Mohon tunggu...
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung Mohon Tunggu... -

Sunan Gunung Djati adalah Harian Online Blogger Sunan Gunung Djati. Semula berawal dari Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung yang terbentuk pada tanggal 27 Desember 2007. Sejak 9 Februari 2009 dapat mengudara di Jagat Internet. Staff Redaksi: Pimpinan Umum: Ibn Ghifarie| Pimpinan Redaksi: Sukron Abdilah| Pengelola dan Keamanan Website: Badru Tamam Mifka, Zarin Givarian, Ahmad Mikail| Desain: Nur Azis| Kontributor Tetap: Pepih Nugraha (Senin-Ngeblog), Neng Hannah (Selasa-Gender), Bambang Q Anees (Rabu-Filsafat), Asep Salahudin (Kamis-Kesundaan), Afif Muhammad (Jumat-Teologi), ASM Romli (Sabtu-Media) Tim Susur Facebook: Cecep Hasanuddin, Reza Sukma Nugraha Tim Susur Blog: Amin R Iskandar, Jajang Badruzaman, Dasam Syamsudin, Dudi Rustandi. Seputar Redaksi: redaksi@sunangunungdjati.com Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya! Selengkapnya klik www.sunangunungdjati.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pemukulan Atas Nama Agama: Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga

6 April 2010   08:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:57 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Qawwamun” ditafsirkan oleh sejumlah ahli tafsir terkenal seperti Zamakhsyari, Alusi dan Sa’id Hawa yang sepakat mengartikannya dengan“memimpin” atau ”menguasai”. Menurut penafsiran Zamakhsyari kaum laki-laki berfungsi sebagai yang memerintah dan melarang kaum perempuan sebagaimana pemimpin berfungsi terhadap rakyatnya. Jadi pengertiannya laki-laki boleh menguasai perempuan baik dalam kehidupan rumah tangga maupun public.

Berikutnya kata “nusyuz”. Hampir semua ulama mengartikan kata ini denga ketidakpatuhan istri terhadap suami. Tafsir Ibn Katsir memaknai kata Nusyuz dengan : istri melawan, membangkang dan meninggalkan rumah tanpa izin. Al-Thabari mengartikan nusyuz sebagai perlawanan istri terhadap suami, menolak hubungan badan yang dianggap sebagai ekspresi ketidakpatuhan, kebencian dan penentangan.

Berbeda dengan kedua mufasir ini, Sayyid Quthub, penafsir kontemporer, mengartikan nusyuz dengan keadaan kacau diantara pasangan suami istri yang menyebabkan ketidakharmonisan. Lebih jauh dalam tafsirnya Fi al-Zhilal al-Qur’an Menjelaskan : laki-laki dan perempuan keduanya adalah makhluk Allah, dan Allah tidak pernah bermaksud menindas siapa pun dari makhluknya. Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama anggota dari institusi masyarakat yang terpenting yakni, keluarga.

Selanjutnya kata dharaba dalam wadhribuhunna umumnya diartikan dengan harfiah, yaitu memukul secara fisik. Tidak heran kalau ayat ini dipakai sebagai pembenaran pemukulan terhadap istri. Sebagai implikasi dari pemahaman ini, kalau terhadap istri saja sebagai orang terdekat dari suami boleh dipukul apalagi orang lain. Dengan pemahaman tersebut kekerasan terhadap perempuan absah secara teologis.

Pertanyaan timbul kenapa kebanyakan mufasir memilih arti memukul secara fisik pada kata dharaba pada ayat tersebut?. Padahal kata itu dijumpai sebanyak 58 kali dalam 28 surah. Pada ayat-ayat tersebut kata dharaba diartikan dengan “memberi”contoh”, “mendidik”, “membuat”, “memukul”, “membunuh”, “memotong” “menjelaskan”, “meliputi”, “bepergian”. Mengapa mufasir jatuh pada makna memukul bukan pada makna lain?

Interpretasi mayoritas ulama di atas, tidak disepakati oleh bebarapa penafsir seperi Syaikh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Sayyid Quthub, Wahbah al-Zuhaili. Menurut mereka, “qawwamun” lebih cenderung dan lebih tepat diartikan “melindungi” dan “mengarahkan”. Ali Ashgar Engginner, mengusulkan dalam memahami qawwamun difahami sebagai keadaan struktur dan norma sosial masyarakat pada saat itu bukan suatu norma ajaran. Ayat tersebut menjelaskan bahwa saat itu laki-laki adalah manajer rumah tangga, dan bukan pernyatan kaum laki-laki harus menguasai, memimpin. Dalam sejarah Islam keadan kaum perempuan berubah seiring dengan makin berkembangnya konsep hak kaum perempuan. Pada saat ayat itu diwahyukan memang belum ada kesadaran akan hal itu. Kata qawwam dari masa ke masa dipahami selalu berbeda. Dahulu atas dasar ayat tersebut perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki dan implikasinya seperti zaman feodal bahwa perempuan harus mengabdi kepada laki-laki sebagai bagian dari tugasnya yang tak bisa ditawar dan dilabeli dengan kata kodrat.

Amina Wadud muhsin, penulis masalah-masalah perempuan dalam Islam mengukuhkan pandangan terakhir ini. Menurutnya, pernyataan “laki-laki qawwamun atas perempuan “tidaklah dimaksudkan bahwa superioritas itu melekat secara otomatis pada setiap laki-laki, melainkan hanya bersifat fungsional. Yakni selam ayang bersangkutan memenuhi kriteria al-Quran dalam hal memiliki kelebihan dan memberi nafkah. Ayat tersebut tidak menyebutkan semua laki-laki yang secara otomatis superior atas perempuan. Di sana hanya dikatakan bahwa, “laki-laki tertentu saja yang menjadi qawwamun terhadap erempuan tertentu”. Dan ayat ini menunjukan dengan jelas bahw relasi yang ada adalah relasi suami istri dalam rumah tangga dan tidak berlaku bagi relasi perempuan dan laki-laki di ruang publik.

Kata dharaba menurut Abduh, yang dimaksud bukan makna harfiahnya yang berkonotasi penganiayaan atau kekerasan fisik. Melainkan dalam makna metaforisnya, yakni mendidik atau memberi pelajaran. Perlu digaris bawah, meski ada sejumlah ulama dan ahli tafsir yang mengartikan kata memukul dalam pengertian fisik, hal itu hanya dibolehkan dalam kondisi darurat. Sama sekali tidak diartikan anjuran apalagi kewajiban. Untuk ada beberapa ketentuan yang harus diperhatkan suami. Diantaranya batasan-batasannya diizinannya Suami memukul istri antara lain:

1. Syeihk Rasyid Ridha; pemukulan suami terhadap istri merupakan tindakan terakhir yang boleh dilakukan dengan tidak mubarrih (melukai/menyakiti) 2. Al hijazi; pemukulan hanya boleh dilakukan kepada perempuan yang durhaka (luar biasa bandel) yang tidak bisa diperbaiki kecuali dengan pukulan. 3. Ali al-Shahbuni; pemukulan di lakukan kepada perempuan yang berbuat maksiat dan tidak taat pada suami, angkuh dan pongah.

Dengan memperhatikan ketentuan atau syarat-syarat seperti ini, para ulama sebenarnya lebih memilih untuk menghindari pemukulan.

Penutup KDRT yang dilakukan suami terhadap istri merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan misi Islam yaitu rahmatan lil alamin. Bahkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Katsum binti Al-Shiddiq (putri Nabi Saw). Dinyatakan bahwa: “Suami itu dilarang memukul istrinya” (HR. Baihaqi). Secara lebih tegas lagi Nabi Saw. Menjelaskan bahwa: ”Yang terbaik di antara kamu adalah mereka yang paling baik perlakuan dan sikapnya terhadap keluarganya.”(HR. al-Tirmidzi).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun