Orang bisa melakukan “kebodohan-moral” dengan agama. Orang bisa penuh dengki, kebencian dan melakukan kekerasan atas nama agama. Orang bisa lebih sekuler karena berlebihan mengekspresikan agamanya. Orang bisa lebih sombong ketimbang athesime ketika ia merasa bahwa agamanya paling suci dan penganut agama lain salah kaprah. Orang bisa jadi penindas atas nama agama, dan seterusnya…
Setumpuk ironi itulah yang coba direkam oleh kegelisahan Ibn Ghifarie dalam kumpulan catatan hariannya ini. Kegelisahan yang ingin mengatakan pada kita bahwa refleksi kritis terhadap sikap keberagamaan kita mesti selalu berdenyut hidup, terus memberi kritik pada agama dalam kapasitasnya sebagai doktrin yang berada dalam sejarah dan menyejarah.
Tak henti mengupas doktrin-doktrin keagamaan secara kritis agar agama tidak lagi dipahami sebagai dokumen teologis belaka. Tetapi menyangkut juga kompleksitas problem kemanusiaan, kesadaran mengamalkan dengan baik dan adil setiap makna-makna ibadah dan religiusitas kita di tengah-tengah umat. Hingga kelak mafhum bahwa hakikat ibadah (beragama) bukanlah terletak pada seberapa banyak aktivitas ritual keagamaan yang bersifat seremonial; tetapi seberapa mantap kita membangun harmonitas hidup.
Setelah itu, tak ada lagi politisasi agama, manipulasi agama, komersialisasi agama, fanatisme agama, radikalisme agama, sakralisasi kekerasan karena perbedaan keyakinan menafsir kitab suci, kepentingan politik, ekonomi, dan lainnya. Hingga kita paham juga bahwa Tuhan tak memerlukan kemewahan ekspresi beragama hambanya. Maka seseorang yang telah menjalankan aktivitas keagamaan tetapi belum menemukan harmonitas hidup berarti ia masih belum sampai pada esensi ibadah.
Untuk memunculkan kesadaran kritis akan keberagamaan dalam rangka menuju cita-cita harmonitas hidup, barangkali kita sedikit belajar dan diskusi bareng dengan Ibn Ghifarie dalam catatan hariannya kali ini. Setidaknya ia salah seorang—dari banyak penulis—yang berani mengajukan kritik dan mewartakan kabar tentang pelbagai ironi keagamaan.
Dikemas dalam bentuk tulisan esei dan feature, kegelisahan Ibn Ghifarie bicara dari mulai ormas radikal berwatak barbar, iman minoritas, pudarnya pesan dan hikmah ritualitas keberagamaan dalam keseharian, sampai menyindir setiap ironi-ironi tingkah laku keberagamaan kita.
Kumpulan catatan harian seperti ini tiba-tiba mengingatkan saya pada anak-anak muda yang berani kritis lewat catatan-catatan hariannya. Ingatan saya sampai pada catatan harian seorang Ahmad Wahib (AW). Hampir sama dengan Soe Hok Gie adik dari Soe Hok Djin (Arief Budiman) yang membuat catatan harian mengenai pemikiran kritisnya. Mereka adalah anak-anak muda yang kritis dan berani berpikir diluar mainstream ideologi yang telah eksis pada zamannya. Keberanian mereka untuk kritis telah menginspirasi kaum muda saat itu dan sekarang
Bagitupun tulisan-tulisan yang kritis dan tajam buah tangan Ibn Ghifarie ini perlu kita baca menjadi semacam diskusi yang lebih dalam. Karena fenomena-fenomena yang direkam dalam catatan harian ini ada kemungkinan akan tumbuh terus dalam ragam bentuk, dan menjadi tanggung jawab kita untuk senantiasa mengamati, meneliti, memahami dan tak henti mengajukan kritik terhadapnya.
Hingga kemudian agama tak lagi dijadikan sebagai alat untuk menghalalkan segala cara, tetapi kehadirannya tidak lain untuk mengikis sikap arogansi manusia yang cenderung berbuat kerusakan, memicu konflik antarsesama dan bersikap negatif. Hingga kemudian, semua pribadatan dalam Islam dapat diproyeksikan untuk menjaga harmonitas sesama manusia, dan pemeluknya agar tetap dalam koridor sifat kemanusiaan (humanisme) yang harmonis.
Walhasil, tradisi berpikir kritis seperti Ibn Ghfarie ini mesti kita lestarikan. Hingga kesewenangan-wenangan dan tingkah tak terpuji dalam beragama dapat perlahan teraba dan kelak—mudah-mudahan—terkikis.
Tanpa kesadaran kritis seperti ini, kita akan tetap berada dalam lembah kegelapan dalam beragama. Kalau boleh meminjam ungkapan Emha Ainun Nadjib, kita ini terlalu lama hidup dalam kegelapan, sehingga kita tidak mengerti bagaimana melayani cahaya, sehingga kita tidak becus mengurusi bagaimana cahaya terang…Bahkan, kita tak becus membedakan mana nasi dan tinja.