Mohon tunggu...
Suparjono
Suparjono Mohon Tunggu... Administrasi - Penggiat Human Capital dan Stakeholder Relation

Human Capital dan Stakeholder Relation

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kemanusiaan Mempertemukan Majikan dengan Buruh

3 Mei 2023   17:05 Diperbarui: 3 Mei 2023   17:11 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hiruk pikuk pertarungan antar kelas merupakan sejarah panjang bagi peradaban hubungan industrial di dunia. Perebutan kelas yang selalu berakhir dengan ketegangan hubungan antara majikan dengan buruh menggambarkan seolah-olah ada yang tak beres dalam hubungan antara majikan dan buruh. Padahal keduanya saling membutuhkan dan saling memberikan kontribusi yang sepadan jikalaulah memang dikelola dengan adil. 

Majikan membutuhkan jasa buruh pun sebaliknya buruh membutuhkan pekerjaan untuk mendapatkan upah. Seyogyanya hubungan tersebut bisa sama-sama dipahami sebagai hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Sehingga, baik majikan maupun buruh bisa saling memahami satu sama lain. Tentu komunikasi antara majikan dan buruh perlu menjadi pertimbangan yang matang jika terjadi hal-hal yang tidak dipenuhinya hak dasar dari masing-masing pihak.

Memang agak sedikit utopis jika dalam pelaksanaannya antara majikan dan buruh saling memahami satu sama lain. Meskipun jika dilakukan dengan niat baik bukan hal yang tidak mungkin terjalin hubungan yang harmonis antara majikan dan buruh. Masalahnya adalah ketika hubungan antara majikan dan buruh dilandasi dengan semangat imperialism atau penjajahan, pemaksaan dan tindakan kesewenang-wenangan. 

Majikan merasa paling berkuasa atas segalanya sehingga melakukan buruh tidak sesuai dengan kondratnya sebagai manusia. Pun demikian dengan buruh, adakalanya ketidakmampuan dalam hal kemampuan yang dimiliki oleh buruh tetapi menuntut banyak hal yang setidak semestinya didapatkan. 

Para pihak ini tentu mempunyai argumen dalam mempertahankan posisinya baik sebagai majikan ataupun sebagai buruh. Ketertutupan komunikasi yang dibangun dari kegoisan para pihak inilah yang menyebabkan hubungan antara majikan dan buruh tak kunjung selesai dari abad 16 silam atau pada masa awal revolusi industri dan masa penjajahan diberbagai belahan dunia.

Sebagaimana halnya pertentangan atau pertarungan antara kelas atau antara kelompok yang satu dengan yang lain, tentu ada faktor-faktor yang belum bisa dikomunikasikan dengan baik antara satu pihak dengan pihak yang lainnya. Komunikasi yang berjalan kurang baik sedikit banyak menimbulkan pertentangan yang berkepanjangan. 

Pertentangan juga bisa terjadi karena adanya perebutan kuasa atas pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto pertentangan timbul karena adanya perbedaan antara individu dengan kelompok sosial. 

Perbedaan ini umumnya bisa disebabkan oleh pertentangan kepentingan dan perbedaan tujuan, dan menimbulkan ancaman dan kekerasan. Oleh sebab itu, para pihak perlu membangun komunikasi yang efektif dan saling tepo sliro agar pertentangan tersebut tereliminir.

Dalam konteks hubungan majikan dan buruh paling ada beberapa hal yang perlu dipahami oleh para pihak agar hubungan yang terjadi bisa berjalan dengan baik dan harmonis. Beberapa yang harus terpenuhi adalah Komitmen akan niat baik dalam menjalin hubungan, lingkup yang menjadi hak dan kewajiban para pihak serta penghargaan dan konsekuensi para pihak. 

Tiga hal tersebut menjadi modal dasar dalam menjalin hubungan antara majikan dan buruh. Tentu selain tiga hal tersebut ada hal-hal yang menjadi perhatian bagi para pihak yaitu regulasi yang berlaku di masing-masing lingkungan kerja.   

Komitmen akan niat baik dalam menjalin hubungan

Membangun hubungan antara satu dengan yang tentu diperlukan komitmen atau kesepakatan antara para pihak. Kesepakatan tersebut dibangun karena adanya kebutuhan atas para pihak. Tak terkecuali hubungan kerja antara majikan dan buruh dalam hal memberi pekerjaan dan menerima pekerjaan. 

Dalam konteks ini, kesepakatan dibangun oleh majikan yang membutuhkan pekerja untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan buruh yang membutuhkan pekerjaan untuk mendapatkan upah yang sepadan. 

Para pihak tentu perlu membuat komitmen untuk melakukan sesuatu yang dilandasi oleh niat baik. Majikan memberikan upah atas apa yang menjadi kewajibannya dan buruh mengerjakan tugasnya sampai selesai sesuai dengan komitmen yang telah disepakati dengan majikan sebagai pemberi kerja.

Jika komitmen tidak dilandasi dengan niat baik tentu akan berpotensi terjadi penyimpangan atas kesepakatan yang sudah dibuat oleh kedua belah pihak. Hal tersebut seringkali terjadi dalam implementasinya sehingga hubungan antara majikan dengan buruh menjadi kurang harmonis. Tentu banyak hal yang melandasi pengingkaran atas komitmen yang sudah dibangun dengan niat yang kurang baik. 

Bisa karena latar belakang para pihak yang dari awal tidak ada niat baik, atau salah satu dari para pihak yang kurang seimbang dalam membangun kesepakatan. Ketidakseimbangan dalam membuat kesepakatan seringkali dimanfaatkan oleh pihak yang lainnya untuk melakukan eksploitasi atas pihak-pihak yang lemah. 

Oleh sebab itu, niat baik menjadi sangat penting dalam menjalin hubungan dan membuat kesepakatan antara majikan dan buruh. Dengan niat baik tentu para pihak akan saling memahami kekurangan dan kelebihannya masing-masing sehingga jika terjadi dispute maka salah satunya akan menyadari dan segera memperbaikinya.      

Lingkup yang menjadi hak dan kewajiban para pihak

Niat baik yang melandasi setiap kesepakatan antara majikan dan buruh juga perlu diperjelas lagi dengan lingkup yang menjadi hak dan kewajiban para pihak. Para pihak perlu menjelaskan lingkup yang akan menjadi objek kesepakatan. Lingkup menjadi penting untuk melihat batasan yang menjadi hak dan kewajibannya. 

Seringkali karena batasan yang kurang jelas menjadi celah oleh para pihak untuk saling berkonfrontasi dalam mempertahankan argumennya. Konfrontasi tersebut merupakan bibit dari pertentangan antara majikan dan buruh yang seolah-olah berjalan secara terus menerus. Padahal kalau para pihak membuat lingkup yang menjadi hak dan kewajiban para pihak akan lebih mudah dalam mengatur interaksi antara majikan dan buruh.

Lingkup dalam kesepatan merupakan hal yang lumrah dalam membuat kesepakatan para pihak. Lagi-lagi perlu pembahasan lebih lanjut antara para pihak agar menemukan titik temunya. Jika para pihak tidak bersekapat maka tidak akan terjadi hubungan kerja antara majikan dan buruh. Dari sini kita bisa melihat apakah para pihak dalam posisi yang seimbang atau tidak. 

Jika majikan membutuhkan tenaga atau keterampilan dari buruh maka majikan mememenuhi apa yang menjadi haknya buruh. Apakah majikan dan buruh menerima kondisi kekurangan dan kelebihan para pihak atau bagaimana jika dalam perjalanannya para pihak tidak memenuhi hak dan kewajibannya?. Pertimbangan tersebut merupakan contoh antisipasi lingkup yang perlu dibahas secara detail agar para pihak saling mengetahui lingkup yang menjadi hak dan kewajibannya.    

Penghargaan dan konsekuensi para pihak

Kesepakatan yang dibuat tentu akan menimbulkan konsekuensi bagi para pihak. Majikan akan menerima jasa dari tenaga yang dikeluarkan oleh buruh, sebaliknya buruh akan mendapatkan upah dan benefit lainnya sesuai dengan kesepakatan. 

Upah dan benefit lainya seyogyanya bentuk penghargaan yang diberikan oleh majikan atas jerih payah yang telah dilakukan oleh buruh sebagai penerima pekerjaan. Besaran yang diberikan oleh majikan tentu sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak. 

Besar dan kecil sangat bergantung kepada kemampuan majikan membayar jasa para buruhnya. Biasaya konflik dan pertentangan banyak terjadi pada besar kecilnya upah dan benefit lainnya yang diberikan oleh majikan. 

Besaran upah tersebut memang sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal yang kemungkinan tidak bisa dikontrol oleh para buruh, seperti inflasi yang berefek pada kenaikan harga pokok. Kenaikan harga pokok yang lebih tinggi dari kenaikan upah yang diberikan oleh majikan seringkali menimbulkan pertentangan antara majikan dengan buruh.   

Sesungguhnya tak hanya inflasi saja yang mempengaruhi adanya pertentangan antara majikan dengan buruh yang berujung pada permintaan kenaikan upah, tetapi kesetaraan perlakukan kepada buruh oleh majikan. Sepertinya pembahasan diatas terkait lingkup hubungan kerja antara majikan dengan buruh. 

Seringkali majikan memperlakukan buruh diluar batas dan lingkup yang menjadi kesepakatan dengan dalih sementara, membantu dan lain sebagainya. Hal tersebut seringkali menjadi pemantik munculnya pertentangan antara majikan dengan buruh. Penghargaan atas kinerja buruh juga seringkali tidak diperhatikan oleh majikan. 

Padahal penghargaan merupakan bentuk pengakuan atas kemanusiaan yang diberikan oleh majikan kepada buruhnya. Sehingga upah bukan menjadi satu-satunya cara untuk membangun hubungan yang harmonis antara majikan dengan buruhnya. Meskipun komitmen yang paling penting bagi para buruh adalah kesepakatan antara majikan dan buruh adalah tenaga atau keahlian dibayar dengan upah.

Paparan diatas tentulah dapat kita elaborasi kembali lebih tajam jika kita semua pihak memahami hubungan antara majikan dengan buruh sebagai hubungan yang berbasis kemanusiaan. Tak ada regulasi yang mengalahkan nilai kemanusiaan dari setiap hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. 

Regulasi sangat bisa berat sebelah dalam implementasinya baik lebih condong kepada majikan maupun kepada buruh. Tetapi kalaulah setiap kita bisa melihat lebih dalam lagi, sebenarnya kita adalah mahluk sosial yang tidak bisa terhindar dari kesepakatan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. 

Hal senada disampaikan oleh John Locke dalam Two Treatises of Government, ia menganggap state of nature sebagai keadaan di mana manusia, meskipun bebas, setara, dan mandiri, berkewajiban menurut hukum alam untuk saling menghormati hak hidup, kebebasan, dan hak milik.

Penghormatan antara manusia yang satu dengan yang lain seharusnya menjadi dasar bagi hubungan antara majikan dengan buruh. Dengan demikian hubungan industrial yang harmonis tidaklah dijadikan komoditas politik. Sangat disayangkan kalau para pihak baik majikan dan buruh saling mementingkan dirinya masing-masing. 

Majikan merasa paling berkuasa dan buruh merasa paling termarginalkan. Meskipun dalam sejarah panjang hubungan industrial majikan (Kapitalis) selalu mengekploitasi para buruh. Mungkinkan majikan (kapitalis) memanusiakan buruh dan sebaliknya buruh memanusiakan majikan?. Semoga disuatu saat bisa terwujud!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun