Mohon tunggu...
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung Mohon Tunggu... -

Sunan Gunung Djati adalah Harian Online Blogger Sunan Gunung Djati. Semula berawal dari Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung yang terbentuk pada tanggal 27 Desember 2007. Sejak 9 Februari 2009 dapat mengudara di Jagat Internet. Staff Redaksi: Pimpinan Umum: Ibn Ghifarie| Pimpinan Redaksi: Sukron Abdilah| Pengelola dan Keamanan Website: Badru Tamam Mifka, Zarin Givarian, Ahmad Mikail| Desain: Nur Azis| Kontributor Tetap: Pepih Nugraha (Senin-Ngeblog), Neng Hannah (Selasa-Gender), Bambang Q Anees (Rabu-Filsafat), Asep Salahudin (Kamis-Kesundaan), Afif Muhammad (Jumat-Teologi), ASM Romli (Sabtu-Media) Tim Susur Facebook: Cecep Hasanuddin, Reza Sukma Nugraha Tim Susur Blog: Amin R Iskandar, Jajang Badruzaman, Dasam Syamsudin, Dudi Rustandi. Seputar Redaksi: redaksi@sunangunungdjati.com Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya! Selengkapnya klik www.sunangunungdjati.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kisah Seorang Pastur Masuk Islam

6 Februari 2010   12:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:03 6442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sunan Gunung Djati-Hidayah tak akan dapat di elakkan kedatangannya, jika Tuhan memang menghendakinya. Hal ini terjadi ketika saya mendengar seorang yang tiba-tiba datang di warung kopi, yang seolah-olah percaya begitu saja ia menceritakan bagaimana dia menjadi seorang mualaf.

Dengan santai ia berbicara sambil meminum secangkir kopi, dan terselip sebatang rokok di tangan yang sedang menyala.

Perjalanannya dimulai ketika dia mendengar umat islam tengah mengumandangkan takbir, pada saat jelang hari raya iedul fitri. Ia seolah-olah menyepelekan, bahwasanya kasihan sekali orang islam mesti harus berteriak-teriak sepanjang malam hanya dengan mengumandangkan kalimat yang itu-itu saja. Akan tetapi  setelah dia berkata seperti itu, tiba-tiba dia mendengar suara dengungan yang begitu kencang dan kuat sehingga ia terasa terguncang. Semakin lama dia merasakannya semakin kuat juga pengaruh suara tersebut, sehingga merasuk ke dalam hatinya.

Dapat di ibaratkan ketika dia berada dalam satu lonceng besar, yang tengah di pukul. Dengan kejadian itu dia berniat dalam hatinya, “Tuhan Yesus, jikalau benar ini adalah suaraMu, maka hentikanlah suara ini,….aku tidak kuat menahannya, dan jika ini adalah kehendakMu…maka dengan berhentinya suara ini, maka aku akan masuk islam”.

Setelah ada niatan tersebut, tiba-tiba suara itu dengan perlahan mulai menghilang dan hati menjadi lebih tenang. Kejadian itu menjadi bahan perenungan yang dalam sekaligus akan menjadi suatu tantangan berat bagi dirinya, sebab dia akan dihadapkan oleh berbagai halangan-halangan yang juga berat.  Lalu, dia menghentikan terlebih dahulu ceritanya dengan menceritakan latar belakang dirinya adalah seorang pastur, bahkan ia berterus terang ia adalah seorang misionaris. Sebuah polemik yang begitu besar, dimana satu sisi ia adalah seorang misionaris yang betugas untuk mengajak orang muslim untuk masuk kedalam ajaran kristiani. Akan tetapi ia sendiri, kini tergugah untuk memasuki agama islam sebagai ajarannya.

Kemudian, ia menceritakan kepada keluarganya bahwasanya ia akan masuk Islam. Sang istri dan anak-anaknya menganggap bahwa dia sudah gila, dan bertanya kenapa ayah mempunyai pikiran seperti itu. Maka dengan sudah terbukanya dia akan masuk islam, maka ia dijauhi oleh keluarganya dan berlangsung selama 6 bulan. Akan tetapi dia tidak menceritakan, bagaimana proses kejadian selama enam bulan tersebut. Sebab, katanya pihak gereja pun sudah mengetahui akan konversi dirinya.

Tidak lama berselang, setelah enam bulan tersebut sang istripun mengikuti jejak sang suami untuk berpindah agama. Dia  terus bercerita, dengan diselingi meminum kopi hangatnya yang diikuti dengan hisapan rokok yang begitu dalam.

Singkat cerita, seluruh keluarganya mulai keluar dari lingkungan gereja, ataupun secara kasarnya mereka telah terusir dari kehidupan gereja. Ada satu kebingungan pada dirinya bagaimana caranya dia untuk masuk islam, lalu dia berpikir untuk mencari sebuah kantor urusan agama. Dan tidak disangka jalannya begitu mudah, hal ini terjadi ketika  ia naik sebuah kendaraan umum dan bertemu seseorang. Lalu bertanya kepadanya, “maaf, mau bertanya, KUA di wilayah sini ada dimana?”. Orang tersebut menjawab, “kebetulan Pak, saya sendiri adalah petugas dari KUA, ……ada apa? ada yang bisa saya bantu….? mau cerai…?”.

“ga pak, saya tidak mau cerai, akan tetapi bila saya menceritakan keinginan saya, alangkah baiknya bila kita bicaranya di kantor bapak saja…”

Setelah seluruh keluarganya telah sah masuk islam, ia tidak tahu lagi dimana mereka akan tinggal. Ia menceritakan bagaimana senang bercampur sedih sekaligus malu, bagaimana tidak dengan membawa seluruh pakaian yang masuk dalam beberapa tas, kami sekeluarga berdiri dipinggir jalan, tanpa tidak tahu apa dan mau kemana.

Ia mencoba untuk datang kepada Ayahnya, yang memang ternyata masih seorang Pastur. Akan tetapi, kembali ujian datang kepadanya tatkala ayahnya memperolok-olok dirinya dan juga tidak menerima anaknya. Ketika malam tiba, ia mencoba untuk berteduh dari bumi yang telah menjadi rumahnya dengan menemukan sebuah meja tempat orang untuk berjualan ketika pagi dan siang hari. Bayangkan, katanya, pada malam hari ia dapat tidur di tempat tersebut dan ketika hujan datang atap bocor, dan pada siang hari ia mesti keluar dari sana, karena meja tersebut dipakai yang punya untuk berjualan.

Lebih parah lagi, ketika anaknya meminta makan, ia tidak tahu dari mana. Namun ia ingat, bahwasanya didaerah tersebut bilamana mahasiswa makan, jarang yang habis dan selalu di buang di tempat sampah. Jadi, selama mereka hidup di tempat tersebut, mereka makan dari sisa-sisa makanan orang lain, dan harus memungut dari setiap sampah yang ada.

Dia berpikir tidak selamanya harus begitu, mungkinkah ini suatu jalan, jalan untuk mengujiku, sejauh mana keimananku. Sebab, ketika dia menjadi seorang pastur, ia mempunyai penghasilan yang cukup lumayan. Ia mendapat penghasilan sekitar 8 juta perbulan, akan tetapi dengan penghasilan seperti itu seolah-olah begitu hampa. Jadi Ia menganggap ini adalah suatu cobaan bagi dirinya, sejauh mana kuat aku menahan ujian ini.

Dengan bermodal sepuluh ribu rupiah, ia mencoba memberanikan diri untuk pergi ke daerah lain. Dalam hatinya, semoga ada kontrakan yang bisa disewa dengan uang sebesar itu. Dan tidak disangka ia mendapatkannya, walaupun tempat yang ia dapatkan adalah sebuah kandang ayam. Akan tetapi dia mengaggap itu semua sudah cukup daripada harus mengemis di pinggir jalan.

Dia senantiasa berdoa kepada Tuhan agar dia diberikan kekuatan dan jalan supaya kuat menjalaninya. Tiba-tiba ada seorang yang baik hati datang menghampirinya, ia adalah seorang keturunan Tionghoa yang tiba-tiba saja berterimakasih kepadanya dan memberinya uang yang cukup besar. Dengan uang tersebut ia dapat membeli sebuah tanah berukuran kecil. Sisanya ia bagikan ke tetangga sekitarnya. [RIDWAN email rid_adiningrat@yahoo.co.id]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun