Mohon tunggu...
Sur Aji
Sur Aji Mohon Tunggu... Ilmuwan - Environment, Conservation and Marine Planning Specialist

Bekerja membidangi: konservasi ekosistem dan pengelolaan kawasan konservasi perairan, konservasi keanekaragaman hayati, perencanaan ruang laut kawasan strategis nasional pada Kementerian Kelautan dan Perikanan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Paradigma Pekembangan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Indonesia

20 November 2012   00:28 Diperbarui: 4 April 2017   17:21 4393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

PARADIGMA KONSERVASI – Pengertian konservasi, khususnya konservasi sumberdaya ikan telah dipahami sebagai upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan (PP No. 60 Tahun 2007). Nyata bahwa konservasi bukan hanya upaya perlindungan semata, namun juga secara seimbang melestarikan dan memanfaatkan berkelanjutan sumberdaya ikan yang pada akhirnya tentu saja untuk kesejahteraan masyarakat. Upaya Konservasi sumberdaya ikan ini mencakup  konservasi ekosistem (salah satunya melalui kawasan konservasi perairan), jenis dan genetik ikan.

Berdasarkan PP No. 60 Tahun 2007 pasal 1. Kawasan konservasi perairan (KKP) didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. IUCN – The Conservation Union, mendefinisikan kawasan konservasi laut sebagai suatu area atau daerah di kawasan pasang surut beserta kolom air di atasnya dan flora dan fauna serta lingkungan budaya dan sejarah yang ada di dalamnya, yang diayomi oleh undang-undang untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan yang tertutup. Lebih lanjut, menurut UU 27/2007, Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan

Berdasarkan Pengertian Konservasi Sumberdaya Ikan yang dan Kawasan Konservasi Perairan menurut UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan beserta perubahannya (UU No. 45 Tahun 2009) dan PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, paling tidakmemuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi.  Pertama, Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan diatur dengan sistem ZONASI. Paling tidak, ada 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam Kawasan Konservasi Perairan, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya.  Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi kawasan konservasi terdahulu baik menurut UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 68 tahun 1998. Kedua, dalam hal Desentralisasi kewenangan pengelolaan, yakni pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat saja, kini berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 (Lebih lanjut, pengaturan mengenai kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.17/Men/2008) dan PP No. 60 Tahun 2007 serta Permen Men KP no Per.02/Men/2009, Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 tahun 2008, khususnya terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi.

Pengaturan sistem zonasi dalam pengelolaan kawasan konservasi serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, jelas hal ini merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat lokal, khususnya nelayan. Kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan yang disinyalir banyak pihak dirasakan sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, maupun zona lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti ini dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum banyak dilakukan. Peran Pemerintah pusat dalam konteks ini, hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi, sedangkan proses inisiasi, identifikasi, pencadangan maupun pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah.

KEBIJAKAN DAN REGULASI – Pengelolaan kawasan konservasi perairan tidak terlepas dari pengelolaan sumberdaya ikan secara keseluruhan. Konservasi sumberdaya ikan adalah upaya melindungi melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya ikan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Sebagai upaya konservasi wilayah perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, pemerintah telah menetapkan kebijakan antara lain, ditetapkannya target nasional yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan Convention on Biological Diversity (CBD) di Brazil tahun 2006, yaitu pencanangan target 10 juta hektar kawasan konservasi Laut pada tahun 2010, yang menjadi dasar komitmen kementerian kelautan dan perikanan untuk menggandakan target menjadi 20 juta hektar pada tahun 2020, juga pernyataan Presiden mengenai Coral Triangle Initiative (CTI) dalam forum APEC Leaders Meeting di Sydney, 2007. Dukungan kebijakan kebijakan nasional dalam pengembangan kawasan konservasi perairan dibuat secara menyeluruh dan terpadu serta mempertimbangkan desentralisasi dalam pelaksanaannya. Berbagai kebijakan, peraturan, pedoman terkait pengelolaan kawasan konservasi perairan telah dikembangkan.

Saat ini telah banyak peraturan perundangan ataupun turunannya sebagai acuan dalam mengembangkan dan mengelola kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil, diantaranya: UU No. 31 tahun 2004 sebagaimana telah direvisi dengan UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan; UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 12 Tahun 2008; UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan; Peraturan Presiden (Perpres) No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar; Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) No. 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat;  Kepmen KP No. 38/Men/2004 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Terumbu Karang dan Ekosistemnya;  Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen) No. Per.16 Tahun 2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; Permen  KP No. Per.17 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; Permen KP No. Per.02/Men/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan;  Permen KP No. Per.03/Men/2010 tentang Tata Cara Penetapan Perlindungan Jenis Ikan;  Permen KP No. Per.04/Men/2010 tentang Pemanfataan Jenis dan Genetika Ikan; Permen KP No. Per.30/Men/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan dan beberapa Peraturan Menteri (Permen); dan berbagai kebijakan, pedoman dalam pelaksanaannya.

KOMITMEN PENGELOLAAN – Dalam rangka mendukung pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara terpadu dan berkelanjutan secara umum dan pengelolaan KKP secara spesifik, Kementerian Kelautan dan Perikanan membentuk Unit Pelaksana Teknis di beberapa daerah. Pada Maret 2008, dibentuk Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang dan Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang. Selanjutnya pada November 2008 menyusul dibentuk Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (LPSPL) Sorong, BPSPL Denpasar, BPSPL Makassar, dan BPSPL Pontianak. Bulan Januari 2009 berdiri Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (LKKPN)  Pekanbaru dan setahun kemudian dibentuk LPSPL Serang. Tugas utama BKKPN/LKKPN adalah melaksanakan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengawasan kawasan konservasi perairan nasional demi kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, sedangkan tugas utama BPSPL/LPSPL adalah  melaksanakan pengelolaan meliputi antara lain perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Pada Bulan Mei 2009, Indonesia menjadi tuan rumah even besar yaitu World Ocean Conference (WOC) – Konferensi Kelautan Dunia. Dalam even ini, para ahli kelautan mempresentasikan berbagai kegiatan penelitian dan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut. Selain itu, even ini juga sebagai ajang diskusi, komunikasi, dan sharing pengalaman ahli-ahli kelautan dunia. Dalam even tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan dan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) mendeklarasikan pencadangan Laut Sawu sebagai Taman Nasional Perairan (TNP). TNP Laut Sawu ini mencakup luasan 3,5 juta ha dan secara administratif berada dalam wilayah 14 kabupaten/kota dalam lingkup Provinsi NTT. Sebagai tindak lanjut dari pencadangan ini, pemerintah mendapat bantuan dari Pemerintah Jerman dan CTSP dalam menyiapkan kajian ilmiah potensi sumberdaya, sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat, penyiapan kelembagaan, dan penyusunan rencana pengelolaan dan zonasi.

Bersamaan dengan WOC 2009, Indonesia juga menekankan kembali komitmennya untuk mengembangkan KKP menjadi 20 juta Ha pada tahun 2020. Komitmen tersebut didukung oleh negara-negara tetangga dalam wilayah Coral Triangle, Malaysia, Philippines, Solomon, Papua New Guinea, dan Timor Leste, serta komitmen dukungan dana dari Amerika serikat dan Australia. Komitmen tersebut juga ditindaklanjuti dengan berbagai kegiatan yang dapat mendukung pengembangan dan pengelolaan KKP, yang salah satunya adalah penyusunan National Plan of Action (NPoA) dan Regional Plan of Action (RPoA).

PERKEMBANGAN KONSERVASI - Konservasi saat ini telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan. Data Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI) menyebutkan bahwa sampai bulan Juni tahun 2012 terdapat sekitar 15,78 juta hektar kawasan konservasi perairan (laut) di Indonesia. Kawasan konservasi perairan maupun kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkembang di Indonesia niscaya tidak hanya terhenti dalam capaian luasan semata, namun pengelolaan kawasan konservasi secara berkelanjutan yang “efektif” adalah harapan yang senantiasa terus digapai perwujudannya, hingga pada akhirnya tercapai kesejahteraan masyarakat sebagai benefit pengelolaan kawasan konservasi yang lestari.

TABEL Status Luas Kawasan Konservasi Perairan (Laut) di Indonesia

Nomor
Kategori
Jumlah
Luas (Ha)

A
Inisiasi Kementerian Kehutanan
32
4,694,947.55

1
Taman Nasional Laut
7
4,043,541.30

2
Taman Wisata Alam Laut
14
491,248.00

3
Suaka Margasatwa Laut
5
5,678.25

4
Cagar Alam Laut
6
154,480.00

B
Inisiasi Kementerian Kelautan & Perikanan, dan Pemerintah daerah
76
11,089,181.97

1
Taman Nasional Perairan
1
3,521,130.01

2
Suaka Alam Perairan
3
445.630,0

3
Taman Wisata Perairan
6
1,541,040.20

4
Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD)
66
5,581,381.76

Total
108
15,784,129.52

Sumber: Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, 2012

Dikaji dari perspektif perlindungan terhadap habitat penting (critical habitats), hasil gap analysis tahun 2010 terhadap kawasan koservasi di Indonesia menyimpulkan bahwa ekosistem terumbu karang Indonesia mencakup luasan 3,29 juta ha, mangrove 3,45 juta ha, dan luasan padang lamun 1,76 juta ha. Dari luasan tersebut, saat ini Indonesia telah melakukan perlindungan dengan menjadi bagian wilayah konservasi terhadap 22,7% terumbu karang (747.190 ha), 22,0% mangrove (758.472 ha), dan 17,0% padang lamun (304.866 ha). Untuk itu, maka perlu diupayakan pengembangan KKP/KKP3K di ekoregion-ekoregion yang saat ini masih belum memenuhi target, terutama di ekoregion Halmahera.  Di ekoregion ini belum ada perlindungan terhadap habitat penting, baik mangrove, terumbu karang maupun padang lamun.[1]

Menurut Bohnsack et al. (2000), melindungi  sekitar 20 – 30% luasan terumbu karang telah terbukti dapat mendukung keberlanjutan ekosistem terumbu karang. Sedangkan PISCO (2002) mensinyalir bahwa manfaat optimal dari pengelolaan KKP melalui spill-over dan produksi larva akan meningkat pada perlindungan terhadap 20-30% luasan habitat penting. Setelah melewati 20-30%, KKP menjadi sangat luas, sehingga akan menurunkan produksi perikanan karena menyempitnya daerah penangkapan bagi masyarakat. Pendapat Bohnsack hanya terfokus pada ekosistem, sedangkan PISCO hanya berorientasi pada hasil penangkapan ikan.

Menilik luasan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang telah mencapai 15,7 juta hektar, tentu masih dibutuhkan pengembangan sekitar 4,3 juta ha lagi Kawasan Konservasi Perairan sampai dengan 8 tahun mendatang. Kajian untuk memetakan rencana pengembangan Kawasan Konservasi Perairan sesuai dengan potensi dan karakteristik wilayah telah dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat keanekaragaman hayati wilayah perairan Indonesia, dan hasilnya telah dipublikasikan, dengan judul “Penetapan Prioritas Geografi untuk Konservasi keanekaragaman Hayati Laut di Indonesia” merupakan hasil kajian dalam menentukan wilayah-wilayah prioritas untuk pengembangan Kawasan Konservasi Perairan di masa yang akan datang. Buku tersebut merupakan hasil pemikiran para ahli kelautan dalam dan luar negeri untuk mengetahui wilayah-wilayah prioritas berdasarkan pada kriteria ekologi yang mencakup 3 aspek yaitu: (a) Ketidaktergantikan (irreplaceability) yang mencakup tingkat endemisme, keunikan taksonomi, keberadaan spesies langka yang berkaitan dengan keanekaragaman spesies dan habitat terumbu karang,  ikan karang, padang lamun, dan mangrove; (b) kerentanan terhadap perubahan dan gangguan alam; dan (c) keterwakilan habitat dalam wilayah perencanaan. Ada 12 wilayah bioekoregion yang dirangking keanekaragaman hayatinya, batas-batas ekoregion peringkat 1 (Papua, prioritas konservasi teratas) sampai ekoregion peringkat 12 (Selat Malaka, prioritas konservasi paling rendah), seperti gambar berikut.

PENGELOLAAN KONSERVASI – Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, dalam menjalankan program kegiatan, berpedoman pada sasaran strategis yang telah ditetapkan dengan mengacu pada rencana strategis Direktorat Jenderal kelautan, Pesisir dan Pulau Pulau Kecil – Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sasaran program kegiatan dalam 5 tahun (2010 – 2014) adalah Terkelolanya kawasan konservasi perairan seluas 4,5 juta hektar secara berkelanjutan serta bertambahnya luas kawasan konservasi perairan di Indonesia menajdi 15,5 Juta Hektar pada tahun 2014. Pada urusan konservasi Jenis Ikan, Direktorat ini menyasar 15 Jenis Biota perairan yang dilindungi (napoleon, arwana super red, arwana jardini, kuda laut, karang, hiu, paus, Banggai Cardinal Fish, kima, terubuk, labi-labi, lola, teripang, penyu, dan dugong) untuk dikelola secara berkelanjutan.

Program-program  konservasi yang dikembangkan oleh Kementerian Kelautan dan perikanan melalui Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, antara lain dilaksanakan melalui: (1) Konservasi Ekosistem/Konservasi Kawasan; (2)  Konservasi Jenis Ikan dan Genetik; (3) Data, Informasi dan Jejaring Pengelolaan Konsevasi, (4) Pembinaan dan Penguatan SumberDaya Manusia; (5) Penguatan Kebijakan, Peraturan dan Pedoman; (6) Pemanfaatan Kawasan dan Jenis Ikan; serta (7) Kerjasama Lokal, Regional, Internasional. Program-program tersebut, dilakukan untuk mencapai tujuan tercapainya kawasan konservasi dan jenis biota perairan dilindungi yang dikelola secara berkelanjutan.

Tujuan pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil (KKP/KKP3K) yang dikelola berdasarkan sistem zonasi, sedikitnya dapat  dilakukan melalui tiga strategi pengelolaan, yaitu: (1) Melestarikan lingkungannya, melalui berbagai program konservasi, (2) menjadikan kawasan konservasi sebagai penggerak ekonomi, melalui program pariwisata alam perairan dan pendanaan mandiri yang berkelanjutan, dan (3) pengelolaan kawasan konservasi sebagai bentuk tanggung jawab sosial yang mensejahterakan masyarakat.

Strategi dan Program kegiatan yang tercakup dalam ruang lingkup aspek-aspek tata kelola, sumberdaya dan sosial-ekonomi-budaya dalam suatu kawasan konservasi, antara lain sebagai berikut:

Aspek
Strategi dan Program kegiatan

Tata Kelola


  • Peningkatan Sumber Daya Manusia;
  • Penatakelolaan Kelembagaan;
  • Peningkatan Kapasitas Infrastruktur;
  • Penyusunan Peraturan Pengelolaan Kawasan;
  • Pengembangan Organisasi/Kelembagaan Masyarakat;
  • Pengembangan Kemitraan;
  • Pembentukan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan;
  • Pengembangan Sistem Pendanaan Berkelanjutan; dan
  • Monitoring dan Evaluasi.

Sumberdaya


  • Perlindungan Habitat dan Populasi Ikan;
  • Rehabilitasi Habitat dan Populasi Ikan;
  • Penelitian dan Pengembangan;
  • Pemanfaatan Sumber Daya Ikan;
  • Pariwisata Alam dan Jasa Lingkungan;
  • Pengawasan dan Pengendalian; dan
  • Monitoring dan Evaluasi.

Sosial-Ekonomi-Budaya


  • Pengembangan Ssial Ekonomi Masyarakat;
  • Pemberdayaan Masyarakat;
  • Pelestarian Adat dan Budaya; dan
  • Monitoring dan Evaluasi.

Pengelolaan efektif kawasan konservasi perairan merupakan target utama dalam pengembangan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil. Metode evaluasi efektifitas pengelolaan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (E-KKP3K) sedang dikembangkan oleh kementerian kelautan dan perikanan. Evaluasi efektivitas tersebut secara ringkas memuat tingkat keefektifan pengelolaan dari berbagai aspek, meliputi: tahapan pengelolaan, aspek ekologis, aspek sosial ekonomi dan budaya, dan aspek penatakelolaan kawasan konservasi perairan. Secara ringkas, terdapat lima level (tingkat) pengelolaan, yaitu: MERAH: (Level 1), merupakan kawasan konservasi telah diinisiasi, dievaluasi dengan Pencadangan (SK); KUNING: (Level 2) kawasan konservasi didirikan, tersedia: lembaga pengelola, zonasi&manajemen plan; HIJAU (Level 3); kawasan konservasi dikelola minimum, tersedia : lembaga pengelola, zonasi&manajemen plan, penguatan Kelembagaan dan SDM, Infrastruktur dan peralatan, upaya-upaya pokok pengelolaan KKP/KKP3K; BIRU (Level 4), kawasan konservasi dikelola optimum, pengelolaan KKP/KKP3K telah berjalan baik; dan EMAS: (Level 5) kawasan konservasi mandiri, pengelolaan KKP/KKP3K telah berjalan baik dan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat.

Perangkat E-KKP3K dapat digunakan untuk melakukan evaluasi atau penilaian terhadap efektivitas pengelolaan kawasan konservasi yang meliputi kawasan konservasi perairan dan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. E-KKP3K tingkat makro digunakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk melihat sebaran meruang (spatial) tingkat pengelolaan semua kawasan konservasi perairan yang ada di Indonesia, sementara E-KKP3K tingkat mikro dapat digunakan untuk melakukan swa-evaluasi terhadap kinerja pengelolaan suatu kawasan konservasi perairan sekaligus membuat perencanaan untuk meningkatkan kinerja.

Kriteria yang digunakan untuk melakukan evaluasi efektivitas pengelolaan kawasan konservasi pada tingkat makro, sebagaimana disajikan berikut ini.

Peringkat
KRITERIA
Jumlah Pertanyaan

MERAH(1)
KKP/KKP3KDIINISIASI
1
Usulan Inisiatif
8

2
Identifikasi & inventarisasi kawasan

3
Pencadangan kawasan

KUNING(2)
KKP/KKP3KDIDIRIKAN
4
Unit organisasi pengelola dengan SDM
11

5
Rencana pengelolaan dan zonasi

6
Sarana dan prasarana pendukung pengelolaan

7
Dukungan pembiayaan pengelolaan

HIJAU(3)
KKP/KKP3KDIKELOLA

MINIMUM
8
Pengesahan rencana pengelolaan & zonasi
20

9
Standar Operasional Prosedur (SOP) pengelolaan

10
Pelaksanaan rencana pengelolaan dan zonasi

11
Penetapan Kawasan Konservasi Perairan

BIRU(4)
KKP/KKP3KDIKELOLA

OPTIMUM
12
Penataan batas kawasan
28

13
Pelembagaan

14
Pengelolaan sumberdaya kawasan

15
Pengelolaan sosial ekonomi dan budaya

EMAS(5)
KKP/KKP3KMANDIRI
16
Peningkatan kesejahteraan masyarakat
6

17
Pendanaan berkelanjutan

Dalam penggunaannya, E-KKP3K menganut prinsip dasar konservasi sesuai dengan aspek-aspek tata kelola, sumberdaya dan sosial-ekonomi-budaya dalam suatu kawasan konservasi,  dimana aspek-aspek sumberdaya kawasan dan sosial-ekonomi-budaya masyarakat adalah fungsi dari pengelolaan (tata kelola). Dengan demikian, upaya pengelolaan dan keberhasilannya merupakan prasyarat untuk mencapai hasil (outcome) dan dampak (impact) pada aspek-aspek sumberdaya kawasan dan sosial-ekonomi-budaya masyarakat, sehingga keberhasilan pengelolaan harus dapat diverifikasi dengan menggunakan aspek-aspek sumberdaya kawasan dan sosial-ekonomi-budaya masyarakat. Misalnya, penegakan aturan kawasan konservasi merupakan upaya pengelolaan dapat dibuktikan dengan membaiknya kondisi sumberdaya kawasan dan berkurangnya tekanan terhadap sumberdaya yang merupakan hasil peningkatan dukungan terhadap kawasan. Selanjutnya, seyogianya terdapat hubungan positif dan saling terpaut & verifikasi antara aspek-aspek sumberdaya kawasan dan sosial-ekonomi-budaya masyarakat untuk menunjukkan bukti lanjut dari keberhasilan dari pengelolaan suatu kawasan konservasi.

Peningkatan upaya pengelolaan efektif kawasan konservasi juga dibarengi dengan identifikasi dan inventarisasi potensi calon kawasan konservasi yang diutamakan pada wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar yang rawan disintegrasi. Pengembangan kawasan konservasi ini untuk menjawab target 20 Juta hektar Kawasan konservasi pada tahun 2020. Optimalisasi pengembangan kawasan konservasi  di wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar diharapkan mampu memperkuat integrasi yang mengokohkan wawasan nusantara, mengeliminasi terjadinya pelanggaran hukum, illegal fishing maupun eksploitasi sumberdaya yang berlebih yang mengancam degradasi sumberdaya lingkungan. Pengelolaan efektif kawasan konservasi dilakukan terhadap tiga aspek yang menjadi indikator utama dalam pengelolaan kawasan konservasi, yakni perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara berkelanjutan. Penguatan status hukum kawasan di tingkat internasional dengan cara mendaftarkan pada Peta Pelayaran Internasional, mampu mencegah pelanggaran penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan zonasinya dan secara konsisten dapat mengatasi segala ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan yang mengancam kedaulatan wilayah laut dan perairan Indonesia.

Paradigma baru pengelolaan KKP/KKP3K dibawah Menteri Kelautan dan Perikanan tidak hanya berbicara tentang perlindungan dan pelestarian, tetapi menekankan pentingnya pemanfaatan kawasan konservasi demi mendukung kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan yang dapat dilakukan di dalam KKP/KKP3K meliputi pemanfaatan untuk perikanan tangkap dan budidaya, pemanfataan wisata, pemanfaatan penelitian dan pengembangan, serta kegiatan ekonomi lainnya yang menunjang konservasi. Namun demikian pemanfaatan yang dilakukan dalam KKP/KKP3K ini bersifat terbatas dan harus mengutamakan kepentingan kelestarian sumberdaya, sehingga harus memperhatikan daya dukung kawasan. Secara prinsip maupun praktek di lapangan, dampak kawasan konservasi telah jelas dalam peningkatan hasil tangkapan masyarakat lokal. Hasil pengukuran efektivitas melalui E-KKP3K dapat menjadi indikator peningkatan ekonomi masyarakat pesisir, bersumber dari hasil tangkapan ikan di wilayah tangkap nelayan yang merupakan limpahan manfaat kawasan konservasi perairan. Dampak ini nyata dalam mendorong peningkatan pendapatan langsung masyarakat dan menggerakkan sektor ekonomi pendukung di wilayah pesisir. Demikian pula penilaian dampak pengelolaan wisata bahari terhadap fungsi lingkungan kawasan konservasi perairan diperlukan dalam menjaga keberlanjutan pengelolaan efektif kawasan konservasi. Manfaat langsung pariwisata bahari dapat menjadi sumber pendanaan jasa lingkungan bagi pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. Peluang ini sangat nyata dan berpotensi menjadi penggerak ekonomi yang cukup efektif dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir

LUAS PENGELOLAAN EFEKTIF KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN (2010-2014)

No
Tahun
Luas (ha)
Luas Komulatif (Ha)
Uraian Kegiatan

1
2010
900.000,00
900.000,00


  • Zonasi dan Rencana Pengelolaan
  • Peningkatan Kapasitas SDM dan Kelembagaan
  • Infrastuktur Pendukung Pengelolaan Kawasan
  • Koordinasi dan Pengawasan Sumberdaya Ikan
  • Rehabilitasi Ekosistem Kawasan dan Populasi Ikan
  • Pilot Project Perlindungan dan Pelestarian Kawasan
  • Pilot Pemafaatan Wisata Bahari dan Perikanan
  • Penguatan Partisipasi dan Ekonomi Masyarakat
  • Kerjasama dan Jejaring Pengelolaan kawasan

2
2011
1.642.353,00
2.542.353,00

3
2012
682.769,00
3.225.122,00

4
2013
422.395,17
3.647.517,17

5
2014
1.153.965,01
4.801.482,18

Total
4.801.482,18
4.801.482,18

Sumber: Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, 2010

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SEBAGAI ALAT PENGELOLAAN PERIKANAN – Naskah kebijakan yang dikeluarkan oleh kementerian kelautan dan perikanan jelas menyebutkan tentang status perikanan tangkap Indonesia. Dalam kondisi stok perikanan tangkap yang sudah menipis dan hampir kolaps, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia, maka usaha terus-menerus untuk mengembangkan perikanan tangkap secara tidak terkontrol dan tidak terkelola secara baik jelas merupakan kebijakan yang kurang tepat. Sebagai gantinya, kita memerlukan suatu kebijakan yang betul-betul segar untuk memulihkan stok sumberdaya perikanan (Mous et al 2005). Naskah kebijakan tersebut menyarankan untuk ‘menciptakan, membangun, dan meningkatkan kesadaran dalam usaha untuk merubah persepsi dan pemikiran masyarakat bahwa sumberdaya laut kita, terutama perikanan, tidak akan pernah habis’ (PCI, 2001a). Terkait dengan hal ini, rencana investasi perikanan tangkap di perairan Indonesia Bagian Timur, serta rencana lainnya tentang intensifikasi usaha perikanan tangkap sebaiknya dipertimbangkan kembali secara cermat.

Alternatif pengelolaan perikanan sebagai pelengkap dari pendekatan MSY yang banyak diterapkan akhir-akhir ini sebagian besar adalah pengelolaan berbasis ekosistem melalui pembentukan suatu jejaring Kawasan Konservasi Perairan (Gell & Roberts, 2002; National Research Council, 2001; Roberts & Hawkins, 2000; Ward, Heinemann & Evans, 2001). Sebagai sarana pengelolaan perikanan, kawasan konservasi laut  memiliki dua fungsi: (1) Limpahan ikan komoditi pasar dari wilayah perlindungan ke dalam wilayah penangkapan. (2) Ekspor telur dan larva ikan dari wilayah perlindungan ke wilayah penangkapan yang dapat meningkatkan kuantitas penangkapan di wilayah penangkapan. Selain itu, sebagai sarana pengelolaan, kawasan konservasi perairan laut  memberikan manfaat tidak langsung berikut: (1) melindungi habitat yang sangat penting bagi perkembangbiakan jenis ikan komersial, dan (2) memberikan tempat berlindung ikan yang tidak dapat diberikan oleh sarana pengelolaan lainnya sehingga dapat mencegah penurunan secara drastis persediaan ikan komersial.

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PERIKANAN BERKELANJUTAN – Kawasan konservasi perairan yang terlindungi dengan baik, secara ekologis akan mengakibatkan beberapa hal terkait dengan perikanan: (1) habitat yang lebih cocok dan tidak terganggu untuk pemijahan induk; (2) meningkatnya jumlah stok induk; (3) ukuran (body size) dari stok induk yang lebih besar; dan (4) larva dan recruit hasil reproduksi lebih banyak. Sebagai akibatnya, terjadi kepastian dan keberhasilan pemijahan pada wilayah kawasan konservasi. Keberhasilan pemijahan di dalam wilayah kawasan konservasi perairan dibuktikan memberikan dampak langsung pada perbaikan stok sumberdaya perikanan di luar wilayah kawasan konservasi laut (Gell & Robert, 2002; PISCO, 2002).

Peran Kawasan Konservasi perairan adalah melalui ekspor telur dan larva ke luar wilayah KKP/KKP3K yang menjadi wilayah Fishing Ground nelayan; kelompok recruit; maupun penambahan stok yang siap ambil di dalam wilayah penangkapan. Indikator keberhasilan yang bisa dilihat adalah peningkatan hasil tangkapan nelayan  di luar kawasan konservasi setelah beberapa saat setelah dilakukan penerapan KKP/KKP3K secara konsisten. Seberapa jauh efektivitas Kawasan Konservasi Perairan mampu memenuhi fungsi (peran) tersebut akan sangat tergantung pada pembatasan yang diterapkan pada kegiatan perikanan dan jenis pemanfaatan lainnya, model, bentuk maupun posisi/letak wilayahnya, khususnya ukuran zona/wilayah yang dijadikan perlindungan (no take area) dibandingkan dengan zona pemanfaatan (penangkapan).

Seberapa jauh efektivitas kawasan konservasi laut dapat memenuhi keempat fungsi (peran) tersebut akan sangat tergantung pada pembatasan yang diterapkan pada kegiatan perikanan dan jenis pemanfaatan lainnya maupun bentuk dan posisinya, khususnya ukuran wilayah yang dilindungi bila dibandingkan dengan wilayah penangkapan. Ukuran no take area yang direkomendasikan adalah 30% dari habitat penting yang dikonservasi.

Terdapat dua bukti dampak kawasan konservasi perairan. Pertama, terdapat bukti yang kuat bahwa zona inti/larangan penangkapan (perlindungan) memiliki persediaan ikan yang lebih besar, ukuran ikan yang lebih besar serta komposisi spesies yang lebih beragam (spesies ikan komersial berukuran lebih besar) bila dibandingkan dengan zona pemanfaatan/wilayah penangkapan. Di dalam ulasannya tentang dampak wilayah perlindungan, Roberts & Hawkins (2000) memberikan contoh dari 30 kajian yang dilaksanakan pada era 90-an yang mencatat satu atau lebih dari dampak tersebut. Dengan demikian, dampak pada populasi ikan terkait dengan perubahan yang terjadi pada bagian lain dari ekosistem. Misalnya, Babcock et al (1999) (dalam Roberts & Hawkins 2000) melaporkan penurunan 3 kali lipat populasi bulu babi di dalam wilayah perlindungan, sementara itu populasi tersebut meningkat hampir tiga kali lipat di luar wilayah perlindungan. Berdasarkan bukti-bukti tentang dampak wilayah perlindungan laut tersebut, tidak diragukan lagi bahwa wilayah ini memberikan pasokan telur dan anak ikan untuk wilayah penangkapan sekitarnya.  Selain itu, catatan perubahan populasi ikan menunjukkan bahwa wilayah perlindungan berfungsi sebagai tempat berlindung ikan. Namun dampak langsung manfaat perikanan jauh lebih sulit untuk dibuktikan di lapangan dan oleh karenanya dari berbagai kajian yang telah dilaksanakan, banyak yang menggunakan model matematis alih-alih observasi lapangan untuk mengkuantifikasi manfaat perikanan. Sebagian besar model menunjukkan bahwa perikanan benar-benar dapat memperoleh manfaat dari kawasan konservasi laut, dan model tersebut juga menunjukan bahwa penangkapan yang berkelanjutan dapat dimaksimalkan jika kurang lebih 30% habitat sepenuhnya dilindungi dari kegiatan penangkapan (Roberts & Hawkins 2000).  Selain itu, Roberts & Hawkins (2000) menyatakan bahwa seringnya kecenderungan nelayan untuk memfokuskan kegiatan penangkapan di dekat wilayah perlindungan (‘fishing the line’) menunjukan bukti manfaat dari kawasan konservasi bagi perikanan komersial.

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PARIWISATA BAHARI –Selain bagi perikanan, kawasan konservasi perairan juga memberikan sumbangan penting di dalam pengelolaan dan pengembangan wisata alam (eko-wisata), antara lain dalam hal perlindungan secara lebih baik terhadap habitat dan ikan (jenis tertentu) membuat wilayah tersebut semakin menarik sebagai tujuan ekowisata. Status kawasan konservasi perairan dan publikasi yang dihasilkan biasanya juga akan meningkatkan profil suatu wilayah sebagai tujuan ekowisata. Selanjutnya, melalui pengelolaan kawasan konservasi perairan, dampak negatif kegiatan pariwisata dapat dikendalikan. Di sisi lain, pariwisata sering diharapkan mampu menutup pembiayaan pengelolaan perikanan dan pemanfaatan lainnya.

NILAI PENTING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAGI PEREKONOMIAN MASYARAKAT PESISIR - Nilai penting  kawasan konservasi bagi kepentingan ekonomi, khususnya dalam pembangunan perikanan, telah dilakukan berbagai penelitian di beberapa Negara, antara lain: Peningkatan produksi telur di dalam kawasan konservasi laut hingga 10 kali lipat, Kelimpahan jumlah ikan di dalam kawasan konservasi laut hingga 2 sampai 9 kali lipat, Peningkatan ukuran rata-rata ikan di dalam kawasan konservasi laut antara 33 – 300 %, Peningkatan keanekaragaman species di dalam kawasan konservasi laut antara 30 – 50 %, dan Peningkatan hasil tangkapan ikan di luar cagar alam antara 40 – 90 % (Sumarja, 2002).

Secara tidak langsung, kawasan konservasi perairan dapat memberikan sumbangan yang cukup besar bagi perekonomian setempat dengan cara membuat wilayah tersebut menarik sebagai tujuan ekowisata. Misalnya, di Taman Nasional Wakatobi, Operation Wallacea menawarkan kombinasi riset dan wisata bawah air, yang memberikan sumbangan besar bagi perekonomian masyarakat di pulau Hoga. Di Raja Ampat, setiap turis yang akan melakukan wisata selam diwajibkan membayar kepada pemerintah daerah, dan pendapatan ekstra ini mendorong pemerintah daerah untuk membentuk jaringan Wilayah Perlindungan Laut yang dapat menjaga kelestarian terumbu karang di Raja Ampat. Banyak pemerintah daerah lainnya di Indonesia yang berpandangan bahwa pembentukan Wilayah Perlindungan Laut sebagai langkah awal pengembangan ekowisata.

Biaya penetapan dan pengelolaan KKP/KKP3K cukup tinggi, namun manfaat yang didapatkan ternyata jauh lebih tinggi. Sebuah jejaring KKP global dengan ukuran 20-30% dari luas laut dunia diperkirakan memerlukan biaya $5-19 miliar per tahun, namun akan menghasilkan tangkapan ikan yang keberlanjutan senilai $ 70-80 miliar setiap tahunnya. Jejaring KKP/KKP3K tersebut juga diperkirakan memberikan jasa ekosistem setara $ 4,5 – 6,7 juta setiap tahun (Balmford et al. 2004). Total biaya yang dibutuhkan untuk membuat dan mengelola jejaring KKP/KKP3K ternyata lebih rendah dibandingkan dengan pembelanjaan subsidi terhadap industri perikanan yang kita ketahui tidak berkelanjutan, yaitu $15-30 miliar per tahun (Balmford et al. 2004). Tingginya biaya pengelolaan KKP, namun sepadan dengan tingginya manfaat yang diperoleh, merupakan justifikasi kuat untuk segera merumuskan mekanisme dan implementasi secara konsisten dari suatu sistem pendanaan pengelolaan KKP/KKP3K yang berkelanjutan. ‘Users pay principles’ perlu diterapkan secara proporsional, adil dan transparan dalam skema pendanaan tersebut.

OPTIMALISASI FUNGSI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SEBAGAI PERLINDUNGAN EKOSISTEM – Sietem zonasiKawasan Konservasi Perairan diantaranya terdapat Zona inti, merupakan bagian KKP/KKP3K yang diperuntukkan bagi perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, penelitian dan pendidikan dengan tetap mempertahankan perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas. Zona inti dipilih karena memiliki berbagai kelebihan terutama dalam perlindungan habitat seperti daerah pemijahan, pengasuhan dan/atau alur ruaya ikan; habitat biota perairan tertentu yang prioritas dan khas/endemik, langka dan/atau kharismatik; serta mempunya ciri khas ekosistem alami, dan mewakili keberadaan biota tertentu yang masih asli. Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.30/MEN/2010, maka luas zona inti KKP/KKP3K ditentukan minimal 2% dari luas kawasan.

Zona pemanfaatan adalah bagian KKP/KKP3K yang diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi ikan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan pengembangan, dan pendidikan. Lokasi yang dapat dipilih menjadi zona pemanfaatan tentunya harus mempunyai daya tarik pariwisata alam berupa biota perairan beserta ekosistem perairan yang indah dan unik; dan mempunyai karakter objek penelitian dan pendidikan yang mendukung kepentingan konservasi; dan mempunyai kondisi perairan yang relatif masih baik untuk berbagai kegiatan pemanfaatan wisata dengan tidak merusak ekosistem aslinya.

Perlindungan ekosistem kawasan konservasi diharmonisasikan dengan pemanfaatan ekonomi masyarakat pesisir sehingga tercipta pola pengelolaan yang mengedepankan prinsip keberpihakan terhadap ekonomi lokal yang mensejahterakan dengan tetap mempertahankan fungsi lingkungan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Aspek lingkungan dievaluasi efektivitasnya dengan E-KKP3K (metode evaluasi efektivitas kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil) bersama dengan aspek-aspek pengelolaan yang lain, sebagai rekomendasi bagi pengelola dalam meningkatkan upaya pengelolaan menuju terciptanya kawasan konservasi perairan yang efektif, yaitu seimbang fungsi lingkungan dan manfaat ekonominya bagi masyarakat pesisir.

OPTIMALISASI FUNGSI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENDUKUNG KEGIATAN PERIKANAN BERKELANJUTAN BAGI PENGUATAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR – Paradigma baru pengelolaan KKP/KKP3K dibawah Menteri Kelautan dan Perikanan tidak saja berbicara tentang perlindungan dan pelestarian, tetapi menekankan pentingnya pemanfaatan kawasan demi mendukung kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan yang dapat dilakukan di dalam KKP/KKP3K meliputi pemanfaatan untuk perikanan tangkap dan budidaya, pemanfataan wisata, pemanfaatan penelitian dan pengembangan, serta kegiatan ekonomi lainnya yang menunjang konservasi. Namun demikian pemanfaatan yang dilakukan dalam KKP/KKP3K ini bersifat terbatas dan harus mengutamakan kepentingan kelestarian sumberdaya, sehinggau harus memperhatikan daya dukung kawasan.

Pasal 18 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan menyebutkan bahwa Zona Perikanan Berkelanjutan dalam Kawasan konservasi Perairan diperuntukkan bagi penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan. Selanjutnya kegiatan penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan yang dimaksud meliputi: (a) alat penangkapan ikan yang sifatnya statis dan/atau pasif; dan (b) cara memperoleh ikan dengan memperhatikan daya dukung habitat dan/atau tidak mengganggu keberlanjutan sumber daya ikan. Aturan ini jelas memihak kepada kepentingan perikanan masyarakat lokal, sehingga penguatan ekonomi dari sektor perikanan tangkap bagi masyarakat pesisir dapat ditingkatkan selain upaya penangkapan ikan yang dilakukan di luar kawasan konservasi

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor KEP.06/MEN/2010 tentang Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Dalam keputusan tersebut, di Indonesia terdapat 10 kelompok alat tangkap (API – Alat Penangkapan Ikan) yang dapat beroperasi di wilayah perairan. Mengacu pada kriteria alat tangkap di KKP/KKP3K, maka terdapat sekitar 21 alat tangkap dari enam kelompok API yang dapat beroperasi dalam KKP/KKP3K di zona perikanan berkelanjutan.

Secara prinsip maupun praktek dilapangan, dampak kawasan konservasi telah jelas dalam peningkatan hasil tangkapan masyarakat lokal. Hasil pengukuran efektivitas melalui E-KKP3K dapat menjadi indikator peningkatan ekonomi masyarakat pesisir, bersumber dari hasil tangkapan ikan di wilayah tangkap nelayan yang merupakan limpahan manfaat kawasan konservasi perairan. Dampak ini nyata dalam mendorong peningkatan pendapatan langsung masyarakat dan menggerakkan sektor ekonomi pendukung di wilayah pesisir. Manfaat langsung pariwisata bahari dapat menjadi sumber pendanaan jasa lingkungan bagi pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan.

OPTIMALISASI FUNGSI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENDUKUNG PARIWISATA BAHARI DALAM RANGKA PENGUATAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR. Terdapat hubungan timbal balik yang erat antara KKP/KKP3K dengan ekowisata bahari. Salah satu kriteria dalam pemilihan sebuah KKP/KKP3K adalah memiliki tingkat kealamiahan yang tinggi, kondisi ekosistem yang masih baik dan unik, sehingga dapat menjadi daya tarik wisata. Kegiatan wisata dalam KKP/KKP3K harus memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian dan memperhatikan daya dukung kawasan. Sebaliknya, dengan ada kegaitan ekowisata bahari dalam KKP/KKP3K, maka dapat memberikan manfaat langsung dan tidak langsung bagi kelancaran pengelolaan KKP/KKP3K itu sendiri. Beberapa manfaat kegiatan ekowisata bagi KKP/KKP3K adalah: a) adanya pemasukan (income) melalui tiket masuk dan biaya pemakaian sarana prasarana;  biaya konsesi untuk sektor swasta seperti toko cenderamata, penyewaan perahu, warung makanan/restoran, dan tur; serta donasi dari pengunjung; b) Adanya lapangan pekerjaan, misalnya staf kawasan lindung; usaha yang langsung melayani wisatawan; pemandu wisata/interpretasi alam; dan lapangan pekerjaan tak-langsung (sektor layanan lain, konstruksi, pemasok, dll.); c) Media pendidikan lingkungan, melaui pemandu alam, pusat pengunjung, tanda atau marka di pantai. Hal ini secara langsung atau pun tidak langsung mendidik masyarakat dalam memelihara lingkungan, dansebagai lokasi pembelajaran bagi pihak lain; d) Justifikasi politis bagi KKP/KKP3K, misalnya pemerintah akan lebih mendukung KKP/KKP3K bila sudah memberikan manfaat yang nyata – terutama pemasukan dan pekerjaan. KKP/KKP3K juga dapat dijadikan alat promosi baik di level lokal, nasional, dan internasional terkait komitmen pada kegiatan pelestarian lingkungan secara nyata.

Penilaian dampak pengelolaan wisata bahari terhadap fungsi lingkungan kawasan konservasi perairan diperlukan dalam menjaga keberlanjutan pengelolaan efektif kawasan konservasi, yang menjadi bagian penilaian dalam E-KKP3K. Manfaat langsung pariwisata bahari dapat menjadi sumber pendanaan jasa lingkungan bagi pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. Peluang ini sangat nyata dan berpotensi menjadi penggerak ekonomi yang cukup efektif dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.

OPTIMALISASI FUNGSI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL UNTUK PENDIDIKAN DAN KEPEDULIAN MASYARAKAT –Konservasi selalu bergantung kepada dukungan dari masyarakat lokal, kelompok-kelompok pemanfaat, dan lembaga pemerintahan, namun masyarakat tidak akan mendukung sesuatu hal yang mereka tidak pahami.  Dalam merancang program pendidikan perlu perencanaan yang mendalam, khususnya pada KKP/KKP3K yang dibangun dengan tujuan khusus.  Kerja sama bersama mitra-mitra, seperti sekolah, kelompok nelayan, dan pemerintah lokal, KKP/KKP3K dapat menjadi sarana yang merangsang kepedulian kepada lingkungan dan membangun kapasitas masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya laut.

Kesadaran warga negara memegang peranan penting dalam keberhasilan pengelolaan KKP/KKP3K.  Negara-negara yang memiliki KKP/KKP3K efektif biasanya memiliki warga negara yang memiliki tingkat kesadaran tinggi terhadap konservasi.  Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) bertujuan untuk memberi informasi kepada pendukung  dan menanamkan etika serta tata nilai konservasi sehingga anggota masyarakat dapat membuat keputusan tepat yang terkait dengan pemanfaatan  sumberdaya alam. Adanya program monitoring yang mengukur perubahan tingkat kesadaran terhadap lingkungan dan juga perubahan perilaku yang terkait dengan isu KKP/KKP3K akan menjadi umpan balik yang berharga untuk menentukan strategi kampanye yang lebih efektif, dibanding dengan strategi yang lainnya.

Pendidikan adalah faktor kunci yang mendukung keberhasilan kegiatan konservasi dan pengelolaan KKP/KKP3K. Pendidikan dapat diberikan kepada semua tingkatan dan kepada semua kelompok, termasuk kelompok masyarakat lokal, penyelenggara wisata berikut stafnya, wisatawan dalam KKP/KKP3K, dan staf pengelola KKP/KKP3K itu sendiri. Materi pendidikan dan peralatan promosi sangat penting di dalam meningkatkan kesadaran tentang isu KKP/KKP3K, yang akan mendidik masyarakat lokal agar mereka dapat melakukan advokasi terhadap kekayaan alam mereka, dan juga untuk mendorong perilaku positif dari semua pihak terkait yang nantinya akan memberikan efek positif kepada KKP/KKP3K tersebut.

Dampak positif fungsi pendidikan dan penelitian dalam kawasan konservasi menjadi bagian utuh dalam pengelolaan yang dapat diukur efektifitasnya dengan Metode E-KKP3K. Hasil Penelitian yang dilakukan menjadi rekomendasi bagi pengelola untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi.
Pengelolaan Kawasan Konservasi Ke Depan: Harapan Perwujudan Kesejahteraan Masyarakat atas Efektivitas Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir san Pulau-Pulau Kecil –> Kawasan konservasi perairan maupun kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkembang di Indonesia niscaya tidak hanya terhenti dalam capaian luasan semata, namun pengelolaan kawasan konservasi secara berkelanjutan yang “efektif” adalah harapan yang senantiasa terus digapai perwujudannya, hingga pada akhirnya tercapai kesejahteraan masyarakat sebagai benefit pengelolaan kawasan konservasi yang lestari.

Program-program strategis untuk mendorong pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan, efektif dan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat terus dilakukan berbagai upaya pokok pengelolaan kawasan konservasi, antara lain: perlindungan habitat dan populasi biota perairan, rehabilitasi habitat dan populasi biota perairan, penelitian dan pengembangan, pemanfaatan sumberdaya ikan dan jasa lingkungan, pengembangan sosial ekonomi masyarakat, pengawasan dan pengendalian, monitoring dan evaluasi, serta pengembangan kerjasama dan/jejaring konservasi. Beberapa upaya akselerasi efektivitas pengelolaan antara lain melalui Pilot ProjectPengelolaan KKP/KKP3K, program ini merupakan program percepatan pengelolaan KKP/KKP3K di daerah untuk perikanan berkelanjutan dan pemanfaatan kawasan konservasi untuk pariwisata berbasis konservasi, dalam hal fasilitasi penguatan rencana pengelolaan, kelembagaan dan SDM, pembangunan infrastruktur kawasan maupun pengembangan sistem pengelolaan kawasan yang terpadu. selain itu, beberapa kawasan konservasi juga disiapkan sebagai Center of Excellence, yang merupakan kawasan terpadu untuk Pusat Penelitian, Training, Bisnis, entertainment, jasa lingkungan, dan lain-lain. Ke depan, penilaian efektivitas pengelolaan KKP/KKP3K melalui perangkat E-KKP3K dapat dikembangkan menjadi mekanisme Awards sebagai apresiasi untuk mendorong pengelolaan kawasan konservasi perairan laut daerah yang efektif.

Mengelola secara kolaboratif kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil yang efektif pada prakteknya bukan merupakan hal yang sederhana, perlu komitmen dan kerjasama semua pihak dalam mewujudkannya. Pengelolaan kawasan konservasi sebaiknya dilakukan sesuai dengan kewenangannya, melalui peranserta masyarakat secara partisipatif bagi peningkatan kesejahteraannya. Semoga perwujudan pengelolaan kolaboratif kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil yang Efektif untuk mendukung perikanan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat segera dapat tercapai.(SJI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun