Mohon tunggu...
Suprihadi SPd
Suprihadi SPd Mohon Tunggu... Penulis - Selalu ingin belajar banyak hal untuk dapat dijadikan tulisan yang bermanfaat.

Pendidikan SD hingga SMA di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Kuliah D3 IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang UNY) dilanjutkan ke Universitas Terbuka (S1). Bekerja sebagai guru SMA (1987-2004), Kepsek (2004-2017), Pengawas Sekolah jenjang SMP (2017- 2024), dan pensiun PNS sejak 1 Februari 2024.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Papa dan Mama Bukan Orang Tua Kandungku

26 April 2024   08:23 Diperbarui: 26 April 2024   08:23 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Papa dan Mama Bukan Orang Tua Kandungku

Aku berdiri di depan cermin. Ibuku muncul dalam bayangan cermin itu. Rupanya ia sudah masuk ke kamarku secara diam-diam. Pintu kamarku memang terbuka. Mengetahui hal seperti itu, aku tersenyum. Ibu pasti melihat senyumku.

"Engkau tidak marah, khan?" tanya ibu setelah tepat berada di belakangku.

Aku membalikkan badan perlahan. Ibu memegang kedua pundakku. Dengan penuh harap, ibu mengulangi pertanyaannya. Rasa iba perlahan menggelayut dalam kalbuku. Sejak dua hari yang lalu ibu meminta persetujuanku. Ibu ingin menikah lagi.

Sudah enam bulan ayahku meninggal dunia akibat kanker otak. Sebelum wafat, ayahku menjalani rawat jalan sekitar dua tahun. Aku adalah satu-satunya keturunan dari pasangan suami istri Dyah dan Alimuddin. Alasan ibu ingin menikah lagi adalah keinginannya untuk mempunyai keturunan lagi. Ibu selalu mengatakan bahwa tidak boleh terlalu lama menunda untuk menikah lagi karena masa produksi ada batasnya bagi seorang wanita.

"Jika ibu sudah mempertimbangkan baik-buruknya, aku tidak keberatan," ucapku lirih.

Dengan gerak refleks ibu memelukku erat-erat. Cukup lama ibu memeluk dengan mengguncang-guncang badanku. Beberapa saat aku merasakan kehangatan dan rasa kasih sayang yang begitu besar kepadaku.

"Terima kasih, Arbain!" terdengar pelan suara ibu di telinga kananku.

Setelah peristiwa pagi itu, perubahan demi perubahan terjadi dalam rumah kami. Ibu memperkenalkan calon suami barunya, kemudian aku diajak berkunjung ke rumah orang tua calon ayah tiriku, dan proses pernikahan yang berlangsung begitu sakral.

 Untuk membedakan penyebutan ayah kandung dan ayah tiri, aku lebih suka menyebut almarhum ayah kandungku dengan sebutan 'ayah' dan menyebut ayah tiriku dengan sebutan 'papa'. Ibu kandungku tidak keberatan dengan penyebutan itu.

Papa Gunarso lebih muda tiga tahun usianya daripada usia ibuku. Meskipun begitu, papa tampak cukup kebapakan. Dalam usia 34 tahun, papa sudah memimpin perusahaan multinasional. Pernikahannya dengan ibuku merupakan pernikahan yang pertama.

Kasak-kusuk yang sempat aku dengar, pernikahan itu merupakan pernikahan yang kurang tepat. Seorang perjaka seharusnya menikah dengan seorang gadis, bukan dengan seorang janda. Ada juga tersiar gosip bahwa ibuku menikah dengan papa Gunarso karena berniat mengeruk kekayaannya.

Semua informasi negatif cepat berhembus. Namun, kami bertiga tidak mau menanggapi info yang memojokkan ibuku. Papa Gunarso sangat bijak. Ia tidak pernah mau membahas info-info negatif itu. Ia selalu membimbing untuk kemajuan studiku. Sebagai siswa SMA kelas XII aku banyak menerima masukan dari papaku.

Aku merasa papaku adalah guru di rumah. Selalu saja ada info menarik untuk kelanjutan studiku. Beberapa alternatif diberikan kepadaku. Papa Gunarso tidak pernah bertanya tentang cita-citaku mau jadi apa. Info-info terkait perguruan tinggi saja yang selalu disodorkan.

Ibuku begitu senang melihat aku dan papaku sering terlibat dalam diskusi. Ibu tidak banyak ikut campur. Sebagai ibu rumah tangga, ibu fokus pada penyediaan fasiltas yang dibutuhkan oleh kami bertiga. Untuk urusan perut, ibuku paling jago  memasak. Setiap masakan yang dibuatnya selalu mengundang selera.

Kami tidak pernah meminta untuk dimasakkan ini atau itu. Ibu sudah pintar mengatur menu masakan. Jika cuaca sedang panas, ibu pasti berusaha membuat jenis masakan yang cocok dimakan pada cuaca seperti itu. Demikian pula sebaliknya. Jika sedang turun hujan, ibu akan membuat masakan yang mengundang selera untuk menghangatkan badan.

Papa Gunarso jarang keluar rumah. Sebagai pemimpin perusahaan, papa mempercayakan urusan-urusan bersifat teknis kepada para manajer. Papa memantau perkembangan perusahaan melalui laman website, surat elektronik, grup WA, dan media sosial yang lain. Sebulan sekali papa baru menghadiri rapat rutin perusahaan.

Keakraban kami bertiga sempat dicurigai oleh para tetangga. Mereka sering menyindir, kok bisa-bisanya aku cepat sekali melupakan ayah kandungku. Aku dituduh sebagai anak yang tidak berbakti kepada ayah kandung. Baik ibu maupun papaku tidak mau terlibat dalam pembicaraan seperti itu. Kami lebih fokus mempersiapkan untuk hari-hari yang akan dihadapi.

Enam bulan sejak ibuku menikah, kesehatannya menurun drastis. Kepada papa, ibu meminta untuk diizinkan mencari seorang asisten rumah tangga khusus untuk diajari memasak sesuai selera keluarga.

Papa sangat setuju. Dengan asisten rumah tangga khusus untuk mengurusi penyediaan makanan di dapur, ibu dapat lebih banyak beristirahat. Selama ini papa hanya setuju mempunyai dua asisten rumah tangga yang berstatus suami istri. Tujuannya sangat jelas, jika salah satu pasangan sakit, pasangan yang lain dapat menggantikan tugas-tugasnya. Gaji mereka pun tetap. Tidak dipotong.

Mbak Lilis begitu nama asisten rumah tangga yang berhasil disetujui ibu untuk membantu memasak di dapur. Aku melihat ia sangat cekatan, teliti, dan sangat memperhatikan kebersihan.

Sepekan, dua pekan, Mbak Lilis masih sering membuat kesalahan dalam mengolah makanan. Terkadang agak asin. Di hari lain terasa hambar. Kami selalu berdiskusi soal rasa masakan. Mbak Lilis sangat terbuka menerima kritik.

Tiga pekan kemudian, barulah lidah kami merasa cocok. Aku terkadang tidak dapat membedakan, masakan yang sedang dihidangkan buatan ibu atau mbak Lilis. Sering ibu membuat tebak-tebakan, makanan buatan siapa yang sedang dihidangkan. Aku dan papa selalu menyangka buatan ibu tetapi kenyataannya olahan mbak Lilis.

Jika tebakanku dan tebakan papaku salah, mbak Lilis langsung diberi bonus uang kontan seratus ribu rupiah oleh ibuku. Ungkapan rasa bahagia dari mbak Lilis sungguh mengagumkan. Kami dibuat berdecak kagum.

"Lima puluh persen hadiah dari ibu ini akan saya berikan kepada anak pemulung yang setiap hari lewat di depan rumah ini."

Ibu memeluk mbak Lilis setelah mengucapkan kalimat itu. Aku terharu, teringat harapan ibu untuk memiliki anak perempuan belum terwujud. Aku tidak melihat tanda-tanda ibu sedang mengandung. Justru aku melihat kondisi kesehatan ibu semakin menurun. Namun, aku tidak berani bertanya, penyakit apa yang sedang ibu derita.

Tiga bulan sejak ibu kuketahui mulai sakit-sakitan, Tuhan memanggilnya. Waktu itu aku sudah selesai mengikuti ujian sekolah. Begitu aku keluar dari halaman sekolah, papa sudah menunggu di mobilnya.

"Kita langsung pulang, ya. Rencana untuk makan kepiting di restoran ditunda dulu."

"Tapi, papa khan sudah janji, habis ujian hari terakhir, papa mau menemaniku makan kepiting," protesku waktu itu.

Papa tidak menjawab. Dia kemudikan mobilnya sangat pelan. Dalam perjalanan papa menyampaikan berita kematian ibuku dengan cara sangat menyentuh. Intinya, aku diminta mengikhlaskan sesuatu yang dicintai.

Aku sangat bersyukur mempunyai papa tiri yang begitu baik, penuh keteladanan dan banyak memberikan pandangan hidup yang membuat aku harus selalu ingin  bersama papa. Ingin selalu belajar kepadanya.

Usai urusan pendidikan di SMA, aku harus mempersiapkan diri untuk mengikuti tes atau ujian masuk ke perguruan tinggi. Papa selalu memberikan berbagai alternatif sehingga aku semakin tenang dalam meilih jurusan dan perguruan tinggi.

Kesedihanku ditinggal ibu tidak berlarut-larut. Untuk urusan makan di rumah, masakan mbak Lilis tidak jauh berbeda dengan masakan ibu soal rasanya. Aku baru sadar bahwa waktu itu ibuku sudah mempersiapkan mbak Lilis sebelum dipanggil yang Maha Kuasa. Menetes air mataku jika mengingat hal itu.

Pada sisi lain, papaku terkadang terlihat di pojok ruangan sedang duduk sendiri. Tidak sedang membaca. Tidak pula sedang menyaksikan siaran televisi. Suatu ketika aku beranikan diri untuk menyampaikan pendapatku.

"Papa harus menikah lagi!" tuturku dengan santun.

Ia menoleh perlahan. Tangannya memberi isyarat agar aku mendekat. Perlahan aku melangkah. Khawatir papa marah.

"Ibumu baru satu tahun meninggal. Pantaskah aku secepat itu akan mencari pengganti ibumu?" tanya papa terputus-putus kalimatnya.

"Aku tidak ingin papa selalu menyendiri. Papa harus ada yang menemani!"

Dua bulan sejak terjadi percakapan di malam itu, papaku menikah dengan seorang gadis yang usianya delapan tahun lebih muda daripada usia papa. Aku sangat gembira menyambut ibu tiri.

Selisih usianya denganku sekitar lima tahun. Cocoknya aku memanggil kakak kepadanya. Mbak Lilis ikut senang. Ia diberi tugas oleh papa untuk mengajari istri papa yang baru dalam urusan masak-memasak.

Seperti halnya papaku, mama baruku juga berlaku baik terhadapku. Ia termasuk wanita modern yang memahami perubahan status seseorang. Kondisiku yang yatim piatu membuatnya sangat sayang terhadapku.

Aku selalu diingatkan untuk berhati-hati dalam bergaul. Dunia kampus berbeda dengan dunia SMA. Memilih teman dan tempat nongkrong harus selektif. Tidak boleh sembarangan.

Kasak-kusuk tetangga terdengar lagi. Aku didorong-dorong untuk mengusir papa dan mama tiriku. Aku disuruh mandiri. Tidak baik katanya menikmati harta warisan orang tua kandung bercampur dengan harta orang tua tiri.

Segala kasak-kusuk tidak kutanggapi. Mama baruku yang tidak sengaja mendengar omongan seperti itu tidak mau ambil pusing. Urusan keluarga sendiri, kita yang menentukan sendiri. Asal sesuai syariat agama dan norma masyarakat, tidak perlu takut dengan omongan yang di luar jalur.

Satu setengah tahun sejak papaku menikah, seorang bayi perempuan dilahirkan. Hatiku sangat gembira. Cita-cita ibuku untuk memiliki anak perempuan di rumah ini telah terkabul. Meskipun itu tidak dilahirkan dari rahimnya. 

Tidak henti-hentinya aku mengucapkan syukur. Meleleh air mataku saat mendengar mamaku melahirkan anak perempuan. Papa terlihat sangat gembira.

Penajam, 25 Maret 2018

(diedit 26 April 2024)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun