Lebih parah lagi, ketika anaknya meminta makan, ia tidak tahu dari mana. Namun ia ingat, bahwasanya didaerah tersebut bilamana mahasiswa makan, jarang yang habis dan selalu di buang di tempat sampah. Jadi, selama mereka hidup di tempat tersebut, mereka makan dari sisa-sisa makanan orang lain, dan harus memungut dari setiap sampah yang ada.
Dia berpikir tidak selamanya harus begitu, mungkinkah ini suatu jalan, jalan untuk mengujiku, sejauh mana keimananku. Sebab, ketika dia menjadi seorang pastur, ia mempunyai penghasilan yang cukup lumayan. Ia mendapat penghasilan sekitar 8 juta perbulan, akan tetapi dengan penghasilan seperti itu seolah-olah begitu hampa. Jadi Ia menganggap ini adalah suatu cobaan bagi dirinya, sejauh mana kuat aku menahan ujian ini.
Dengan bermodal sepuluh ribu rupiah, ia mencoba memberanikan diri untuk pergi ke daerah lain. Dalam hatinya, semoga ada kontrakan yang bisa disewa dengan uang sebesar itu. Dan tidak disangka ia mendapatkannya, walaupun tempat yang ia dapatkan adalah sebuah kandang ayam. Akan tetapi dia mengaggap itu semua sudah cukup daripada harus mengemis di pinggir jalan.
Dia senantiasa berdoa kepada Tuhan agar dia diberikan kekuatan dan jalan supaya kuat menjalaninya. Tiba-tiba ada seorang yang baik hati datang menghampirinya, ia adalah seorang keturunan Tionghoa yang tiba-tiba saja berterimakasih kepadanya dan memberinya uang yang cukup besar. Dengan uang tersebut ia dapat membeli sebuah tanah berukuran kecil. Sisanya ia bagikan ke tetangga sekitarnya. [RIDWAN email rid_adiningrat@yahoo.co.id]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H