Mohon tunggu...
Suradin
Suradin Mohon Tunggu... Duta Besar - Penulis Dompu Selatan

Terus Menjadi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Wadu Ntanda Rahi dalam Lipatan Sejarah

16 Maret 2020   09:14 Diperbarui: 22 Maret 2020   20:10 3007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Dokumentasi pribadi

JIKA diartikan secara harfiah Wadu Ntanda Rahi bisa diartikan Batu Memandang Suami. Batu ini tidak hanya ada di Dompu tapi ada juga di Bima. 

Wadu Ntanda Rahi merupakan simbol dari kisah seorang istri yang memandang suaminya yang akan berangkat merantau ke pulau seberang.

Jika dilihat fisiknya, baik di Dompu maupun yang ada di Bima, batu ini memang agak beda dengan batu sekitarnya. Ia menjulang tinggi, seakan sedang memandang sekitar. Hanya saja bedanya, di Dompu batu ini ada di pesisir pantai Desa Hu'u. Sedangkan yang di Bima ada di atas Gunung. 

Kisah tentang Wadu Ntanda Rahi, diceritakan turun temurun setiap generasi. Karena ini merupakan cerita rakyat yang sarat akan makna. 

Dulu waktu zaman anak-anak, ibu saya selalu cerita tentang kisah-kisah yang hidup di tengah masyarakat. Mulai dari cerita tentang Ncuhi, Fifakafirli, sampai cerita tentang Wadu Ntanda Rahi sendiri. 

Dahulu, ada keluarga kecil yang tinggal di pesisir pantai. Seorang suami berprofesi sebagai nelayan, kadang ia berangkat melaut jika waktu senja menyapa, lalu mendorong perahunya sampai kebibir pantai. 

Ia semalaman ada laut, menjaring ikan, membawanya pulang ketika sudah terang tanah. Istrinya ditinggal bersama dengan putra semata wayannya. Mereka dibiarkan menunggu. Menanti. Lalu bersua di keesokan harinya. 

Ilustrasi: Dokumentasi pribadi
Ilustrasi: Dokumentasi pribadi
Namun, suatu ketika sang suami kembali melaut. Kali ini, sang istri sambil memegang tangan anaknya mengantar sang suami sampai ke tepi pantai. Ada kesedihan mendalam yang di rasakan oleh sang istri, karena saking sering ditinggalkan. Ada kepedihan yang terpendam, yang terasa sulit untuk diutarakan. 

Hatinya hancur, karena kali ini sang suami nampaknya akan pergi dalam waktu yang tak sebentar, dan tak ada kepastian untuk kembali. Karena, ketika sang suami pergi, ada rindu yang mendekap dalam kalbu, tidak ada lagi hangatnya pelukan kala malam meninggi, dan tak ada pertengkaran-pertengkaran kecil yang berujung kebahagian. 

Kali ini, sang istri mengiringi suaminya pergi, berdiri di bibir pantai sambil melihat sang suami mendayung perahu, membelah ombak, semakin jauh, dan benar-benar hilang dari pandangan. 

Tatapannya kosong, tak berkedip, butiran air matanya turun perlahan tapi pasti mengiringi kepergian sang suami. Hatinya remuk. Karena malam kembali akan dilaluinya tanpa belaian tangan sang suami. Sang istri bersama anaknya masih berdiri, berdiri sekuat karang yang dihempas sang ombak, sekuat burung yang menahan lajunya angin laut. Tak terasa, hempasan ombak yang berkejaran merubah diri dan anaknya menjadi batu. Batu yang berdiri kokoh, kuat, sekuat hatinya yang masih menunggu kedatangan sang suami yang hingga kini belum juga kembali. 

Dalam ilmu sejarah cerita tersebut masuk pada kategori Historiografi traditional. Kenapa demikian? Karena cerita rakyat lebih didominasi oleh hal-hal gaib, kadang tidak rational dan narasinya lebih bersifat kelokalan. 

Wadu Ntanda Rahi yang ada Desa Hu'u, sangat mudah dijangkau. Karena letaknya tidak terlalu jauh dari perkampungan warga. Bagi warga Desa Hu'u sendiri, bisa berjalan kaki untuk menjangkau lokasi. 

Ilustrasi: Dokumentasi pribadi
Ilustrasi: Dokumentasi pribadi

Namun, untuk Desa tetangga bisa mengendarai roda dua, baik motor dan bisa juga bersepeda. Apalagi di sore hari ketika cuaca bersahabat, pemandangan cukup indah, perpaduan megahnya sunset dan semilirnya angin laut bisa memanjakan mata para pengunjung. Mereka bisa berselfi ria dipinggir pantai, sambil menyaksikan hilir mudiknya kendaraan. 

Namun di era milenial cerita ini sedikit ironi, sebab kisah Wadu Ntada Rahi tidak sering lagi dituturkan oleh ibu-ibu kepada anak-anaknya. Bahkan anak-anak zaman now, lebih doyan pada kisah drama Korea, yang mendayu-dayu dengan kisah cinta yang mengurai arti mata. Ditambah lagi dengan Boyband Korea yang sedang menghipnotis para kaum la muda. Mereka lebih sering berselancar di media sosial, memasang status dengan beaground  Wadu Ntanda Rahi dari pada menyelam kisahnya yang sarat makna. 

Kisah yang bisa memberikan nilai lebih, bagi generasi zaman now, dalam mengarungi rimba raya kehidupan masa depannya. Masa depan penuh tantangan, penuh onak duri, serta penuh kemungkinan-kemungkinan. 

Setiap insan harus memiliki semangat baja, optimisme tingkat dewa, inovatif penuh kreasi dan penuh kompotitif. Bagi yang tak siap, maka akan menjadi penonton, dan menangisi keadaaan seperti kisah drama Korea di layar kaca.

Kisah masa lalu bukan sekadar dihafal, dikisahkan kembali, bahkan bukan sekadar dibiarkan berlalu. Tapi di sana ada pelajaran, ada nilai, ada makna yang bisa diambil untuk menjadi kompas penunjuk arah, agar kedepan kita hendak melangkah kemana dan akan berbuat apa. Ia menghamparkan karpet merah bagi generasi kekinian, untuk dilewati dan membawa pesan suci untuk diwariskan pada generasi berikutnya. Kisah masa lalu adalah pelajaran, kekinian adalah menyerap makna, dan masa depan adalah wujudnya. 

Saya baru memahami secara ilmiah kisah Wadu Ntanda Rahi ketika tahun 2008 silam, kami dari mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin Makassar melakukan kegiatan Penelitian Object Kajian Sejarah di Bima.

Pada kesempatan itu, kami melakukan penelitian dengan mengunjungi beberapa situs sejarah, seperti Dana Traha, Asa Kota, Wadu Pa'a, serta studi Pustaka di beberapa perpustakaan Kota, Kabupaten dan Perpustakaan Pribadi seorang Budayawan Bima yakni Ibu Sitti Maryam Salahuddin (almarhum).

Setelah pengumpulan data dan mengolahnya, kemudian kami melakukan seminar publik di Asi Bima (Istana Bima) dengan mengundang stekholder, mulai dari sejarawan Bima sampai masyarakat pencinta sejarah. 

Menjadi narasumber dalam seminar meliputi Hj. Sitti Maryam Salahuddin sebagai budayawan Bima (alm), M. Hilir Ismail, Sejarawan Bima (alm) dan Dr. Bambang Sulistyo sebagai ketua Jurusan Ilmu Sejarah Unhas. Sedangkan penulis berkesempatan menjadi moderator, untuk memandu jualannya seminar. 

Pada kesempatan tersebut Dr. Bambang Sulistyo, menguraikan bahwa kisah Wadu Ntanda Rahi yang notabene cerita rakyat tersebut merupakan simbol dari semangat masyarakat Mbojo untuk merantau. Semangat merantau tersebut didorong oleh dua hal, yakni merantau untuk mencari rezeki bagi keluarga, dan menimba ilmu pengetahuan. 

Penjelasan ini cukup logis, jika kita melihat era kekinian. Kita tidak kesulitan menemukan orang Bima Dompu jika berada di kota-kota besar di negeri ini. Mereka adalah perantau sejati, baik yang mencari kerja maupun yang sedang menimba ilmu pengetahuan. Kota-kota sekaliber Jakarta, Yogyakarta, Malang, dan Mataram cukup mudah menemukan orang yang berasal dari Dana Mbojo, terlebih lagi Kota Makassar. 

Di Makassar orang Mbojo sudah menyatu dengan masyarakat lokal, karena secara historis kedua suku bangsa ini memiliki kedekatan yang begitu erat. Tidak saja di tanah air, orang Bima-Dompu juga menyambangi negeri jiran Malaysia, Brune bahkan sampai ke Timur Tengah dengan harapan agar dapur rumah tetap mengepul. 

Ilustrasi: Dokumentasi pribadi
Ilustrasi: Dokumentasi pribadi
Cerita Wadu Ntanda Rahi, mestinya harus tetap terjaga dalam memori kolektif masyarakat Mbojo. Tidak hanya sekadar menjaga dan mewariskan nilai-nilai luhur para pendahulu, namun bisa dijadikan tameng bahkan benteng bagi generasi zaman now, untuk menfilter kondisi zaman yang semakin 'bar-bar' ini. 

Kisah masa lalu memiliki nafas untuk memberi semangat, memberi nilai dan motivasi bagi siapa saja yang mau membuka diri terhadap tuturan para petuah kampung. Karena pada merekalah yang masih merawat kisah itu dengan baik, memorinya masih menyimpan lipatan-lipatan kisah, yang siap diwartakan bagi yang mau mendengarkannya. 

Jika waktu mempertemukan kita, bisalah kita menyeruput kopi sambil mengisap rokok kretek di pantai sore hari. Ketika megah kemerahan menyelimuti langit, dengan semilirnya angin laut dan hilir mudik perahu nelayan, serta alunan gitar menemani, itulah waktu yang tepat untuk duduk di samping Wadu Ntanda Rahi. Menemaninya menatap laut, melihat gulungan ombak, dengan bulir-bulir ombak yang memecah bebatuan. 

Kita tak perlu ikut bersedih karena suaminya belum kembali, jika kita memiliki rasa yang sama bolehlah tidak memendamnya. Karena cinta harus diungkapkan, sebab hari semakin sore dan sebentar lagi ombak akan meninggi. Dan cepatlah bergegas karena malam akan segera tiba, dan sore akan segera enyah dari pandangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun