Wajah ketiganya didekatkan ke muka Permadi. Mereka benar-benar terkejut. Namun Permadi terlihat tenang-tenang saja. Ia justru tersenyum dan berkata lagi.
"Kata kakek-nenek kita, lebih cepat lebih tepat."
Dengan badan lesu, ketiga adikku itu kembali duduk di sofa. Mereka sibuk dengan pikran masing-masing. Aku mendekati tempat duduk Permadi.
"Berikan kelonggaran waktu kepada mereka. Aku yakin ada hal lain yang harus didahulukan. Kita tidak dapat sepihak membuat keputusan. Saat inilah perlunya kita berkumpul untuk bermusyawarah membahas hal sampai sekecil-kecilnya."
Ucapanku terhenti karena ada seseorang yang muncul di ruang tempat kami bermusyawarah. Wajah orang itu sangat kami kenal. Namanya pun sering kami sebut-sebut dalam setiap pertemuan keluarga.
"O ... di sini rupanya," ucap Paman Yuda dengan sorot mata diarahkan kepada Permadi.
"Ada, apa, Paman?" tanya Permadi sambil berdiri kemudian berjalan mendekati Paman Yuda yang sering dijuluki Duryudana, tokoh jahat dari keluarga Korawa.
"Ada informasi penting buatmu. Langsung saja aku sampaikan di sini, ya. Tadi aku sudah ke rumahmu. Kata istri pertamamu, kamu ada di sini. Makanya, aku langsung ke sini," ucap Paman Yuda lagi.
"Pihak sponsor yang akan membiayai pesta pernikahanmu membatalkan diri. Artinya, kalian tidak punya sponsor lagi untuk acara pernikahanmu," tutur Paman Yuda dengan nada mengejek.
"Itu artinya, kamu harus memberikan mahar lagi untuk biaya acara pesta pernikahan nanti," ucap Paman Yuda bernada instruksi.
"Sebentar-sebentar, Paman," ucapku sambil meminta Paman Yuda untuk mengambil tempat duduk.