Pada semut merah
Yang berbaris di dinding
Menatapku curiga
Seakan penuh tanya:
Sedang apa di sini?
Menanti pacar, jawabku
Bunyi bait kedua lagu Kisah Kasih di Sekolah menunjukkan kesan bahwa generasi muda kala itu masih mempunyai rasa malu yang tinggi. Artinya mereka masih menjunjung nilai, adab, norma dan agama. Setidaknya, kesan ini yang memang saya alami di sekolah ketika itu. Sama semut merah saja mereka malu dan mau menjawab rasa curiga yang sesungguhnya berasal dari rasa mereka sendiri.
Lalu sependek yang saya tahu, kenakalan atau perbuatan tercela yang teman-teman saya lakukan pada masa itu cenderung masih sebatas mencuri waktu atau membolos, berbohong, membangkang atau pelanggaran-pelanggaran kecil yang tidak bersifat tindakan kriminal. Meskipun demikian, di luar sepengetahuan yang panjang, saya tidak mengetahuinya. Â Â Â Â Â
Namun yang patut saya dan teman-teman pahami, bahwa letak strategis toilet yang dimaksud sebenarnya cenderung bertujuan agar aroma bau yang bisa ditimbulkan dari toilet oleh hembusan angin tidak terbawa ke ruang-ruang kelas, dan kesan jorok serta kotor yang dapat diperlihatkan oleh toilet tidak sering dilihat oleh orang-orang yang lalu-lalang bila lokasi toilet diposisikan di depan bagunan sekolah.
Jauh berbeda dengan masa sekarang, ketika toilet sekolah disalahgunakan fungsinya dan menjadi sorotan masyarakat karena banyaknya berita negatif dan kasus-kasus yang lokasinya terjadi di toilet sekolah. Seperti menjadikan toilet sekolah sebagai titik kumpul perencanaan tawuran, perundungan, tempat merokok, memakai narkoba, bermanja-manjaan, pacaran tak sehat, pelecehan seksual, Â berbuat mesum hingga berhubungan seksual bahkan membunuh dan membuang janin.Â
Berdasarkan semua informasi itu, toilet sekolah seharusnya bukan lagi sekadar menjadi tolak ukur kebersihan dan kesehatan sekolah tetapi juga menjadi tolak ukur atau cerminan pergaulan, kapasitas psikis, mental dan perilaku murid-murid yang bersekolah di dalamnya.Â