"Katanya mau melayat?" tegur sang istri.
"Sebentar!" jawab saya pendek.
Setelah menikmati beberapa potong singkong rebus dan satu cangkir minuman teh hangat, saya segera bersiap menuju Nipah-Nipah, sekitar enam kilometer dari rumah kami di Perumahan Penajam Indah Lestari, Kilometer satu setengah Penajam.
Sepeda motor butut kesayangan masih setia menemani perjalanan saya ke Nipah-Nipah. Rumah Bu Suharti cukup dekat dengan masjid Nipah-Nipah.Â
Saya melihat ada beberapa mobil terparkir di halaman masjid. Pada saat saya akan berbelok masuk ke masjid, ada empat orang sedang berdiri di halaman. Mereka cukup saya kenal.
Pak Marjani bersama dengan sang istri. Kemudian dua orang yang lain adalah pengawas SD dan pengawas SMP yang berdomisili di Kecamatan Babulu, Pak Imam Mudin dan Pak Tri Wahjoedi.
Setelah memarkir sepeda motor, saya pun bergabung dengan mereka, berdiri di halaman masjid. Â Pak Marjani menginformasikan bahwa jenazah sudah dibawa ke tempat pemakaman. Jadwal pemakanan dimajukan. Sebelumnya diinformasikan bahwa jenazah akan dimakamkan pada pukul sebelas.
Lokasi pemakaman kami belum tahu persis sehingga kami tidak menyusul ke sana. Di rumah kediaman Bu Suharti hanya ada beberapa ibu di sana.Â
Ketrucut. Begitu istilah yang saya gunakan. Kalau diartikan dalam bahasa Indonesia kurang lebih "ketinggalan". Jika saya berangkat lebih pagi ada kemungkinan bisa ikut menyalatkan dan ikut mengiringi jenazah ke pemakaman. Berhubung berangkat dari rumah sudah agak siang, mendekati pukul sepuluh pagi, saya tidak dapat mengikuti prosesi tersebut. Demikian pula Pak Marjani, Pak Imam Mudin, dan Pak Tri Wahjoedi.
Setelah beberapa saat kami berbincang di halaman masjid, ada pegawai lain yang baru datang untuk takziah. Pak Agus Dahlan, mantan siswa SMA Penajam yang sudah menjadi pejabat di kabupaten datang bersama seorang rekannya.
Selanjutnya, kami bertiga (saya, Pak Imam Mudin, dan Pak Tri Wahjoedi) bersepakat untuk menuju warung soto DPR ( Di bawah Pohon Rindang) yang berlokasi dekat kantor kemenag kabupaten.