Dulu ketika saya masih kelas dua Madrasah Ibtidaiyah, ada buku pelajaran yang berisi bacaan tentang seorang anak yang begitu bahagia bisa bermain layang - layang buatan bapaknya. Dia bermain layang - layang dengan ditemani oleh bapaknya. Namun kebahagiaan itu sirna setahun berikutnya, karena si anak kecil itu tidak bisa lagi bermain layang - layang buatan bapaknya lantaran sang bapak telah berpulang menghadap Sang Pencipta.
Cerita sedih itu begitu membekas dan membuat saya takut kehilangan sosok Bapak. Dalam hati saya berdo'a semoga Bapak saya diberi umur panjang. Itu sedikit penggalan kisah yang selalu saya ingat ketika mengenang sosok Bapak yang sungguh hebat.
Bapak adalah orang biasa, seperti orang - orang kampung lainnya. Bapak bukan orang terkenal, juga bukan orang berpangkat, dan sudah pasti bukan orang yang kaya pula. Tapi di mata saya anak semata wayangnya, Bapak adalah sosok yang sangat membanggakan. Bapak memang tidak kaya harta, tapi Bapak berusaha keras agar bisa mendidik anaknya dengan baik.
Pada masa kecil saya tinggal dan besar di lingkungan masyarakat yang jauh dari nuansa agamis. Di ujung desa di pinggir kali Brantas terdapat sebuah komplek lokalisasi. Jalan kampung saya menjadi jalan penghubung menuju tempat lokalisasi tersebut. Pemandangan orang bermain judi, orang mabuk, dan wanita penjaja seks komersial lalu lalang naik dokar sudah menjadi menu pemandangan sehari -- hari bagi kami.
Namun di tengah kondisi sosial masyarakat demikian itu, Bapak menjadi salah satu pengecualian. Bapak yang berasal dari sebuah lingkungan dengan tradisi ilmu agama yang kuat tidak terpengaruh dengan kondisi tersebut. Bapak tetap rajin sholat di mushola dan mengaji di rumah. Sama sekali tidak ada keinginan Bapak untuk mencoba mengincipi minuman bir cap kuntul ketika ada acara tayuban.
Menurut cerita Emak, karena saking istiqomah nya Bapak menjalankan ibadahnya, sampai pernah beberapa orang mengolok - ngolok Bapak dengan sebutan nabi. Di saat yang lain asyik menenggak bir, Bapak tak pernah mau ketika ditawari, walaupun dengan alasan untuk 'kehormatan'. Bahkan pernah ada yang mencoba memaksa Bapak untuk minum. Tapi justru Paklik saya yang jago minum malah melindungi Bapak dan mengusir pergi orang yang memaksa tadi, " Kalau Kakangku ini jangan diberi minuman, awas kalau ada yang berani " hardik Paklik yang membuat gentar orang - orang disitu. Di kampung, Paklik termasuk orang yang disegani.
Masih menurut cerita emak, dulu waktu saya lahir banyak orang yang datang untuk 'jagong bayi' dan tentu saja dengan acara main kartu. Tapi, karena Bapak keberatan acara 'jagong bayi' digunakan untuk ajang judi kartu, akhirnya Paklik mengganti acara judi dengan lomba permainan kartu. Nanti yang menjadi juara akan mendapat hadiah kaos singlet.
Bagi teman bermain saya, berkata kotor 'misuh jan**k' itu sudah menjadi hal yang biasa. Karena mereka menirukan kata - kata orang dewasa yang sering mereka dengarkan sehari - hari. Tapi tidak untuk saya, Bapak melarang keras saya untuk ikut 'misuh jan**k' .
 "Ojo misuh le, ora ilok" kata Bapak. Untuk setiap hal yang tidak baik, bapak selalu mengatakan "Ora ilok" (tidak baik) untuk menasehati saya agar tidak melakukan hal tersebut.
Pernah pada suatu ketika selepas adzan maghrib berkumandang, saya bersama beberapa teman berjalan menyusuri jalan kecil di pinggir sungai menuju sebuah rumah di ujung kampung. Yang kami tuju itu adalah rumah pak Ustadz tempat anak - anak kampung belajar mengaji. Kami datang ke rumah pak Ustadz bukan untuk mengaji, tapi kami sengaja datang untuk mengganggu anak - anak yang sedang mengaji disana.
Kami berdiri di depan pintu yang terbuka. Segera kami mulai memanggil nama teman- teman yang sedang mengaji untuk diajak bermain. Dan kami segera berlari kabur saat mendengar suara keras pak ustadz dari dalam rumah " Jangan dihiraukan teriakan setan - setan yang di luar itu, ayo tetap fokus mengaji".
Dan ketika masuk usia sekolah, saya langsung didaftarkan di Sekolah Dasar oleh Bapak. Dan setelah menjadi siswa kelas 1 Sekolah Dasar, saya menjadi begitu ketakutan ketika disuruh membaca do'a wudlu oleh Pak guru Agama. Jelas saya tidak bisa membaca do'a karena saya tidak pernah mengaji. Karena saya adalah bagian dari kawanan anak kecil yang diteriaki setan oleh pak Ustadz. Dan saya tidak menyalahkan Bapak kenapa saya tidak bisa mengaji, padahal Bapak pandai mengaji. Mungkin Bapak punya pertimbangan sendiri.
Dan, titik balik perjalanan hidup saya berubah saat saya naik kelas dua SD. Waktu itu saya tidak tahu mengapa tiba -- tiba banyak orang berkumpul di rumah. Diantara kerabat bahkan ada yang menangis, dan Emak pun ikut menangis. Ternyata hari itu aku akan diajak pindah ke kota kelahiran Bapak. Menurut Bapak kami harus pindah karena nenek disana sedang sakit, sehingga Bapak dan Emak harus merawat nenek. Dan hari itu menjadi hari terakhir saya menginjakkan kaki di kampung halaman yang telah mewarnai kehidupan masa kecil saya.
Ketika pertama kali tiba di rumah Bapak, jelas saya tidak kerasan. Saya kehilangan teman -- teman sepermainan. Kebiasaan di tempat baru ini sangat berbeda dengan kehidupan saya di kampung dulu. Disini setiap selesai maghrib, suasana malam menjadi sepi. Anak -- anak kecil tidak ada yang bermain, mereka semua pergi ke mushola untuk mengaji.
Bapak segera memasukkan saya ke Madrasah Ibtidaiyah, kata Bapak biar saya bisa belajar ilmu umum dan ilmu agama sekaligus kalau sekolah di madrasah. Tapi yang membuat saya 'ngambek' adalah saya harus kembali ke kelas satu lagi. Padahal saya sudah naik kelas dua di sekolah SD yang lama.
Di hari pertama masuk sekolah saya dihibur oleh bu guru wali kelas yang cantik dan sabar, " Nanti kalau kamu sudah bisa mengikuti pelajarannya, kamu bisa langsung naik ke kelas dua" begitu bujuknya. Saya hanya mengangguk. Dan ternyata saya baru tahu bahwa sekolah madrasah itu sulit karena saya harus belajar menulis arab. Di hari pertama saja saya tidak mampu menyelesaikan tugas menulis Bahasa Arab, sampai tidak istirahat. Saya berusaha keras untuk menyelesaikan tugas menulis huruf -- huruf arab yang asing tersebut dengan didampingi oleh bu guru yang sabar.
Bapak juga membawaku ke sebuah mushola di kampung sebelah. Disana Bapak menitipkan saya ke Pak Kyai Mustofa untuk belajar mengaji di mushola tersebut. Menurut Bapak, pak Kyai Mustofa itu orangnya sangat sabar, jadi saya tidak usah takut untuk belajar mengaji dengan beliau. Rupanya Bapak sudah mengatur semuanya untuk pendidikan saya.
Dan sekarang saya baru merasakan betapa berharganya bekal ilmu agama dan pengetahuan umum yang saya dapatkan. Semua itu berkat jasa Bapak yang telah mengajakku hijrah ke rumahnya dan memilihkan sekolah yang tepat dan juga guru mengaji yang sabar. Dan, sekarang hanya do'a dan surat Al fatehah yang bisa saya lantunkan untuk Bapak yang sekarang sudah berpulang menghadap Allah swt. Semoga engkau bahagia disamping Rabbmu Bapak tercinta.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H