Mengapa banyak sekolah kurang memerhatikan pentingnya kemitraan dengan Orangtua peserta didik? Semester pertama tahun pelajaran 2018/2019 sudah terlewati.Â
Peserta didik dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) di seantero Indonesiapun telah menerima rapor semester 1. Kini telah aktif kembali mengikuti proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) semester 2.
Sayangnya, kendati kini semester 2 telah dimulai, masih banyak orangtua peserta didik yang terkesan buta akan program akademik dan non-akademik putra-putriya di sekolah. Pasalnya, banyak sekolah yang mengawali tahun pelajaran tidak membuka kesempatan orangtua memahami tentang program sekolah seperti model Kunjungan Sekolah atau istilah kerennya ada sekolah yang menggunakan nama Open House (OH).
Program kunjungan sekolah/OH, bagi beberapa sekolah yang mengadakan di awal tahun pembelajaran, sangat membantu orangtua peserta didik dalam rangka berkolaborasi  membimbing putra-putrinya di rumah, karena mamahami arah program pendidikan akademik dan non-akademik dari sekolah. Ada signifikansi pembinaan pembelajaran dan karakter.
Lebih dari itu, program Kunjungan Sekolah/OH yang di dalamnya juga ada Kunjungan Kelas, Agendanya minimal, orangtua akan mengetahui dan mengenal sekolah, apa program akademik dan non-akademik, termasuk ekstrakurikulernya.
Apa keunggulannya, apa kekurangannya, bagaimana sarana prasarana yang dimiliki sekolah baik untuk kegiatan intra maupun ektrakurikuler, bagaimana profil lulusannya, bagaimana profil gurunya, bagaimana program pembinaan dan pelatihan kepemimpinannya, sekolah menjalin kerjasama dengan instasi/institusi apa saja, lulusannya banyak masuk sekolah lanjutan atau kuliah di mana, dan sebagainya.
Lalu saat orangtua masuk ke kunjungan kelas, orangtua akan mahami bagaimana kondisi kelas, orangtua, dan peserta didiknya, wali kelasnya (walas), program walasnya, program koordinator kelasnya, bagaimana kerjasama dan kekeluargaannya. Bagaiamana penanganan peserta didik yang kesulitan akademik, dan fasilitas apa saja yang disiapkan sekolah dan lain sebagainya. Sehingga, jalinan kerjasama antara sekolah dan orangtua memang menjadi sangat vital demi suksesnya proses pendidikan.
Kunjungan Sekolah/OH tidak ada peraturan
Bila kita telusuri, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Peremendikbud) menyoal Kunjungan Sekolah/OH memang belum ada. Maka, pantas saja bagi sekolah di seluruh Indonesia yang memiliki program Kunjungan Sekolah/OH di awal tahun pelajaran baru, pelaksanaannya pun tidak seragam. Masing-masing memiliki versi sendiri-sendiri.
Kendati demikian, bagi sekolah-sekolah yang telah melaksanakan program Kunjungan Sekolah/OH, minimal dapat menggaransi adanya kerjasama yang baik antara sekolah dan orangtua.Â
Hal ini sejalan dengan apa yang diserukan oleh Mendikbud di SMAN Torjun Sampang, Senin (12/2/2018) yang  mangajak agar semua pihak dapat menjaga kondisi belajar yang baik dan kondusif di sekolah. Karenanya sangat perlu penegasan penguatan Tripusat Pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat), dan memperbaiki hubungan antarpemangku kepentingan
Sementara bagi, sekolah yang tidak menyelenggarakan kegiatan Kujungan Sekolah/OH di awal tahun pelajaran, banyak orangtua merasa, menyekolahkan putra-putrinya seperti terjun bebas.Â
Tahun pelajaran baru dimulai. Peserta didik langsung mengikuti rutinitas KBM. Tahu-tahu nanti ada orangtua dipanggil sekolah karena anaknya nakal, anaknya tertinggal mengikuti pelajaran, hal ini jauh dari harapan Mendikbud tentang vitalnya penguatan Tripusat Pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat).
Untuk itu, agar Tripusat Pendidikan sesuai harapan Mendikbud dapat terwujud, Kunjungan Sekolah/OH di sekolah di setiap awal tahun pelajaran baru memang perlu dibakukan. Perlu dibuat Permen-nya, agar sekolah dapat seragam menjalankan kegiatan yang sangat vital menjadi pondasi pembelajaran untuk sekolah, orangtua, dan peserta didik.
Tanpa adanya Permen dan keseragaman acuan dari pemerintah, banyak sekolah yang memang sengaja mau menutupi dapurnya demi amannya proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang tidak perlu diketahui oleh orangtua.Â
Lalu sekolah yang nakal (semisal: di tingkat SMA), dalam rangka mencari nama, bekerjasama dengan lembaga bimbingan belajar demi peserta didiknya diterima di Perguruan Tinggi (PT) ternama, namun sejatinya, KBM di sekolah bersangkutan, guru hanya gemar memberi tugas peserta didik, sementara guru juga tidak mengajar di dalam kelas sibuk dengan kegiatan lain. Mengapa? Sebab orangtua tidak dapat ikut campur memantau KBM sekolah.
Buntutnya, kini kita dapati banyak lulusan PT, yang pada akhirnya tidak siap bersaing dalam kehidupan nyata, di bidang pekerjaan sesuai bidang pendidikannya/jurusannya, karena proses meraihnya di capai dengan instan/karbitan, yang dikejar hanya angka-angka.
Harus ada Kemitraan
Sedikitnya sekolah yang melakukan program Kunjungan Sekolah/OH, dibandingkan yang tidak menyelenggarakan kegiatan tersebut, cukup signifikan terhadap output (lulusan) peserta didik dari segi kemampuan akademik dan non-akademik. Banyak penelitian dan studi tentang dampak positif adanya program Kunjungan Sekolah/OH yang dilakukan sekolah sehingga melahirkan kemitraan orang tua dengan sekolah dalam mendukung keberhasilan siswa.
Ketika sekolah dan orangtua bekerja bersama, peserta didik memiliki kesempatan jauh lebih baik untuk tidak hanya sukses di sekolah tetapi juga sukses dalam kehidupan.Â
Di antara kunci dari kemitraan sekolah dan orang tua, seperti dikutip dari Sahabat Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu dengan membangun 3R: yakni Respect atau rasa hormat, Responsibility atau tanggung jawab, dan Relationship atau hubungan. Apa yang dimaksud 3R tersebut?
Pertama, respect atau rasa hormat. Sekolah menghormati dan mempercayai keberadaan orangtua. Sekolah mengakui bahwa keluarga berperan penting dalam memberikan wawasan dan informasi tentang apa yang dibutuhkan anak. Orangtua adalah mitra bagi sekolah dalam proses pengambilan keputusan sehingga sekolah perlu mengembangkan kebijakan pintu terbuka.Â
Maksudnya, sekolah menciptakan iklim yang menyambut orang tua dan mengungkapkan kepedulian terhadap kebutuhan mereka, yakni kebutuhan orang tua serta kebutuhan anak. Atas kesadaran sekolah bahwa orangtua memiliki keterbatasan, baik keterbatasan waktu, tenaga, pemikiran, dan sebagainya.Â
Untuk menjembatani keterbatasan itulah, sekolah memberikan akses layanan, dukungan, sumber daya dan pertemuan di waktu dan tempat yang berfungsi untuk mempertemukan orang tua dan sekolah. Inti dari rasa hormat ini, baik sekolah maupun orang tua benar-benar menginginkan yang terbaik untuk anak. Karenanya, sekolah dan orangtua bersedia berbagi tanggung jawab atas keberhasilan si anak.
Kedua, responsibility atau tanggungjawab. Sekolah maupun orang tuanya tidak saling menyalahkan apabila ada masalah dengan si anak dan juga sekolah. Sebaliknya, keduanya harus bertanggung jawab atas keberhasilan sekolah.Â
Dalam bahasa lain, seperti dikatakan Joyce Epsteen, direktur Pusat Sekolah Orangtua dan Kemitraan Komunitas di John Hopskins University, "Terciptanya sekolah yang ramah bagi orangtua dan rumah yang ramah bagi sekolah". Sekolah yang ramah orangtua adalah sekolah yang menyambut semua anak dan menghargai perbedaan mereka.Â
Sedangkan rumah yang ramah sekolah adalah rumah yang menegakkan kembali pendidikan yang sudah diterima anak di sekolah. Sekolah dan orangtua masing-masing memiliki tanggung jawab untuk tetap terhubung satu sama lain.Â
Jadi, Komunikasi harus teratur, terus-menerus, dua arah, termasuk umpan balik dan bermakna. Komunikasi yang perlu ditularkan adalah tujuan pembelajaran, ruang lingkup dan urutan kurikulum dan tentang tanggung jawab pekerjaan rumah.
Ketiga, relationship atau hubungan. Atas rasa hormat dan tanggung jawab, sekolah dan orangtua membuka pintu untuk apa yang disebut hubungan yang bermakna, atau hubungan yang membangun kepercayaan yang mendukung kemitraan berkualitas. Hubungan memelihara kemitraan yang sangat diperlukan untuk kemitraan untuk bertahan hidup dan untuk membantu anak-anak berhasil di sekolah.Â
Orangtua adalah guru pertama bagi anak-anak mereka. Mereka memiliki tanggung jawab untuk berinteraksi secara positif dengan anak-anak mereka, untuk membangun hubungan yang sehat, untuk melayani sebagai teladan peran mereka dan untuk memberikan bimbingan. Sebab, orangtua juga merupakan mitra dalam proses pendidikan.
Jadi, bila semua sekolah melaksanakan program semacam Kunjungan Kelas/OH di setiap awal tahun pelajaran baru, dan didukung oleh peraturan pemerintah, maka ketika sekolah dan orangtua bekerja bersama, peserta didik akan memiliki kesempatan jauh lebih baik untuk tidak hanya sukses di sekolah tetapi juga sukses dalam kehidupan. Orangtua dan peserta didik tidak buta tentang program sekolah dan sebagainya karena sejak awal sudah bermitra.
Yang pasti, bagi sekolah-sekolah yang telah melaksanakan program Kunjungan Sekolah/OH, menjadikan sekolah bersangkutan terus dinamis mengikuti perkembangan zaman dunia pendidikan dan menggaransi peserta didiknya lulus bukan hanya peroleh nilai akademis, namun mumpuni dalam kecerdasan non-akademis.Â
Berkarakter, attitude baik, dan santun dan berbudi pekerti luhur karena sekolah bermitra dengan orangtua. Bukan begitu Bapak Menteri? Penguatan Tripusat Pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat) akan terwujud. Amin. Bagi sekolah yang belum melakukan program Kunjungan Sekolah/OH, belum terlambat, mumpung baru awal semester 2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H