Barangkali Faucoult telah bicara tentang power and knowledge. Dan kita kelak mafhum bahwa sebagian umat berada dalam sebuah labirin lokus politik yang berambisi untuk semacam ketakjuban sebuah harapan ad-dien wad-daulah, misalnya. Tapi gentarkah kita jika agama yang begitu lamat terdengar dari lubuk hati tiba-tiba harus bermetamorfosis menjadi raksasa yang bernama kekuasaan, menggerakan iman, dan menggerus iman yang lain dalam mekanika ideologis yang mengerikan.
Drama kepongahan mayoritas-arus utama terhadap minoritas-pinggiran tak dapat dielakkan. Fatwa dijadikan kendaraan untuk melabrak-ratakan keyakinan-keyakinan minor yang tak memiliki power. Kaum minoritas agama lain, kaum minoritas yang punya pendapat lain dalam tubuh agama yang sama, berulangkali akan menjadi korban.
Darah dan amarah bisa menjadi sah dalam pertarungan iman. Sesama saudara saling cakar merebut benar, demikian kutipan puisi Bisri menggambarkan kegilaan itu. Al-insan asykala ‘alaihil insan, keluh Abu Hayyan At-tauhidi; tak segan manusia memangsa yang lainnya hanya karena ingin paling benar. Klaim kebenaran agama (truth claim) secara berlebihan yang diteriakkan pemeluk agama harus ditempatkan sebagai penyebab utama dan jadi titik awal kajian tentang praktik pengingkaran manusia atas kesucian agama, setidaknya itulah yang diungkapkan Charles Kimball.
Pemutlakan kebenaran dalam kunyah harfiah-literalis ketika memahami teks-teks kitab suci membuka celah bagi penyalahgunaan atasnya. Literalisme menghadirkan tafsir-tunggal yang memonopoli kebenaran dan kelak jadi sarana justifikasi teologis bagi praktik pengafiran (takfir) serta penyingkiran siapa pun yang memiliki tafsir keagamaan yang berbeda. Sikap dan pemahaman keagamaan yang ekslusif, skripturalis dalam penafsiran teks-teks kitab suci, telah melahirkan anak-anak iman yang fanatik, dogmatik, dan intoleran dalam menyikapi perbedaan, kenyataan dunia dan hubungan antaragama serta ideologi dalam skala global.
Berulangkali kitab suci dibuka dengan dada yang bergemuruh. Ayat-ayat dibuatnya menyala. Ayat-ayat diseret-seret, diteriak-teriakkan, dikerdilkan tak berkembang, dibekukan tak cair.
Dalam hal ini, menarik apa yang pernah diucapkan Sayyidina Ali, bahwa kitalah, sang pembaca, yang membunyikan kitab suci. Kitalah yang bersuara, bukan kitab suci. Ayat-ayat pun bisa ditajamkan, seperti pedang, seperti makian. Sehingga—meminjam ungkapan Caknun—yang kita jadikan pedoman kebenaran hanyalah kemauan kita sendiri, nafsu kita sendiri, kepentingan kita sendiri.
Akibatnya, perselisihan luar-dalam ditumbuhkan dengan dalih perbedaan. Sementara di pihak lain, upaya untuk menggelar dialog antar-agama berulang-ulang dilakukan. Suara-suaranya berat bergema di ruang-ruang diskusi, seminar, dan di ruang yang megah. Namun umat yang bergumul dibawahnya nyaris tak melakukan hal yang sama. Akibatnya, terjadilah fenomena paradoksal, di mana pada satu sisi para elite agama berdialog dengan ongkos yang mahal, namun pada sisi yang lain kekerasan antar-agama terus terjadi pada level grass root. Semakin membara.
Agama, kekerasan, Tuhan, ketakutan, berbaur menjadi satu. Umat yang kuat angkuh dengan tafsirnya. Di pihak lain, kaum minoritas ditebas-tebas batas imannya. Padahal penghormatan dan penghargaan terhadap keyakinan agama lain dengan serta merta adalah penghormatan dan penghargaan terhadap umat yang berbeda pendapat dalam agama sendiri. Bahkan, there will be no peace for our world unless there is peace among the religion, demikian Hans Kung berkata, tidak ada kedamaian dalam dunia tanpa kedamaian di antara agama-agama…
Berani Mewartakan Ironi
Orang beragama sekalipun punya potensi untuk melakuakan hal yang negatif. Tentu saja bukan karena ajaran agamanya jelek, tetapi karena manusia gagal memahami substansi dan mengerjakan ajaran agamanya. Sayakunu ba’di min ummati qaumun yaqra’unal Qur’an, laa yujawwizu halaaqii-mahum, hum syarrul khalq wal khaliiqah, demikian Sang Nabi meramalkan.
Begitulah, hari ini terbukti tak sedikit orang sudah banyak membaca Qur’an ataupun mengerjakan ibadah-ibadah ritual agamanya, namun tidak mendapatkan substansinya. Pada titik inilah kita menemukan apa yang dinamakan ironi religiusitas.