Mohon tunggu...
Supriyono
Supriyono Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Saya seorang yang suka membaca. Hobi berbagi ide dengan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Vegetasi Istimewa di Tanah Sultan

30 Desember 2024   17:07 Diperbarui: 30 Desember 2024   17:07 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Belakangan ini bersepeda merupakan olahraga rekreasi yang banyak digemari. Gowes saya hari Minggu ini ke seputar Kota Jogja. Saya dapat memanjakan mata dengan pemandangan sekitar dan membebaskan dari rutinitas pekerjaan.

Berangkat dari rumah pukul 05.00, perkiraan sampai Tugu Jogja pukul 05.30 WIB. Perjalanan yang menyenangkan, durasi cukup, santai, dan tidak terlalu melelahkan. Weekend biasanya saat pagi jalanan lebih lengang dan udara belum tercampur debu dan asap kendaraan bermotor.

Akhirnya, sampailah di Tugu Jogja. Saya kali ini akan bersepeda menelusuri sumbu filosofi Yogyakarta, sebagai poros atau garis lurus dengan penanda utama Tugu Jogja, Keraton, dan Panggung Krapyak. Ini melambangkan siklus hidup manusia (sangkan paraning dumadi). Sumbu filosofis ini ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada 18 September 2023 pada sidang ke-45 World Herritage Committee UNESCO di Ryad, Arab Saudi dengan nama "The Cosmological Axis of Yogyakarta and its Historic Landmarks". Yang menarik adalah siklus hidup manusia ini dilambangkan melalui vegetasi yang ditanam di sepanjang sumbu filosofis ini.

Berdasarkan konsep siklus hidup manusia mungkin perjalanan ini terbalik, seharusnya dari Panggung Krapyak ke Keraton baru ke Tugu Jogja. Tapi tak mengapa, toh tujuan utamanya gowes sekaligus ingin melihat vegetasi di poros sumbu filosofi.

Tugu Jogja ke selatan saya menyusuri Jalan Marga Utama (sebelum 2013 dinamakan Jalan Pangeran Mangkubumi). Matahari redup terselimuti awan kelabu merata. Udara agak lembap dan rintik-rintik gerimis sebentar datang-pergi. Di kiri dan kanan jalanan ini berderet pohon asam (tamarindus indica) dan pohon gayam (inocarpus edulis). Pohon-pohon ini ditanam sebagai upaya untuk mengembalikan dan menata kembali tanaman khas Yogyakarta terkait sumbu filosofis Yogyakarta. Selain sebagai perindang dan penghasil oksigen tanaman-tanaman ini memiliki makna tersendiri. Pohon asam atau dalam bahasa Jawa asem melambangkan ketertarikan dari kata nengsemake dan gayam yang melambangkan ketenangan dari kata ayom/ayem manusia dewasa. Pohon asam dan gayam yang berderet teratur di kiri dan kanan sepanjang jalan searah ke selatan ini menambah kesejukan pagi ini.

Sampai di perlintasan rel kereta api saya harus turun dari sepeda, dan mendorong sepeda, menuggu kereta lewat terlebih dahulu. Kebetulan pintu pengaman perjalanan kereta api sudah menutup secara automatis. Setelah kereta lewat dan pintu terbuka, saya menuntun sepeda melintas ke selatan ke Jalan Marga Mulya (sebelumnya diberi nama Jalan Ahmad Yani atau dikenal Jalan Malioboro). Lagi-lagi saya menyaksikan kiri-kanan  trotoar jalan didominasi pohon asam dan gayam. Bedanya pohon asam di Jalan Marga Mulya ini sudah banyak yang berbuah. Jumlah pohon asam lebih banyak daripada pohon gayam. Kedua jenis pohon belum terlalu tinggi (antara 3-4m), kesan rimbun masih dipengaruhi beberapa vegetasi lama pohon beringin di sisi timur dan bangunan bertingkat.

Saya berhenti sejenak di selatan titik nol kilometer, tepatnya di Jalan Pangurakan. Saya berhenti di bangku trotoar yang memang disediakan untuk beristirahat dan menikmati suasana. Di jalan terpendek di Kota Jogja ini tidak ditanami pepohonan sama sekali. Kalau saya lihat ke arah timur, di Jalan Panembahan Senopati hijau deret pepohonan baru terlihat. Tanaman identitas beringin, asam, dan gayam cukup banyak ditanam, baik di tengah jalan maupun di trotoar kiri-kanan. Untuk arah barat di Jalan KH Ahmad Dahlan tidak banyak pepohonan yang ditanam.

Saya pun melanjutkan gowes. Sampai di ujung Jalan Pangurakan terdapat sepasang pohon beringin yang diberi nama Kiai Wok di sisi kanan saya dan Kiai Jenggot di sisi kiri, tepat di sisi utara Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta. Sebuah tanah lapang yang sejak tahun 2022 ditutupi pasir lembut, sering digambarkan sebagai laut tak berpantai. Di tengah alun-alun utara ini terdapat sepasang pohon beringin, di sebelah kanan diberi nama Kiai Dewadaru di sebelah kiri diberi nama Kiai Jayadaru. Di depan Bangsal Pagelaran atau bagian selatan alun-alun ada sepasang pohon beringin lagi, di sebelah kanan diberi nama Binatur di sebelah kiri diberi nama Agung. Selain beringin yang sudah diberi nama ini ada 58 beringin yang mengelilingi Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta, sehingga jumlah keseluruhan ada 64 pohon beringin. Ada dua macam pohon beringin yang ditanam di Keraton Yogyakarta, yaitu beringin pada umumnya (ficus benjamina) dan beringin preh (ficus ribes). Pohon beringin ini dikenal dengan pohon yang kuat, kokoh, teduh, tempat hidup beberapa jenis burung, dan mudah beradaptasi. Oleh masyarakat Yogyakarta dimaknai sebagai pelindung, pemberi manfaat, dan teguh pendirian. Hal ini sebagai representasi dari manusia yang lebih bermanfaat.

Dari Alun-Alun Utara saya mengayuh sepeda mengelilingi alun alun sisi barat dan memarkir sepeda di depan Masjid Gedhe kauman. Tepatnya di bawah rindangnya pohon tanjung (mimusops elengi). Saya akan melihat-lihat tanaman khas yang ditanam di dalam Keraton Yogyakarta. Dengan membayar tiket wisatawan domestik Rp15.000,00 saya memasuki halaman Keraton Yogyakarta melalui pintu barat.

Di dalam kompleks keraton ini terdapat beberapa pohon khas. Terdapat pohon sawo kecik, gayam, tanjung, jambu dersana, manga, keben, kepel, dan kantil.

Pohon sawo kecik (manilkara kauki) yang berada di pelataran Keraton Yogyakarta ini jumlahnya lebih dari enam puluh batang. Ketinggian pohon bervariasi dari 10-20 meter. Daunnya berbentuk lonjong dengan dahan dan cabang yang menyebar ke segala penjuru. Buahnya berwarna hijau kekuningan, sedangkan yang sudah masak berwarna merah kecoklatan.

Enam pohon gayam (inocarpus edulis) ditanam di pelataran keraton, tiga di sisi barat dan tiga di sisi timur menuju kediaman sultan. Pohon tanjung (mimusops elengi) ditanam di empat sudut bangsal Pancaniti. Pohon jambu dersana (syzgium malaccense) dapat ditemui di Plataran Kamandungan Kidul, Plataran Kemagangan, Plataran Srimanganti, dan Plataran Kamandungan Lor.

Pohon kepel ditanam di beberapa sudut keraton. Enam pohon di sisi timur Sitihinggil dan enam pohon di sisi baratnya. Dua pohon di selatan bangsal Kemagangan, satu di utara halaman halaman Kamandungan Lor.

Daerah Istimewa Yogyakarta ini memiliki tanaman flora identitas kota, keberadaannya disahkan dalam SK Menteri Dalam Negeri No. 522.5/1458/SJ/1990 yakni pohon kepel. Dua tahun setelahnya keluar Surat Keputusan Gubernur DIY No. 385/KPTS/1992 tentang Penetapan Flora dan Fauna Daerah Provinsi DIY. Selang delapan belas tahun berikutnya, tepatnya tahun 2010 PT Pos Indonesia menerbitkan perangko bergambar pohon buah kepel disandingkan dengan burung perkutut sebagai flora dan fauna identitas Daerah Istimewa Yogyakarta.

Saat ini di pelataran keraton terdapat dua macam pohon kepel, yaitu pohon kepel (stelechocarpus burhanol) dan pohon kecindul (cynometra cauliflora). Pohon kepel ini terdapat di pelataran Srimanganti dan Kemandungan Lor. Jika diamati dengan saksama, pohon kepel ini memiliki batang yang lurus, daunnya rimbun, buahnya coklat menggantung pada pokok batangnya. Sedangkan pohon kecindul atau sering disebut kepel watu ditanam di pelataran Siti Hinggil Lor. Pohon dan daun kecindul seperti kepel, demikian pula dengan bunga dan buahnya tumbuh di batang pokoknya.

Menurut abdi dalem yang mendampingi berkeliling di lingkungan keraton, kepel berbunga setelah umur delapan tahun. Bunga akan muncul pada bulan September sampai Oktober. Setelah itu, buahnya dapat dipanen setelah enam bulan berbunga atau pada Maret sampai April.

Pohon kepel ini menurut Prof.Dr. Purnomo, M.S. belum termasuk spesies yang dilindungi berdsarkan PP No.7 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa. Hal itu ia sampaikan pada Seminar Tumbuhan Khas dan Langka Daerah Istimewa Yogyakarta pada Sabtu, 21 September 2019 di Auditorium Fakultas Biologi UGM. Menurut Guru Besar Ilmu Taksonomi Tumbuhan tersebut kepel juga belum terdaftar dalam IUCN Redlist. 

Kepel ternyata juga belum dilindungi dalam Permen LHK No.106 Tahun 2018. Sebenernya banyak spesies tanaman di Daerah Istimewa Yogyakarta ini menjadi langka dan terancam punah karena mengalami tekanan populasi di habitat alamiahnya.

Untuk mencegah kepunahan pohon kepel ini, usaha konservasi pernah dilakukan pada tahun 2012 di Kebun Buah Mangunan, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, DIY. Koleksi bibitnya diambil dari dua tempat wilayah pertumbuhan kepal, yaitu Kabupaten Magelang dan Kabupaten Karanganyar. Perlu diketahui tanaman kepel ini bisa tumbuh baik di tanah yang subur, mengandung humus, dan lembap. Habitat asilnya pohon kepel ini dijumpai pada ketinggian 150-300 mdpl. Dari uji coba konservasi yang dilakukan di Mangunan diketahui tanaman kepel yang berasal dari Karanganyar dapat tumbuh lebih baik daripada tanaman kepel dari Magelang. Dapat disimpulkan bahwa ternyata tanaman kepel ini mempunyai keragaman genetik yang tinggi.

Pohon kepel di pelataran Keraton Yogyakarta ini memuat makna yang mendalam. Buah kepel ini besarnya satu kepalan tangan orang dewasa. Ini melambangkan tekad dan kemauan yang kuat untuk berkarya. Kepel juga dapat dimaknai kempel atau kumpul, yang melambangkan persatuan.

Setelah puas berkeliling kompleks Keraton Yogyakarta saya pun melanjutkan gowes pagi ini. Ke selatan menyusuri Jalan Rotowijayan saya sempat berhenti sebentar di Ngejaman di dekat Masjid Rotowijayan, dibelakang jam kuno ditanam pohon salam (syzygium polyanthum) dengan tinggi kurang lebih dua puluh meter. Menyusuri Jalan Ngasem dan sampailan di Pasar Ngasem yang sampai sekarang masih mempertahankan keaslian bentuknya, termasuk vegetasi khasnya yakni puluhan pohon asam di sekiling pasar. Melewati Jalan Magangan Kulon, saya lanjutkan ke Jalan Ngadisuryan dan sampailah saya di Alun-alun Kidul.

Di alun-alun ini berbeda dengan Alun-alun Lor yang dikelilingi oleh satu jenis vegetasi, yakni pohon beringin. Vegetasi sekeliling Alun-alun Kidul lebih variatif terdapat pohon jambu dersana, pohon mangga pakel, pohon mangga kweni, pohon mangga cempora, pohon soka bunga merah, dan pohon gayam di sisi utara depan Siti Hinggil Kidul. Terdapat sepasang pohon beringin yang berada di tengah Alun-alun Kidul yang diberi nama Supit Urang, sedangkan sepasang pohon beringin di sisi luar alun-alun sisi selatan diberi nama Kiai Wok. Ada lagi satu beringin di sisi barat alun-alun di depan kandang gajah.

Saya gowes memutar arah jarum jam mengelilingi  Alun-alun Kidul melewati Plengkung Nirbaya atau Plengkung Gadhing dan menuju Jalan Gebayan (Jalan DI Panjaitan). Jalan yang semakin menurun ini menjadikan kaki tidak sering mengayuh. Dari Plengkung Nirbaya ke selatan sampai jarak 300m kiri dan kanan jalan banyak ditumbuhi pohon asam dan pohon tanjung. Selebihnya vegetasi lebih bervariasi dengan tanaman keras yang lain dengan lebih banyak memaksimalkan sebelah kanan jalan (sisi barat). Meskipun pada jarak tertentu pohon asam dan pohon tanjung masih terlihat.

Menurut Prof. Setyawan Pudyatmoko, keanekaragaman hayati kian terancam. Kehilangan spesies dan ekosistem dapat mengancam keseimbangan alam dan keberlangsungan manusia. Hal itu dia sampaikan dalam kegiatan Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia di Jakarta, 5 Desember 2024.

Menurut Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu, UU Nomor 32 Tahun 2024 (perubahan dari UU Nomor 5 Tahun 1990) Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah ditetapkan di Jakarta pada 7 Agustus 2024. Kegiatan konservasi dapat dilakukan melalui penguatan peran serta masyarakat, termasuk masyarakat adat. Lokus kegiatan dapat dilakukan pada areal preservasi di daerah perlindungan kearifan lokal. Yogyakarta dengan sumbu filosofinya sangat memungkinkan untuk pelestarian berbagai jenis pohon khas Yogyakarta tersebut. Pelestarian di sumbu filosofi ini akan menjadi kiblat bagi masyarakat dari seluruh penjuru di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk ikut menanam dan melestarikannya.

Pergub DIY Nomor 2 Tahun 2024 Tentang Pengelolaan Warisan Dunia Sumbu Filosofis Yogyakarta sudah ditandatangani pada 25 Januari 2024. Yang salah satu isinya adalah rencana pengelolaan warisan dunia sumbu filosofis bagian selatan pada poros Jalan Gebayan sampai Panggung Krapyak. Dilakukan dengan melindungi pohon asam dan pohon tanjung di sepanjang jalan ini serta penanaman pohon baru.

Kelestarian pohon-pohon khas keraton ini terus menurun karena saat ini masyarakat tidak banyak yang membudidayakan. Tingkat konsumsi masyarakat terhadap buah-buahan dari pohon tersebut rendah. Di sisi lain, Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata tentunya dibutuhkan fasilitas penunjang seperti hotel, penginapan, restoran, kafe, jalan, dan fasilitas lainnya. Hal ini turut andil dalam menurunkan kualitas habitat dan menggerus populasi pohon-pohon yang berstatus langka tersebut. Harapannya masyarakat bisa lebih mengenal jenis dan memahami makna yang terkandung dalam tanaman khas di lingkungan Keraton Yogyakarta ini. Dengan demikian, bersama pemerintah daerah dapat bersama-sama ikut melestarikan keanekaragaman hayati khas Yogyakarta.

Sampai akhirnya saya sampai di Panggung Krapyak sebagai tujuan akhir gowes pagi ini. Saya beristirahat di sebuah warung gudeg yang tidak jauh dari Panggung Krapyak. Saya menatap lurus ke arah utara. Cuaca yang cerah memanjakan mata dengan warna biru Gunung Merapi yang tinggi menjulang dengan gagahnya. Saya membayangkan, suatu ketika saya akan gowes melewati garis imajiner Pantai Laut Selatan -- Kompleks Keraton --. Lereng Gunung Merapi. Sebagai lambang keseimbangan hubungan manusia dengan alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun