Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perjuangan Ganda Seorang Ayah Alami Daddy Blues di Masa Pandemi Covid 19

12 Desember 2024   14:40 Diperbarui: 12 Desember 2024   17:01 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

13 September 2020 anak pertama kami lahir. Sebagai seorang ayah saya sudah mengalami kecemasan sejak calon anak kami masih di dalam kandungan ibunya. Terlebih kelahiran anak pertama kami terjadi di masa pandemi covid 19 yang masih terbilang mencekam. 

Kecemasan yang merasuk ke dalam pikiran datang silih berganti, mulai dari faktor pertumbuhan dan perkembangan janin, asupan gizi, biaya persalinan, kondisi rumah yang tak memenuhi standar kesehatan dan ketakutan lainnya pascalahiran serta ketakutan berlebih yang erat kaitannya dengan covid 19.      

Ketakutan berlebih itu dimulai ketika saya menerima informasi tentang narasi negatif bahwa siapa pun yang datang ke pusat layanan kesehatan seperti klinik, pukesmas atau rumah sakit dan terdeteksi ada gejala yang mirip dengan gejala covid pasti akan 'dicovidkan'.

Sebab isu yang berkembang tentang informasi negatif itu jauh lebih mencengangkan. Katanya, bila seseorang 'dicovidkan' oleh pihak layanan kesehatan semacam rumah sakit (RS) maka pemerintah akan mengucurkan dana bantuan ke rumah sakit (RS) itu, dan petugas atau dokter yang mengcovidkan akan mendapatkan jatah dananya.  

Narasi negatif tersebut tentu menciptakan dugaan, kecurigaan hingga ketakutan kalau-kalau kami yang datang ke pusat layanan kesehatan untuk memeriksasakan kehamilan istri justru akan 'dicovidkan' demi sejumlah dana atau uang dengan cara 'dipositif-covidkan' hasil tesnya.  

Oleh karenanya, perjuangan untuk menepis isu itu tidak mudah saat istri saya memeriksakan kehamilannya di sebuah pukesmas. Istri terlebih dahulu diminta melakukan tes covid. Secara rasional tentu saja hal tersebut sesuai standar yang berlaku saat masa pandemi. Alhamdulillah-nya, hasil tes istri saya terbaca negatif covid lalu mendapat rujukan ke salah satu rumah sakit besar untuk proses melahirkan.  

Tapi rasa cemas mulai tampak saat ternyata hasil tes covid dari pukesmas yang baru dilakukan pagi hari tidak ikut jadi rujukan. Istri saya kembali diminta tes covid di rumah sakit besar rujukan, dan hasilnya positif. Kemudian istri, dan mertua saya yang mengantar bukan dimasukkan ke ruang persalinan melainkan ke ruang lain serta diajak bicara.

Saya sendiri setelah menerima informasi itu diajak bicara oleh salah seorang perawat di ruang terpisah. Dari pembicaraan itu, saya diberi keterangan bahwa istri harus menjalani proses karantina selama 14 hari lebih dulu, dan proses karantina dilakukan di rumah. Di mana logikanya?

Berdasarkan perhitungan HPL (Hari Perkiraan Lahir) istri saya sudah masuk minggu ke 40 lebih beberapa hari, yang berarti masa kehamilannya sudah harus segera mendapat penanganan, lalu bila harus menjalani 14 hari masa karantina di rumah, bagaimana proses melahirkannya?

Kemudian ada tawaran yang membuat saya tercengang waktu itu, istri diminta melakukan tes swab dengan biaya Rp 1,2 juta yang hasilnya bisa keluar dalam waktu 1x24 jam. Hasil ini bisa menjamin tingkat akurasi sehingga ada kemungkinan proses 14 hari karantina tidak perlu dilakukan dan istri bisa langsung ditangani di rumah sakit tersebut. 

Informasi itu membuat logika saya kembali dijungkirbalikkkan, dan timbul kecurigaan bahwa narasi yang selama ini terbangun tentang seseorang yang datang ke layanan kesehatan akan 'dicovidkan' cenderung mulai benar adanya. Di sini saya mulai merasakan daddy blues, yang luar biasa.  

Namun belakangan, istri dan mertua saya bilang bahwa pembicaraan mereka adalah karena hasil tes istri menunjukkan positif covid, maka ada biaya yang diminta sebesar Rp 1,2 juta agar bisa tetap ditangani di rumah sakit tersebut tanpa harus dialihkan ke rumah sakit lain yang khusus menangani pasien covid. Intinya kami ditolak jika tak membayar, dan kami memutuskan ke rumah sakit lain.

Lalu kami semua kembali cemas bila mengingat itu, sebab ke rumah sakit mana pun prosedurnya akan sama, ada pemeriksaan atau tes covid. Bagaimana pun kami tak bisa mengakali selain pasrah. Pada akhirnya, keesokkan hari kami memutuskan ke salah satu rumah sakit besar di Jakarta Pusat. 

Ketika kami mendaftar dan istri diperiksa oleh dokter kandungan serta ditanyakan perihal tes covid lalu kami jawab dengan menunjukkan hasil negatif dari pukesmas, bukan hasil positif dari rumah sakit penolak yang kami tidak percayai, pihak administrasi dan dokter kandungan tidak meminta istri di tes covid lagi. Di sini jelas, prosedur berbeda telah kami alami dan itu merugikan.

Pasalnya, di rumah sakit yang kami datangi ini, kami tidak bisa menggunakan BPJS karena bukan faskes rujukannya. Di sana kami gunakan asuransi lain yang limit plafonnya terbatas. Akibat prosedur covid yang tidak memiliki standarisasi yang sama, diakhir persalinan usai perawatan, kami harus mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp 2 jutaan. 

Biaya sebesar itu jika tidak digunakan untuk membayar kekurangan tagihan pembayaran atas proses persalinan dan perawatan, tentu dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan kebutuhan bayi kami yang baru dilahirkan. Itulah kerugian yang kami maksudkan. 

Kecemasan dan ketakutan yang akhirnya saya rasakan baik sebelum masa kelahiran dan sesudahnya serta ditambah dengan kecurigaan atau dugaan pada semua hal tentang covid 19, menjadi perjuangan ganda yang harus saya hadapi. Bersyukurnya, semua dapat saya lewati dengan baik.

Walapun hari-hari berikutnya sesudah masa kelahiran, saya mengalami kelelahan dalam mengurus dan merawatnya, anak pertama kami telahir sehat, dan tidak kurang suatu apa pun. Untuk tempat tinggalnya, sementara kami tempatkan di rumah mertua atau neneknya di Bogor. Sebuah hunian dengan standar kesehatan yang masih terbilang layak untuk tumbuh kembang seorang bayi.

Seluruh keperluan dan kebutuhan pokok bayi kami pun dapat terpenuhi dengan rezeki yang Tuhan berikan. Sebuah perjuangan ganda seorang ayah seperti saya, yang mengalami daddy blues di masa pandemi covid 19. Lalu secara perlahan mampu keluar dari pengaruh daddy blues dan menemukan jati diri serta merasakan kebahagiaan sebagai seorang ayah. 

Perjuangan ganda saya kala itu akhirnya mengingatkan saya ke masa-masa sekarang. Mengingatkan agar saya kembali dan tetap menerapkan kunci keberhasilan masa-masa itu pada masalah-masalah yang sedang saya hadapi sekarang dan nanti. Kuncinya yaitu ketenangan, tidak panik, sabar, berpikir positif serta fokus pada solusi dan hasil positif juga banyak berdoa.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun