surga) dikehidupan akhiratnya kelak.
15. Nurcholish Madjid, 1992, op.cit, hal. 469 dan 472
16. Deden Ridwan, 2001, Tempo dan Gerakan Neo Modernisme Islam di Indonesia, dalam Sukandi (ed), 2001, op.cit, hal. 271-272
17. Lihat Ann Kull, 2005, Modern Interpretation of Islamic History in the Indonesian Context: The case of Nurcholish Madjid, dalam www.google.com
18. Suatu hari Nabi kedatangan utusan dari pemeluk Kristen Najran di Yaman. Mereka menanyakan perihal status mereka sebagai kaum Nasrani di hadapan negara Islam. Yang menarik adalah bahwa Nabi menerima para utusan itu di masjid. Kepada mereka beliau menjelaskan tentang Islam, dan mengajak mereka memeluk Islam. Sebagian dari mereka menerima Islam, dan sebagian yang lain ingin tetap sebagai Kristen. Namun demikian Nabi memberi kebebasan memilih, dan menjelaskan bahwa status mereka sama dengan kaum Yahudi sebagai warga negara yang sah. Lihat Nurcholish Madjid dkk, 2004, Fiqh Lintas Agama: Membangun masyarakat inklusif-pluralis, Jakarta: Paramadina, hal. 216.
19. Isi perjanjian Aeliya antara lain: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha pengasih, Maha penyayang. Perjanjian ini diberikan oleh Umar, hamba Allah, dan Amirul Mukminin, kepada penduduk Aeliya. Umar menjamin keamanan jiwa mereka dan harta-harta mereka; gereja-gereja dan salib-salib mereka…. Dan kepada penganut agama Kristen. Gereja-gereja mereka tidaklah akan dijarah ataupun dihancurkan…. Atau harta benda dikurangi dalam bentuk apapun. Mereka (pemeluk Kristen) tidaklah akan dipaksa dalam bentuk apapun dalam kaitan dengan agama mereka; dan mereka haruslah terpelihara dari bahaya. Lihat Nurcholish Majdid dkk, 2004, op.cit, hal. 257
20. Idem, hal. 217.
21. Ann Kull, 2005, op.cit.
22. Nurcholish Madjid, 1995, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun tradisi dan visi baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, hal. 138.f
23. Nurcholish Madjid, 1994, Islamic Roots of Modern Pluralism, dalam Jurnal Studia Islamika, vol.1 No.1, Jakarta, hal. 74.f
24. Idem, hal. 76.f
BIBLIOGRAFI
Alhumami, Amich, 2001, Gerakan Neo-Modernisma Islam di Indonesia: Menimbang Nurcholish Madjid, dalam Sukandi (ed), 2001, Thariqat Nurcholisiy: Jejak pemikiran dari pembaharu sampai guru bangsa, cetakan 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Qurtubi, Sumanto, 2001, Proyek Membangun Jalan Tengah: Membaca Pemikiran Hukum KH Sahal Mahfudz, dalam Jurnal Taswhirul Afkar, 2001, Post Tradisionalisme Islam: Ideologi dan metodologi, Jakarta: Lakpesdam NU.
Kull, Ann, 2005, Modern Interpretation of Islamic History in the Indonesian Context: The case of Nurcholish Madjid, dalam www.google.com
Lerner, Daniel, 1983, Memudarnya Masyarakat Tradisional, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Madjid, Nurcholish, 1985, Agama dan Modernisasi: Pelajaran dari Jepang dan Turki, sebuah kata pengantar dalam Donald Smith, 1985, Agama Di Tengah Sekularisasi Politik (terjemahan Azyumardi Azra dan Hari Zamhari), Jakarta: Pustaka Panjimas.
----------, 1987, Islam, Kemodernan dan KeIndonesiaan, Bandung: Penerbit Mizan.