Sadewa mengangkat telunjuk jari tangan kanannya. Kami mengarahkan pandangan kepada adik kami yang terakhir itu. Mulutnya masih mengunyah singkong rebus. Setelah menelan, ia pun berbicara.
"Pendanaan dipikul bersama, saya setuju. Dari jumlah mahar yang diminta, jangan dibagi rata. Saya keberatan. Usul saya, ya, pakai persentase. Misalnya, untuk yang akan dapat istri baru menyetor 40 persen. Kemudian kak Yudi 30 persen, Kak Bima 15 persen, Kak Nakula 10 persen, dan sisanya saya 5 persen," Â ucap Sadewa sambil menyeringai.
Kami pun tertawa bersama. Soal hitung-menghitung, Sadewa adalah jagonya. Meskipun ia anak bontot, otaknya cukup cemerlang. Kami, kakak-kakaknya sering kalah dalam urusan yang matematis.
"Usul seperti itu bagus. Nanti disesuaikan dengan ketersediaan dana yang dimiliki masing-masing. Satu hal lagi, istri kita masing-masing harus diberi tahu hasil rapat pada malam hari ini," ucapku sambil memandangi adik-adikku satu per satu.
Tiba-tiba, Nakula berdiri. Aku, Bima, Permadi, dan Sadewa terperanjat. Belum satu menit aku selesai berbicara, Nakula dengan nada suara tinggi berbicara dengan memainkan telunjuknya. Telunjuk jari kanan itu dia gerak-gerakkan sambil menunjuk wajah Permadi.
"Kakak Permadi yang akan menikah, mengapa kita semua harus ikut susah? Kalau rencana itu kita penuhi, apakah tidak ada lagi permintaan dari pihak sana? Ingat, ya, dana itu hanya untuk membuka usaha, bukan untuk acara pesta pernikahan. Terus, biaya pernikahan dari mana?"
Permadi yang ditunjuk-tunjuk adiknya terlihat tenang. Sebelum menjawab, ia tersenyum terlebih dahulu. Untuk menunjukkan keseriusannya, ia pun berdiri.
"Ada pihak ketiga yang membiayai semua acara pesta pernikahan. Mulai dari pakaian pengantin, tempat acara, hidangan, dan hiburan, semua dari pihak ketiga atau sponsor."
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Demikian pula ketiga adikku yang lain. Dengan tenang Permadi melanjutkan penjelasannya.
"Pakain untuk kakak-kakak dan adik-adikku juga dari sponsor. Termasuk untuk kakak dan adik ipar. Kemudian untuk kemenakan-kemenakanku, nanti saya yang akan atur. Maksud saya, nanti biar diurus oleh istri pertamaku."
Aku segera bangkit. Agar pembicaraan tidak melebar ke mana-mana, aku harus mengarahkan fokus persoalan utama.