Informasi itu membuat logika saya kembali dijungkirbalikkkan, dan timbul kecurigaan bahwa narasi yang selama ini terbangun tentang seseorang yang datang ke layanan kesehatan akan 'dicovidkan' cenderung mulai benar adanya. Di sini saya mulai merasakan daddy blues, yang luar biasa. Â
Namun belakangan, istri dan mertua saya bilang bahwa pembicaraan mereka adalah karena hasil tes istri menunjukkan positif covid, maka ada biaya yang diminta sebesar Rp 1,2 juta agar bisa tetap ditangani di rumah sakit tersebut tanpa harus dialihkan ke rumah sakit lain yang khusus menangani pasien covid. Intinya kami ditolak jika tak membayar, dan kami memutuskan ke rumah sakit lain.
Lalu kami semua kembali cemas bila mengingat itu, sebab ke rumah sakit mana pun prosedurnya akan sama, ada pemeriksaan atau tes covid. Bagaimana pun kami tak bisa mengakali selain pasrah. Pada akhirnya, keesokkan hari kami memutuskan ke salah satu rumah sakit besar di Jakarta Pusat.Â
Ketika kami mendaftar dan istri diperiksa oleh dokter kandungan serta ditanyakan perihal tes covid lalu kami jawab dengan menunjukkan hasil negatif dari pukesmas, bukan hasil positif dari rumah sakit penolak yang kami tidak percayai, pihak administrasi dan dokter kandungan tidak meminta istri di tes covid lagi. Di sini jelas, prosedur berbeda telah kami alami dan itu merugikan.
Pasalnya, di rumah sakit yang kami datangi ini, kami tidak bisa menggunakan BPJS karena bukan faskes rujukannya. Di sana kami gunakan asuransi lain yang limit plafonnya terbatas. Akibat prosedur covid yang tidak memiliki standarisasi yang sama, diakhir persalinan usai perawatan, kami harus mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp 2 jutaan.Â
Biaya sebesar itu jika tidak digunakan untuk membayar kekurangan tagihan pembayaran atas proses persalinan dan perawatan, tentu dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan kebutuhan bayi kami yang baru dilahirkan. Itulah kerugian yang kami maksudkan.Â
Kecemasan dan ketakutan yang akhirnya saya rasakan baik sebelum masa kelahiran dan sesudahnya serta ditambah dengan kecurigaan atau dugaan pada semua hal tentang covid 19, menjadi perjuangan ganda yang harus saya hadapi. Bersyukurnya, semua dapat saya lewati dengan baik.
Walapun hari-hari berikutnya sesudah masa kelahiran, saya mengalami kelelahan dalam mengurus dan merawatnya, anak pertama kami telahir sehat, dan tidak kurang suatu apa pun. Untuk tempat tinggalnya, sementara kami tempatkan di rumah mertua atau neneknya di Bogor. Sebuah hunian dengan standar kesehatan yang masih terbilang layak untuk tumbuh kembang seorang bayi.
Seluruh keperluan dan kebutuhan pokok bayi kami pun dapat terpenuhi dengan rezeki yang Tuhan berikan. Sebuah perjuangan ganda seorang ayah seperti saya, yang mengalami daddy blues di masa pandemi covid 19. Lalu secara perlahan mampu keluar dari pengaruh daddy blues dan menemukan jati diri serta merasakan kebahagiaan sebagai seorang ayah.Â
Perjuangan ganda saya kala itu akhirnya mengingatkan saya ke masa-masa sekarang. Mengingatkan agar saya kembali dan tetap menerapkan kunci keberhasilan masa-masa itu pada masalah-masalah yang sedang saya hadapi sekarang dan nanti. Kuncinya yaitu ketenangan, tidak panik, sabar, berpikir positif serta fokus pada solusi dan hasil positif juga banyak berdoa. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H