Mohon tunggu...
Supli EffendiRahim
Supli EffendiRahim Mohon Tunggu... Penulis - pemerhati lingkungan dan kesehatan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Orang biasa yang ingin jadi orang baik di mata Allah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Elegi Hilangnya Budaya "Berayak" di Bengkulu Selatan

10 September 2021   04:16 Diperbarui: 10 September 2021   04:20 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bismillah,

Elegi Hilangnya Kegiatan "Berayak" Ala Muda Mudi ini dinukilkan oleh Ruhiman Saan. Ruhim saat ini bermukim di Yogyakarta. Ruhim sejak lama meninggakkan tanah kelahirannya Lubuk Langkap.
----------------------------------

Berayak, kata yang tak asing di telinga masyarakat Kabupaten Bengkulu Selatan. Kata ini memiliki berbagai makna dan pengertiannya.

Seseorang yang bertamu ke rumah saudaranya yang berlainan desa--menginap atau pun sesaat--bisa disebut berayak. Seorang teman berlainan desa yang bertamu sebentar juga disebut berayak.

Namun di kalangan muda mudi tahun 1995 kebawah, berayak berbeda maknanya. Berayak justru adalah ajang pencarian jodoh.

Saat ini pengertian berayak lebih dekat pada istilah ngapel malam Minggu perjaka pada gadis. Sayangnya, berayak yang merupakan kegiatan di kalangan muda mudi itu, kini hanya kenangan tergerus kemajuan zaman.

Penulis yang merupakan kelahiran Dusun Lubuk Langkap, Desa Sukamaju, Air Nipis, Bengkulu Selatan 1991 silam, sedikit banyak memahami dan mengalami proses berayak kalangan muda mudi ini. 

Sebab berayak sudah dikenalkan pada muda mudi usia remaja (setingkat SMP). Sedangkan penulis sendiri sebelum merantau--penulis kini di Yogyakarta--tinggal di kampung halaman hingga menamatkan SMP.

Berayak, era penulis masih remaja merupakan sesuatu yang indah penuh eufora. Padahal penulis sebenarnya hanya mengenal berayak sebagai bersenang-senang belaka, bukanlah mencari jodoh. Berayak biasanya tidak hanya Sabtu malam, tapi lazim dilakukan Selasa malam dan Kamis malam.

Berayak menghadirkan keceriaan, meluaskan pergaulan, mendekatkan silaturahmi, dan bagi yang beruntung akan berjodoh menjadi suami istri.

Namun dibalik indahnya menjalani kegiatan berayak itu, perjuangan dan tantangannya sangatlah besar.

Era 90-an kebawah, pembangunan di seputaran Kecamatan Air Nipis masih jauh dari kata maju. Pembangunan masih sangat tertinggal. Jalan-jalan antar dusun kebanyakan jalan setapak. Itu pun banyak melewati sungai maupun anak sungai yang belum memiliki jembatan. Akibatnya hanya dapat dilalui pejalan kaki.

Begitu juga dengan jaringan PLN belum sampai ke kecamatan ini. Pada malam hari warga hanya mengandalkan lampu minyak tanah. Sementara penerangan saat keluar rumah mengandalkan senter baterai.

Kondisi alat transportasi juga belum banyak di kecamatan ini. Kendaraan roda dua merupakan barang langka saat itu--hanya orang-orang yang dianggap kaya mampu membelinya. Otomatis, semua transportasi kebanyakan ditempuh dengan berjalan kaki.

Dan hal ini, tentu berakibat pada sulitnya proses berayak yang dilakukan seorang pemuda. Kendati berayak adalah kegiatan yang indah, menyenangkan, sekaligus mencari jodoh, namun menghadirkan perjuangan yang begitu berat.

Sebagai contoh penulis mengingat ketika penulis usia kelas 2 SMP sering menemani Pamanda Ujang Marzuki berayak ke Dusun Pagargading, Kecamatan Air Nipis.

Penulis mengingat betul sekitar pukul 18.00, Pamanda Ujang sudah tiba di rumah penulis. Ibunda penulis--ibundaku kini sudah almarhum--pun bertanya. Mau kemana? Kami pun menjelaskan berayak ke Pagargading.

Kami berdua membawa senter. Tentu saja pakaian kami diberi parfum. Kami berjalan kaki menelusuri jalan setapak menuju Dusun Sukamaju sejauh satu setengah kilometer. Sebelum tiba di dusun ini, kami harus menyingsingkan celana kami karena akan melewati sungai Air Nipis.

Selanjutnya kami menelusuri jalan di Sukamaju sekitar satu setengah kilo meter. Di penghujung dusun ini, kami berbelok ke kanan menuju jalan setapak areal persawahan sejauh dua kilometer.

Lagi-lagi kami menyingsingkan celana kami karena akan melewati anak sungai. Setelah total dua setengah jam perjalanan dari dusunku, baru kami tiba ke Dusun Pagargading.

Waktu menunjukkan pukul 20.30. Tanpa menunggu lama, Pamanda Ujang langsung mengetuk pintu salah satu rumah. Ia pun seraya berkata halus beberapa kali, "Ibuuung, numpang berayak." Rumah yang diketuk Pamanda ini adalah rumah Niarti yang kini menjadi isterinya dan telah dikaruniai beberapa anak.

Setelah beberapa kali pintu diketuk, ibu dari Tante Niar ini membukan pintu. Kami pun dipersilahkan masuk. Selanjutnya karena saya masih anak-anak---saya hanya sebatas dijadikan Pamanda sebagai teman di perjalanan---saya diminat paman dan Tante tidur tiduran di dalam rumahnya. Sedangkan mereka berdua ngobrol yang entah saya pun tidak tahu pembicaraannya.

Bila saya tertidur, sekitar pukul 23:00 saya dibangunkan. Pamanda Ujang Marzuki pun mengajak saya pulang. Lagi-lagi kami berjalan kaki menuju dusun kami. Selama dua setengah jam perjalanan kami tempat. Sepanjang jalan kami bersenda gurau. Sesekali Pamanda bilang, "cantik apa tidak pacar paman?" Saya tentu saja mengiyakan.

Begitulah kisah susah, senang, nikmat dan sekaligus kenangan kegiatan berayak yang saya alami. Sudah tidak terhitung saya menemani pamanda berayak ke berbagai dusun, sebelum akhirnya Pamanda berjodoh dengan Tante Niar.

Namun seiring perkembangan zaman dan kemajuan pembangunan, kegiatan berayak ala muda mudi ini sudah tak ada lagi. Hal ini mengingat hampir semua jalan antar dusun sudah terhubung jalan aspal. Begitu juga dengan hampir setiap rumah di perkampungan memiliki sepeda motor.

Diluar itu, jaringan PLN sudah mencapai hampir seluruh dusun. Ditambah kemajuan teknologi komunikasi dan informasi seperti handphone android makin menenggelamkan kegiatan berayak ini.

Akhirnya, kata berayak di Bengkulu Selatan kini hanya kenangan; kenangan bagi generasi 1990-an kebawah. Kenangan nan indah penuh perjuangan.*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun