Namun dibalik indahnya menjalani kegiatan berayak itu, perjuangan dan tantangannya sangatlah besar.
Era 90-an kebawah, pembangunan di seputaran Kecamatan Air Nipis masih jauh dari kata maju. Pembangunan masih sangat tertinggal. Jalan-jalan antar dusun kebanyakan jalan setapak. Itu pun banyak melewati sungai maupun anak sungai yang belum memiliki jembatan. Akibatnya hanya dapat dilalui pejalan kaki.
Begitu juga dengan jaringan PLN belum sampai ke kecamatan ini. Pada malam hari warga hanya mengandalkan lampu minyak tanah. Sementara penerangan saat keluar rumah mengandalkan senter baterai.
Kondisi alat transportasi juga belum banyak di kecamatan ini. Kendaraan roda dua merupakan barang langka saat itu--hanya orang-orang yang dianggap kaya mampu membelinya. Otomatis, semua transportasi kebanyakan ditempuh dengan berjalan kaki.
Dan hal ini, tentu berakibat pada sulitnya proses berayak yang dilakukan seorang pemuda. Kendati berayak adalah kegiatan yang indah, menyenangkan, sekaligus mencari jodoh, namun menghadirkan perjuangan yang begitu berat.
Sebagai contoh penulis mengingat ketika penulis usia kelas 2 SMP sering menemani Pamanda Ujang Marzuki berayak ke Dusun Pagargading, Kecamatan Air Nipis.
Penulis mengingat betul sekitar pukul 18.00, Pamanda Ujang sudah tiba di rumah penulis. Ibunda penulis--ibundaku kini sudah almarhum--pun bertanya. Mau kemana? Kami pun menjelaskan berayak ke Pagargading.
Kami berdua membawa senter. Tentu saja pakaian kami diberi parfum. Kami berjalan kaki menelusuri jalan setapak menuju Dusun Sukamaju sejauh satu setengah kilometer. Sebelum tiba di dusun ini, kami harus menyingsingkan celana kami karena akan melewati sungai Air Nipis.
Selanjutnya kami menelusuri jalan di Sukamaju sekitar satu setengah kilo meter. Di penghujung dusun ini, kami berbelok ke kanan menuju jalan setapak areal persawahan sejauh dua kilometer.
Lagi-lagi kami menyingsingkan celana kami karena akan melewati anak sungai. Setelah total dua setengah jam perjalanan dari dusunku, baru kami tiba ke Dusun Pagargading.
Waktu menunjukkan pukul 20.30. Tanpa menunggu lama, Pamanda Ujang langsung mengetuk pintu salah satu rumah. Ia pun seraya berkata halus beberapa kali, "Ibuuung, numpang berayak." Rumah yang diketuk Pamanda ini adalah rumah Niarti yang kini menjadi isterinya dan telah dikaruniai beberapa anak.