Kemudian, dari data jumlah titik tanam tersebut kami membuat jadwal tanam secara berkelanjutan agar membentuk sebuah siklus rotasi tanam yang teratur. Merek bibit sayurnya pun dibuat sama. Nutrisi sayur yang dipakai juga sama semua. Tujuannya jika terjadi kendala dalam proses budidaya agar mudah penanganannya.
Selain menetapkan siklus pola tanam, hal terpenting lainnya adalah menetapkan kualitas sayur yang akan dijual ke konsumen.Â
Kriteria kualitas sayur yang sesuai dengan kebutuhan pasar antara lain, warna daunnya hijau segar, rasa tidak pahit, tidak bolting, dan akarnya putih bersih.
Oh ya, jenis sayur yang kami tanam pun hanya fokus pada salada keriting atau andewi. Bukan sayur yang lain. Tujuannya agar mudah mengatur siklus tanam. Dan juga lebih mudah untuk mencari pasar, karena banyak warung yang menu makanannya memakai selada keriting seperti gado-gado, tahu campur, lalapan, kebab, dll.
Waktu itu kami menargetkan kebutuhan pasar sayur sekitar 10 kg saja per minggu. Maka jumlah titik tanam yang diperlukan cukup 100 lobang saja.Â
Dengan asumsi 1 kg sayur salada berisi 10 titik dengan berat 100 gr per titik. Jadi siklus rotasi tanam tiap minggu adalah 100 titik tanam. Artinya setiap minggu harus bisa memanen 10 kg. Begitu juga dengan minggu-minggu berikutnya harus bisa kontinu panen.
Setiap petani menerima jadwal rotasi tanam dalam selembar kertas. Jadwal itu memuat tanggal semai, tanggal tanam, dan tanggal panen untuk setiap siklus tanam. Jadwal tersebut menjadi pegangan petani selama proses menanam hingga waktu panen dan menjual.
Di sisi lain kami pun mulai agresif menawarkan sayur kepada konsumen, tetangga, bakul, kawan kerja, warung, pokoknya siapapun yang kami jumpai pasti kami 'prospek' dengan menawarkan sayur hidroponik.
Dan, ternyata kenyataan tidak seindah harapan. Memasarkan sayur hidroponik sungguh tidak gampang. Tidak mudah meyakinkan orang lain untuk mau membeli sayur hidroponik yang harganya memang di atas harga sayur konvensional.
"Wah, kok mahal harganya?"