Pagi itu tepatnya hari Rabu tahun 2023, saya mempersiapkan diri untuk menghadiri agenda rapat yang diadakan sebagai laporan pertanggungjawab korporasi kepada shareholder. Pagi cerah memberikan aura positif dan mengharap setiap aktivitas hari ini menjadi lancar dengan bertabur hikmah yang menghiasi setiap langkah. Sudah jauh-jauh hari agenda tersebut dipersiapkan oleh para pemangku kepentingan.Â
Sebelum agenda hari ini, beberapa hari kebelakang kami melakuan pra kondisi agar pada saatnya nanti semua agenda berjalan dengan lancar. Saya merasa bangga bisa menghadiri acara tersebut.Â
Acara yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni dalam mengelola sebuah korporasi. Para pemimpin yang ditempa oleh pengalaman panjang dalam mengelola sebuah korporasi dengan strateginya, liku-liku operasional dan dinamika pengambilan kebijakan.Â
Tentu banyak risiko yang dipertimbangkan dalam mengambil sebuah kebijakan. Mungkin bagi sebagian orang keputusan tersebut begitu terlihat mudah. Meskipun kalau kita dalami lebih jauh, kebijakan tersebut sangat berisiko baik secara compliance, bisnis maupun keberlangsungan sebuah entitas.Â
Keberlangsungan entitas ini bukan hanya memperhitungkan aspek bisnis dan korporasi saja, tetapi memperhitungkan setiap pekerja yang memiliki keluarga. Artinya jika para pemimpin korporasi tersebut memikirkan satu pekerja, tentu secara tidak langsung memikirkan 2 manusia, 3 manusia, 4 manusia ataupun beberapa mahluk disekitar para pekerjanya. Maka benarlah bahwa saya menjadi terhormat berkumpul dengan para pemimpin, kolega dan rekan yang berada dikorporasi ini.
Pertemuan tersebut mulai jam 09.00 wib sesuai dengan undangan yang dikirim oleh Direksi sebagai pengelola korporasi. Saya datang lebih awal bersama dengan atasan saya sebagai pemegang kuasa karena top level ditempat saya bekerja, ada undangan yang lainnya.Â
Kami datang, mengisi daftar hadir dan dengan penuh ramah para penerima tamu mempersilakan kami ke ruang tunggu yang cukup nyaman sambil menunggu acara dimulai. Selang waktu menunggu, kami disuguhi kopi bertajuk mahluk air beserta camilannya.Â
Tak lama kemudian, datang Dewan Pengawas yang tak lain adalah pimpinan saya diwaktu yang berbeda dan entitas yang berbeda meskipun masih dalam satu naungan group yang sama. Ada yang menarik dalam pertemuan tersebut. Mungkin karena materi pertemuan yang resmi sudah sama-sama kita diskusikan beberapa waktu yang lampau, kami berdialog tentang manusia dan kemanusiaannya.Â
Sebuah dialog yang menurut saya, menjadikan pagi ini benar-benar menyegarkan, sesegar suasana pagi ini. Dialog yang mengalahkan aroma wangi khas kopi dan camilannya.Â
Dialog yang tidak berisi sama sekali tentang rutinitas pekerjaan yang cenderung datar karena mekanisme sudah tertata rapi, sistem informasi manajemen yang digital dan standar prosedur sudah mengalirkan tugas masing-masing fungsi hingga pencapaian target perusahaan sudah termitigasi dengan terukur.
Paling tidak ada yang menarik dalam dialog tersebut, seperti bagaimana membangun persepsi dalam melihat antara manusia yang satu dengan yang lain, seperti keadilan, penghakiman dan klaim kebenaran yang seolah-olah menjadi hak istimewah dari Tuhan.Â
Dialog tersebut seolah membukakan mata dan hati ini, bagaimana ruang-ruang kantor yang tersekat oleh bilik, kredensa, dan pilar-pilar beton mampu ditembus oleh dimensi manusia dalam melihat kemanusiaan dengan penuh kearifan. Seolah klaim kebenaran yang menjadi patokan dan dasar saya untuk melangkah dalam aktivitas dikantor runtuh seketika.Â
Dialog tersebut mengantarkan persepsi kepada saya bahwa manusia memang tak punya hak atas manusia lain. Hubungan antara manusia dengan manusia lain hanya bisa berjalan dengan baik melalui kontrak sosial yang bersifat hak dan kewajiban dalam lingkup yang terbatas.Â
Batas-batas yang dibangun untuk mengatur dan mengukur tujuan yang hendak dicapai oleh sekelompok manusia baik dalam bentuk perorangan, Commanditaire Vennootschap (CV), Perseroan Terbatas (PT).Â
Diluar batas-batas yang tercantum dalam perjanjian antara dua entitas atau kontrak sosial maka manusia harus dimanusiakan sebagaimana manusia dimuliakan oleh sang Pencipta.
Klaim kebenaran antara manusia selalu menghadirkan pertentangan yang tanpa akhir. Tak perlu contoh yang besar klaim kebenaran mampu menghadirkan konflik, seperti konflik yang terjadi di Rusia versus Ukraina, Palestina versus Israel, konflik di negara-negara Afrika.Â
Contoh Klaim kebenaran bisa dilihat secara sederhana dapat dilihat dari interaksi kita sehari-hari. Baik di lingkungan kantor, rumah atau dalam perjalanan kita menuju mall, pasar maupun media sosial yang marak berseliweran.Â
Kita bisa mengklaim atau memberikan persepsi salah atas perilaku manusia lain, memberikan penilaian jelek, buruk atas tingkah dan penampilan bahkan mempersangkakan tak baik atas pilihan langka yang diambil oleh orang lain.Â
Tentu hal tersebut sah-sah saja, jika saja reaksi atas aksi-aksi yang terjadi dilingkungan dapat dikelola oleh masing-masing individu dengan baik. Atau reaksi tersebut mampu disalurkan pada kanal yang tepat.Â
Jikapun tak mengetahui kanal atau saluran yang tetap reaksi yang arif dan bijak adalah dengan berdiam sembari memberikan doa agar lingkungan sekitar menjadi lebih baik.Â
Hal tersebut menjadi selemah-lemahnya reaksi yang paling bisa dilakukan agar konflik antara individu bisa diminimalisir. Tindakan tersebut menjadi arif karena saat ini persepsi begitu liar dan diumbar tak jelas ujungnya sehingga menimbulkan riak-riak kecil yang tak berarti.
Kalau bisa kita bayangkan bagaiamana fenomena saat ini begitu mudah digambarkan, dinarasikan dan dipublikasikan oleh siapa pun tak harus menjadi wartawan.Â
Melalui layar kaca telepon pintar mampu memberikan secuil informasi yang penuh dengan tafsir yang ditangkap oleh persepsi. Tentu bukan karena sebuah gambar atau tulisan maupun video tidak menjelaskan sebuah makna yang diwartakan atau narasi yang dibangun oleh pewarta belum mewakili fenomena yang disiarkan, tetapi gambar, narasi atau video yang ditampilkan dalam media sosial baik secara pribadi ataupun lembaga sering terlekatkan noise atau gangguan yang ditimbulkan oleh pewarta, penafsir, pemirsa ataupun pembaca.Â
Ada banyak faktor yang menyebabkan adanya perbedaan tasfir dalam setiap informasi, berita ataupun gambar yang disiarkan oleh para pewarta. Selain latar belakang budaya, pengetahuan dan Pendidikan sangat mempengaruhi tafsir yang disebabkan oleh perbedaan persepsi yang ditangkap.Â
Fenomena tersebutlah yang sangat dimungkinkan terjadi deviasi antara mata memandang, mata membaca, mata menonton dengan maksud yang ingin disampaikan oleh para penyebar berita, berita dan video. Oleh sebab itu, terkadang penampilan luar dari setiap ekspresi manusia menjadi subjektif.
Dalam diskusi tersebut dapatlah diambil kesimpulan yang menarik menurut saya, bahwa persepsi tak perlu menjadi rujukan sebuah kebenaran, kepastian dan bersifat final serta mengikat.Â
Persepsi yang muncul mungkin bisa menjadi cermin untuk bertindak lebih arif dan bijaksana bagi diri kita masing-masing. Sehingga persepsi yang muncul akibat pembacaan fenomena yang kita lihat sehari-hari bisa memberikan peningkatan pengetahuan yang beradab. Jika fenomena tersebut menurut kita buruk maka tak perlu ditiru, jika salah tak perlu kita contoh dan jika pun tak baik maka tak perlu menjadi panutan.Â
Dengan demikian setiap manusia dan lingkungan seisinya bisa saling memahami satu sama lain. Impact dari saling memahami tersebut mudah-mudah keteraturan sosial yang berbudaya dan beradab. sehingga jikapun fenomena dalam ruang sosial maupun media media sosial dan digital bergejolak bisa kita sikapi dengan biasa-biasa saja. Â
Adapun konflik yang terjadi bisa disalurkan melalui Lembaga yang sudah menjadi kesepakatan dalam kontrak sosial. Sudahkan kita saling memahami dan memahamkan atas fenomena sosial disekitar kitakah? Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H