Mohon tunggu...
Supriyadi
Supriyadi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis, Pendaki gunung, Relawan Small Action, Petani Hidroponik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Tentang Bapak

20 September 2024   09:20 Diperbarui: 20 September 2024   09:28 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu ketika saya masih kelas dua Madrasah Ibtidaiyah, ada buku pelajaran yang berisi bacaan tentang seorang anak yang begitu bahagia bisa bermain layang - layang buatan bapaknya. Dia bermain layang - layang dengan ditemani oleh bapaknya. Namun kebahagiaan itu sirna setahun berikutnya, karena si anak kecil itu tidak bisa lagi bermain layang - layang buatan bapaknya lantaran sang bapak telah berpulang menghadap Sang Pencipta.

Cerita sedih itu begitu membekas dan membuat saya takut kehilangan sosok Bapak. Dalam hati saya berdo'a semoga Bapak saya diberi umur panjang. Itu sedikit penggalan kisah yang selalu saya ingat ketika mengenang sosok Bapak yang sungguh hebat.

Bapak adalah orang biasa, seperti orang - orang kampung lainnya. Bapak bukan orang terkenal, juga bukan orang berpangkat, dan sudah pasti bukan orang yang kaya pula. Tapi di mata saya anak semata wayangnya, Bapak adalah sosok yang sangat membanggakan. Bapak memang tidak kaya harta, tapi Bapak berusaha keras agar bisa mendidik anaknya dengan baik.

Pada masa kecil saya tinggal dan besar di lingkungan masyarakat yang jauh dari nuansa agamis. Di ujung desa di pinggir kali Brantas terdapat sebuah komplek lokalisasi. Jalan kampung saya menjadi jalan penghubung menuju tempat lokalisasi tersebut. Pemandangan orang bermain judi, orang mabuk, dan wanita penjaja seks komersial lalu lalang naik dokar sudah menjadi menu pemandangan sehari -- hari bagi kami.

Namun di tengah kondisi sosial masyarakat demikian itu, Bapak menjadi salah satu pengecualian. Bapak yang berasal dari sebuah lingkungan dengan tradisi ilmu agama yang kuat tidak terpengaruh dengan kondisi tersebut. Bapak tetap rajin sholat di mushola dan mengaji di rumah. Sama sekali tidak ada keinginan Bapak untuk mencoba mengincipi minuman bir cap kuntul ketika ada acara tayuban.
Menurut cerita Emak, karena saking istiqomah nya Bapak menjalankan ibadahnya, sampai pernah beberapa orang mengolok - ngolok Bapak dengan sebutan nabi. Di saat yang lain asyik menenggak bir, Bapak tak pernah mau ketika ditawari, walaupun dengan alasan untuk 'kehormatan'. Bahkan pernah ada yang mencoba memaksa Bapak untuk minum. Tapi justru Paklik saya yang jago minum malah melindungi Bapak dan mengusir pergi orang yang memaksa tadi, " Kalau Kakangku ini jangan diberi minuman, awas kalau ada yang berani " hardik Paklik yang membuat gentar orang - orang disitu. Di kampung, Paklik termasuk orang yang disegani.
Masih menurut cerita emak, dulu waktu saya lahir banyak orang yang datang untuk 'jagong bayi' dan tentu saja dengan acara main kartu. Tapi, karena Bapak keberatan acara 'jagong bayi' digunakan untuk ajang judi kartu, akhirnya Paklik mengganti acara judi dengan lomba permainan kartu. Nanti yang menjadi juara akan mendapat hadiah kaos singlet.

Bagi teman bermain saya, berkata kotor 'misuh jan**k' itu sudah menjadi hal yang biasa. Karena mereka menirukan kata - kata orang dewasa yang sering mereka dengarkan sehari - hari. Tapi tidak untuk saya, Bapak melarang keras saya untuk ikut 'misuh jan**k' .

 "Ojo misuh le, ora ilok" kata Bapak. Untuk setiap hal yang tidak baik, bapak selalu mengatakan "Ora ilok" (tidak baik) untuk menasehati saya agar tidak melakukan hal tersebut.

Pernah pada suatu ketika selepas adzan maghrib berkumandang, saya bersama beberapa teman berjalan menyusuri jalan kecil di pinggir sungai menuju sebuah rumah di ujung kampung. Yang kami tuju itu adalah rumah pak Ustadz tempat anak - anak kampung belajar mengaji. Kami datang ke rumah pak Ustadz bukan untuk mengaji, tapi kami sengaja datang untuk mengganggu anak - anak yang sedang mengaji disana.

Kami berdiri di depan pintu yang terbuka. Segera kami mulai memanggil nama teman- teman yang sedang mengaji untuk diajak bermain. Dan kami segera berlari kabur saat mendengar suara keras pak ustadz dari dalam rumah " Jangan dihiraukan teriakan setan - setan yang di luar itu, ayo tetap fokus mengaji".

Dan ketika masuk usia sekolah, saya langsung didaftarkan di Sekolah Dasar oleh Bapak. Dan setelah menjadi siswa kelas 1 Sekolah Dasar, saya menjadi begitu ketakutan ketika disuruh membaca do'a wudlu oleh Pak guru Agama. Jelas saya tidak bisa membaca do'a karena saya tidak pernah mengaji. Karena saya adalah bagian dari kawanan anak kecil yang diteriaki setan oleh pak Ustadz. Dan saya tidak menyalahkan Bapak kenapa saya tidak bisa mengaji, padahal Bapak pandai mengaji. Mungkin Bapak punya pertimbangan sendiri.

Dan, titik balik perjalanan hidup saya berubah saat saya naik kelas dua SD. Waktu itu saya tidak tahu mengapa tiba -- tiba banyak orang berkumpul di rumah. Diantara kerabat bahkan ada yang menangis, dan Emak pun ikut menangis. Ternyata hari itu aku akan diajak pindah ke kota kelahiran Bapak. Menurut Bapak kami harus pindah karena nenek disana sedang sakit, sehingga Bapak dan Emak harus merawat nenek. Dan hari itu menjadi hari terakhir saya menginjakkan kaki di kampung halaman yang telah mewarnai kehidupan masa kecil saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun