Setelah beberapa kali pintu diketuk, ibu dari Tante Niar ini membukan pintu. Kami pun dipersilahkan masuk. Selanjutnya karena saya masih anak-anak---saya hanya sebatas dijadikan Pamanda sebagai teman di perjalanan---saya diminat paman dan Tante tidur tiduran di dalam rumahnya. Sedangkan mereka berdua ngobrol yang entah saya pun tidak tahu pembicaraannya.
Bila saya tertidur, sekitar pukul 23:00 saya dibangunkan. Pamanda Ujang Marzuki pun mengajak saya pulang. Lagi-lagi kami berjalan kaki menuju dusun kami. Selama dua setengah jam perjalanan kami tempat. Sepanjang jalan kami bersenda gurau. Sesekali Pamanda bilang, "cantik apa tidak pacar paman?" Saya tentu saja mengiyakan.
Begitulah kisah susah, senang, nikmat dan sekaligus kenangan kegiatan berayak yang saya alami. Sudah tidak terhitung saya menemani pamanda berayak ke berbagai dusun, sebelum akhirnya Pamanda berjodoh dengan Tante Niar.
Namun seiring perkembangan zaman dan kemajuan pembangunan, kegiatan berayak ala muda mudi ini sudah tak ada lagi. Hal ini mengingat hampir semua jalan antar dusun sudah terhubung jalan aspal. Begitu juga dengan hampir setiap rumah di perkampungan memiliki sepeda motor.
Diluar itu, jaringan PLN sudah mencapai hampir seluruh dusun. Ditambah kemajuan teknologi komunikasi dan informasi seperti handphone android makin menenggelamkan kegiatan berayak ini.
Akhirnya, kata berayak di Bengkulu Selatan kini hanya kenangan; kenangan bagi generasi 1990-an kebawah. Kenangan nan indah penuh perjuangan.*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H