Mohon tunggu...
Suratno Paramadina
Suratno Paramadina Mohon Tunggu... lainnya -

Suratno (b. 1977 in Cilacap, Central Java, Indonesia). A lecturer at Paramadina University and previously at STAI-NU Jakarta. Studied doctoral at Goethe-University Frankfurt. Former Head of Executive (Tanfidziyah) of NU branch of Germany

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Nurcholish Madjid & Neomodernisme Islam

29 Agustus 2014   16:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:11 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1409278177767930838

Cak Nur melalui gagasan dan pemikirannya telah berusaha secara meyakinkan menjelaskan jenius kemodernan Islam. Konsep sosial-politik Islam, misalnya, oleh Cak Nur dianggap sangat modern dan hal ini disebabkan karena sifat universal dan kosmopolitan dari ajaran Islam. Sumber universalisme Islam bisa dilacak dari kata generik al-Islam itu sendiri, yang berarti sikap pasrah kepada Tuhan. Dengan pengertian tersebut, semua agama yang benar pasti bersifat al-Islam (karena mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan). Selanjutnya, al-Islam menjadi konsep kesatuan kenabian (the unity of prophecy), kesatuan kemanusiaan (the unity of humanity) yang keduanya merupakan kelanjutan dari ke-Maha-Esa-an Tuhan (the unity of God) atau tawhid. Dalam kesatuan itulah terletak kosmopolitanisme Islam. Yang menarik, menurut Cak Nur, adalah sebagai seorang Muslim, setelah menjadi sebuah nama agama “yang dilembagakan” (organized religion), al-Islam itu apa artinya? Menurutnya, ini berarti bahwa kaum Muslim harus menjadi penengah (al-wasith) dan saksi (syuhada) diantara sesama manusia. Sebagai penengah, kaum Muslim tidak boleh terlalu ekstrim memihak terlampau jauh, tetapi di dalam jiwanya harus memiliki rasa adil dan obyektif. Kaum Muslim sebagai penengah ini, menurut Cak Nur, bisa dibuktikan dalam sejarah peradaban Islam yang di dalamnya sangat menghargai umat non-Muslim (Yahudi dan Kristen). Sikap inklusivisme dan pluralisme ini ada karena al-Qur’an sendiri mengajarkan paham kemajemukan beragama (religious pluralism). Sikap ini juga telah menjadi prinsip pada masa kejayaan Islam dan telah mendasari kebijaksanaan politik kebebasan beragama. Cak Nur menyatakan bahwa meskipun tidak sepenuhnya sama dengan apa yang ada di zaman modern ini, namun prinsip-prinsip kebebasan beragama di zaman modern adalah pengembangan lebih lanjut dan konsisten dari apa yang ada pada zaman Islam klasik.

Selain konsep sosial-politik, nilai ke-Islaman lain yang menurut Cak Nur berkesesuaian (compatible) dengan kemodernan adalah paham kemajemukan beragama (pluralisme). Pluralisme inilah salah satu ajaran pokok Islam yang dianggap sangat relevan dengan kondisi sekarang. Para pengamat modernpun banyak yang mengapreasi hal ini secara tulus, seperti Max Dimmont yang memuji pluralisme Islam karena dianggap memberi ruang kebebasan agama dan ekonomi bagi kaum Yahudi di masa lalu. Bahkan, Bertrand Russell, seorang filsuf atheis-sekularis, juga memuji pluralisme Islam sebagai sikap kurang fanatik (lack of fanaticism) tapi justru membuat umat Islam mampu memerintah daerah amat luas dari berbagai bangsa dengan peradaban duniawi yang lebih tinggi. Pluralism Islam juga yang melahirkan konsep ahlu al-kitab, yang darinya lahir konsep al-dzimmah, yakni perlindungan; yakni perlindungan bagi non-Muslim penganut kitab suci. Oleh karena itu, menurut Cak Nur, golongan ahlu al-kitab juga disebut golongan ahlu al-dzimmah atau kaum dzimmi yang berarti bahwa mereka harus dilindungi. Hal ini sesuai dengan Hadist Nabi SAW yang berbunyi: “man adza dzimmiyyan falaysa minni (barang siapa yang menyakiti seorang dzimmi, maka ia tidak termasuk golonganku (Nabi)”.

Selain pluralisme, ajaran Islam tentang tauhid (monoteisme) dan kedudukan Nabi SAW sebagai manusia biasa juga dianggap sangat relevan dengan kehidupan modern saat ini. Cak Nur dengan mengutip pendapat Russell, menyatakan bahwa agama Nabi SAW adalah monoteisme sederhana, yang tidak dibuat ruwet oleh teologi berbelit-belit seperti Trinitas dan inkarnasi. Demikian juga Nabi SAW tidak mengaku sebagai illahi, dan para penganutnya tidak membuat klaim seperti itu atas namanya. Tentang Nabi SAW yang tidak pernah mengaku bersifat illahi itu dikatakan Cak Nur sebagai sebuah penilaian yang tepat, mengingat banyak agama terjerembab ke dalam teologi dan praktek menyembah dan menuhankan tokoh-tokoh yang mendirikannya. Penilaian Nabi SAW sebagai manusia biasa, menurut Cak Nur, memang sepenuhnya benar. Sebab bukan saja kitab suci al-Qur’an yang menegaskan bahwa beliau hanyalah manusia (Q.S. al-Kahfi/18:110, al-Fushilat/41:6), bahkan Nabi SAW sendiri pernah bersabda: “Aku hanyalah seorang manusia, aku bisa lupa dan alpa; maka jika aku alpa, hendaknya kamu semua mengingatkan kepadaku”(Hadist Shahih dikutip oleh Ibn Taymiyya dalam minhaj, 1:175). Nabi sendiri juga berpesan: “Janganlah kamu mengkultuskan aku seperti kaum Nasrani mengkultuskan Isa al-Masih. Aku hanyalah seorang hamba. Maka sebutlah aku hamba Allah dan Rasul-Nya saja” (ibid, 1:305). Dari Hadist tersebut, secara tersurat Nabi sebenarnya ingin menekankan signifikansi konsep ke-tauhid-an itu.

Semua pemikiran dan gagasan tentang genius kemodernan Islam, menurut Cak Nur, titik tolaknya sangat jelas yakni konsep tauhid, yang dianggapnya memiliki efek pembebasan. Bagi kaum Muslim, konsep la ila-ha illalloh (tiada Tuhan selain Tuhan) itu menjadi semacam ‘teologi pembebasan’. Namun, tentu harus dibedakan dengan istilah teologi pembebasan yang biasanya diasosiasikan dengan Amerika Latin yang identik dengan Marxisme. Efek pembebasan dari konsep tauhid adalah pembebasan dari unsur-unsur mitologis yang harus ditempuh dengan ‘sekularisasi’. Sekularisasi diartikan Cak Nur sebagai bentuk liberating development. Proses pembebasan ini diperlukan karena; sebagai akibat dari perjalanan sejarahnya sendiri, kaum Muslim terkadang tidak bisa membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami, mana yang transendental dan mana yang temporal. Lebih jauh, hirarkhi nilai itu sendiri sering dianggap secara terbalik, transendental semuanya. Cak Nur melalui konsep sekularisasinya mengajak kaum Muslim untuk menduniawikan hal-hal yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Sekularisasi juga dimaksudkan sebagai upaya untuk memantapkan tugas manusia dibumi sebagai khalifah Tuhan. Fungsi ini memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk memilih dan menetapkan sendiri cara dan tindakan dalam rangka perbaikan hidupnya, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas segala perbuatannya dihadapan Tuhan.

Menurut Cak Nur, soal kepercayaan kepada Tuhan, politeisme (syirik) adalah problem manusia sepanjang masa. Syirk adalah sebuah kepercayaan yang meskipun berpusat pada Tuhan, akan tetapi membuka peluang bagi adanya kepercayaan pada wujud-wujud lain yang dianggap bersifat illahi, meskipun lebih rendah dari Tuhan. Itu sebabnya mengapa al-Qur’an juga bertujuan untuk membebaskan manusia dari belenggu paham politeisme dengan mencanangkan dasar kepercayaan ‘negasi-afirmasi’ yang diungkapkan dalam kalimat al-nafy wa al-itsbat: La ila ha illalloh (“Tidak ada Tuhan” setelah itu “kecuali Tuhan itu’). Implikasi dari pembebasan ini adalah seseorang akan menjadi manusia terbuka, yang kritis dan tanggap kepada masalah kebenaran dan kepalsuan yang ada dalam masyarakat. Sikap tanggap ini muncul dari rasa keadilan (‘adl) dan perbuatan positif sesama manusia (al-ihsan).

Efek pembebasan ini, selanjutnya akan mengalir dari yang bersifat individual kepada yang lebih sosial. Menurut Cak Nur, dalam al-Qur’an prinsip tauhid berkaitan dengan sikap menolak thaghut (tiran), sehingga konsekuensinya melahirkan pembebasan sosial berupa egalitarianisme. Tauhid menghendaki sistim kemasyarakatan yang demokratis, berdasarkan musyawarah, sehingga memungkinkan masing-masing anggota masyarakat saling ber-amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran) dan tentang ketabahan serta kesabaran. Prinsip egalitariansime diharapkan berujung pada terciptanya keadilan sosial disegala bidang karena jika hal ini tidak terpenuhi terkadang menjadi masalah besar dalam proses modernisasi. Pertumbuhan ekonomi terkadang tidak sinkron dengan tingkat pemerataan. Akan tetapi, pembangunan tanpa pertumbuhan tampaknya tidaklah mungkin. Oleh karena itu, dalam pertumbuhan itu, problem keadilan sosial harus bisa diselesaikan. Hal ini menurut Cak Nur bisa dilakukan, misalnya, dengan membangun kelas menengah (yang nota bene di Indonesia mayoritasnya Muslim) yang kuat, karena selain berkaitan dengan kerja-kerja intelektual Cak Nur sendiri, juga berkaitan dengan peningkatan etos kerja dan transformasi masyarakat Indonesia. Dari sini Cak Nur kemudian memikirkan tentang kemungkinan pengembangan etos kerja dari sudut teologi Islam. Untuk itu, ia mengambil manfaat dari tradisi Weberian dalam menafsirkan al-Qur’an, termasuk di dalamnya mendinamisasikan teologi al-Asy’ariyyah hingga memiliki dinamika layaknya etika Calvinisme yang pre-destinian, tetapi membawa akumulasi kapital yang terus menerus sebagai akibat dari cara hidup yang asketis.

Demikianlah beberapa ajaran Islam, yang menurut Cak Nur sangat relevan dan bahkan bisa dijadikan dasar bagi kemodernan. Bagi Cak Nur, kesimpulan Ernest Gellner bahwa diantara 3 Abrahamic religions (Yahudi, Kristen dan Islam), Islam termasuk yang dekat dengan modernitas dianggap sangat tepat. Alasannya adalah karena ajaran dasar Islam (bila kita pahami secara kritis) dinilai sanggup bertahan dalam mengatasi persoalan kesenjangan antara yang normatif dan yang kongkret historis, atau antara tradisi besar dan tradisi kecilnya. Alasan lain adalah kualitasnya yang bersemangat kesarjanaan (scholarly).

ISLAM DAN MODERNITAS DALAM BINGKAI NEO-MODERNISME

Cak Nur, melalui gagasan dan pemikirannya tentang diskursus Islam dan Modernitas sering dikategorikan dalam kelompok Neo-Modernisme Islam. Sebagai gerakan kritis terhadap modernisme, Neo-Modernisme sebenarnya berusaha menggabungkan dua faktor penting yakni: modernisme dan tradisionalisme. Keduanya, menurut Cak Nur, masing-masing memiliki kelemahan. Modernisme cenderung menampilkan dirinya sebagai pemikiran yang angkuh dan bahkan kaku. Sementara, tradisionalisme Islam yang cukup kaya dengan berbagai pemikiran klasik Islam, tetapi justru dengan kekayaan itu, para pendukung pola pemikiran ini sangat berorientasi pada masa lampau dan terlalu kaku (rigid) untuk menerima gagasan-gagasan modernisme. Dengan Neo-Modernisme Islamnya, Cak Nur berusaha menjembatani, dan bahkan mengatasi, dua pemikiran konvensional itu. Selain itu, seperti dikatakan Greg Barton (1999), jika modernisme merupakan gerakan intelektual yang sangat concern terhadap persoalan-persoalan yang ditinggalkan modernisme, sambil mengambil rasionalisme mereka, Cak Nur justru mengambil pendekatan rasional terhadap kitab suci (al-Qur’an) dan Hadist untuk memperoleh kesimpulan-kesimpulan logis (rasional). Dalam konteks pemikiran sosial-politik, sikap akomodatif terhadap modernisme dan tradisionalisme ini juga mempengaruhi cara pandang Cak Nur dalam melihat relasi Islam dan negara. Di satu sisi, elemen-elemen sosial-politik modern diterima sebagai suatu kenyataan yang tidak bisa ditolak, tetapi di sisi yang lain tradisi keagamaan yang bersifat lokal juga dipergunakan dalam usaha menempatkan diri dalam sistim politik yang ditentukan oleh pemerintah.

Dalam rangka menjelaskan kompatibiltas Islam dan modernitas, Cak Nur memang terkadang menggunakan sejarah peradaban Islam dan teori-teori sosial modern, terutama yang dikembangkan oleh Max Weber dan Talcott Parson. Akan tetapi, yang dilakukan Cak Nur dengan teori-teori sosial modern bukanlah penelitian sosial sebagaimana umumnya yang dilakukan para ilmuwan sosial, tetapi untuk mengelaborasi ajaran-ajaran Islam seperti dalam al-Qur’an dan Hadist serta berusaha mereaktualisasikan tradisi Islam sendiri. Dengan demikian, seperti dijelaskan Deden Ridwan Cak Nur sesungguhnya seperti bekerja pada level meta-penelitian sosial, yakni memberikan rekomendasi bagi hasil penelitian sosial yang berparadigma modern dalam mempertanyakan dan menjawab persoalan ke-Islaman secara umum. Tujuan rekomendasi ini, tentu saja, agar kaum Muslim meneriman kemodernan dalam arti yang sangat luas. Bagi Cak Nur, makna modernisasi berarti merombak pola pikir dan tata kerja yang tidak aqliah (tidak rasional) dengan yang aqliah (rasional), karena Tuhan memerintahkan manusia agar menggunakan akal-pikirnya. Dengan demikian, modernisasi adalah suatu keharusan, bahkan kewajiban mutlak. Modernisasi merupakan perintah dan ajaran Tuhan. Ini berarti makna modernisasi telah bermuatan teologis, tidak hanya sekedar kenyataan historis. Inilah respon positif dan respon akomodasionis pemikiran Neo-Modernisme Islam Cak Nur. Demikianlah konsep Neo-Modernisme Cak Nur yang menyangkut gagasan dan pemikirannya tentang Islam dan modernitas. Menurut saya, ide dan gagasan tersebut memang masih berkutat pada bagaimana memperlakukan tradisi, terutama menyangkut epistemologi dan metodologinya, tetapi bertujuan liberalisasi pemikiran Islam sebagai bagian dari upaya pembaharuan untuk mewujudkan aplikasi dan kontekstualisasi nilai-nilai Islam ke dalam bingkai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semua).

JENIUS KEMODERNAN ISLAM DI INDONESIA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun