Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Wadu Ntanda Rahi dalam Lipatan Sejarah

16 Maret 2020   09:14 Diperbarui: 22 Maret 2020   20:10 3007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Dokumentasi pribadi

Setelah pengumpulan data dan mengolahnya, kemudian kami melakukan seminar publik di Asi Bima (Istana Bima) dengan mengundang stekholder, mulai dari sejarawan Bima sampai masyarakat pencinta sejarah. 

Menjadi narasumber dalam seminar meliputi Hj. Sitti Maryam Salahuddin sebagai budayawan Bima (alm), M. Hilir Ismail, Sejarawan Bima (alm) dan Dr. Bambang Sulistyo sebagai ketua Jurusan Ilmu Sejarah Unhas. Sedangkan penulis berkesempatan menjadi moderator, untuk memandu jualannya seminar. 

Pada kesempatan tersebut Dr. Bambang Sulistyo, menguraikan bahwa kisah Wadu Ntanda Rahi yang notabene cerita rakyat tersebut merupakan simbol dari semangat masyarakat Mbojo untuk merantau. Semangat merantau tersebut didorong oleh dua hal, yakni merantau untuk mencari rezeki bagi keluarga, dan menimba ilmu pengetahuan. 

Penjelasan ini cukup logis, jika kita melihat era kekinian. Kita tidak kesulitan menemukan orang Bima Dompu jika berada di kota-kota besar di negeri ini. Mereka adalah perantau sejati, baik yang mencari kerja maupun yang sedang menimba ilmu pengetahuan. Kota-kota sekaliber Jakarta, Yogyakarta, Malang, dan Mataram cukup mudah menemukan orang yang berasal dari Dana Mbojo, terlebih lagi Kota Makassar. 

Di Makassar orang Mbojo sudah menyatu dengan masyarakat lokal, karena secara historis kedua suku bangsa ini memiliki kedekatan yang begitu erat. Tidak saja di tanah air, orang Bima-Dompu juga menyambangi negeri jiran Malaysia, Brune bahkan sampai ke Timur Tengah dengan harapan agar dapur rumah tetap mengepul. 

Ilustrasi: Dokumentasi pribadi
Ilustrasi: Dokumentasi pribadi
Cerita Wadu Ntanda Rahi, mestinya harus tetap terjaga dalam memori kolektif masyarakat Mbojo. Tidak hanya sekadar menjaga dan mewariskan nilai-nilai luhur para pendahulu, namun bisa dijadikan tameng bahkan benteng bagi generasi zaman now, untuk menfilter kondisi zaman yang semakin 'bar-bar' ini. 

Kisah masa lalu memiliki nafas untuk memberi semangat, memberi nilai dan motivasi bagi siapa saja yang mau membuka diri terhadap tuturan para petuah kampung. Karena pada merekalah yang masih merawat kisah itu dengan baik, memorinya masih menyimpan lipatan-lipatan kisah, yang siap diwartakan bagi yang mau mendengarkannya. 

Jika waktu mempertemukan kita, bisalah kita menyeruput kopi sambil mengisap rokok kretek di pantai sore hari. Ketika megah kemerahan menyelimuti langit, dengan semilirnya angin laut dan hilir mudik perahu nelayan, serta alunan gitar menemani, itulah waktu yang tepat untuk duduk di samping Wadu Ntanda Rahi. Menemaninya menatap laut, melihat gulungan ombak, dengan bulir-bulir ombak yang memecah bebatuan. 

Kita tak perlu ikut bersedih karena suaminya belum kembali, jika kita memiliki rasa yang sama bolehlah tidak memendamnya. Karena cinta harus diungkapkan, sebab hari semakin sore dan sebentar lagi ombak akan meninggi. Dan cepatlah bergegas karena malam akan segera tiba, dan sore akan segera enyah dari pandangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun