Dampak Negatif Dunia Digital Terparah adalah Narkolema atau PornografiÂ
Di antara dampak negatif yang ditimbulkan oleh dunia digital terhadap meningkatnya kenakalan remaja yang berpotensi pada dampak berikutnya, yang menimbulkan keresahan secara menyeluruh dan meluas bagi dunia pendidikan adalah potensi perilaku negatif yang dapat ditimbulkan oleh narkolema atau pornografi.Â
Dahsyatnya dampak narkolema atau pornografi yang bisa ditimbulkan adalah maraknya peristiwa kekerasan seksual di sekolah (dunia pendidikan).Â
Dampak kekerasan seksual yang terjadi di ruang lingkup pendidikan tidak bisa lagi dibilang kejadian biasa, melainkan sudah masuk kategori darurat. Jelas! Tegas! Indonesia darurat kekerasan seksual di sekolah. Apa alasannya?
Dampak meluasnya kenakalan remaja akibat bullying, tawuran, judi online bahkan narkoba akibat keterpaparannya di dunia digital cenderung bersifat generasional. Sebab salah satu kecenderungannya tidak melibatkan pelaku berstatus sosial dengan derajat profesionalisme intelektual di atas rata-rata.Â
Sedangkan kekerasan seksual yang diakibatkan oleh paparan dunia digital mampu menyasar hingga ke orang-orang yang memiliki status sosial dengan derajat profesionalisme yang memiliki predikat intelektualitas tinggi. Fakta-fakta itulah yang menjadikan alasan mengapa Indonesia darurat kekerasan seksual di sekolah.
Selain derajat profesionalisme, bahaya narkolema atau pornografi juga sanggup merusak masa depan generasi secara permanen karena daya rusak narkolema atau pornografi terhadap otak berpotensi ikut dan terbukti telah lebih banyak menghancurkan masa depan generasi lainnya dibanding bahaya narkoba sekalipun.Â
Fakta-fakta Darurat Kekerasan Seksual di SekolahÂ
Berikut adalah fakta-fakta peristiwa kekerasan seksual yang terjadi di sekolah (dunia pendidikan) yang tidak lagi bisa dipandang dan dinilai sebagai peristiwa biasa, melainkan sudah di luar dari batas kewajaran dan telah banyak merusak generasi masa depan:
1. Pelaku kekerasan di sekolah (dunia pendidikan) adalah orang-orang dewasa yang memiliki tingkat pendidikan tinggi sebagai seorang profesional seperti guru, dosen, ustadz atau kyai (pengajar di tingkat pendidikan pesantren) dan jajaran struktural di dunia pendidikan.
2. Pada beberapa kasus kekerasan seksual dengan pelaku profesional terbukti dilakukan di area pendidikan yang sama pada korban yang sama sehingga tidak sedikitpun memberikan kesan bahwa dunia pendidikan memiliki sistem keamanan terhadap tindak kejahatan kekerasan seksual.
3. Â Mudahnya kekerasan seksual bisa terjadi dengan menggunakan kedok pendidikan seperti di kasus Herry Wirawan yang sempat viral di akhir tahun 2021. Dia (pelaku) menggunakan ranah pendidikan pesantren untuk melampiaskan aksi bejatnya dalam melakukan kekerasan seksual bahkan memanfaatkannya untuk menarik simpati guna menarik dana bantuan.Â
4. Banyak kasus kekerasan seksual justru terjadi di sekolah. Di ruang kelas, ruang guru, kamar mandi sekolah, ruang UKS, ruang praktikum dan ruang lainnya, yang bahkan sejumlah di antaranya terjadi di waktu jam pelajaran sedang berlangsung. Ini bukti bahwa akibat rusaknya otak, para pelaku kekerasan seksual menjadi tidak beradab atau bermoral. Â Â
5. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak usia sekolah kini cenderung berkelompok. Banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi dengan pelaku dan korban anak usia sekolah, ternyata dilakukan oleh pelaku berkelompok. Tindak kriminal yang dilakukan oleh banyak orang atau kelompok umumnya terjadi atas dorongan perilaku 'soliderit' yang terbangun atau dibangun dalam satu momen dengan kemungkinan motif cinta, dendam, sakit hati atau nafsu.
6. Kekerasan seksual usia anak semakin mengganas dan tidak masuk akal. Kasus gadis berusia 13 tahun penjual balon yang menjadi korban perkosaan secara bergantian (kelompok), yang juga dilakukan oleh anak di bawah umur (usia sekolah) adalah salah satu buktinya. Dan kasus ini, lagi-lagi menjadi bukti bahwa daya rusak otak akibat narkolema atau pornografi bisa jauh lebih fatal dari bahaya narkoba.
7. Usia anak atau usia sekolah dan usia remaja atau usia kampus menjadi objek atau target paling rentan bagi para pelaku human trafficking terutama dalam konteks eksploitasi seksual dan kekerasan seksual. Ini juga dampak dari rusaknya otak para pelaku dengan kecenderungan akibat terpapar pornografi.Â
8. Bertumbuh dan berkembangnya ruang-ruang stensil digital di berbagai platform digital dan platform media sosial tanpa adanya pengawasan, sensor atau blokir, baik yang secara langsung mempertontonkan pornografi dengan vulgar lewat tampilan video maupun yang secara verbal disajikan melalui cerita (story telling), obrolan atau diskusi (podcast), tulisan teks, audio, video-teks dan lainnya, yang dapat bebas diakses oleh siapa pun termasuk anak dan remaja. Ini bukti lain lagi bahwa tak ada keseriusan dalam menangani dampak atau akibat yang bisa ditimbulkan oleh bahaya narkolema atau pronografi.
Berharap dari Kurikulum Merdeka, Apakah Relevan?
Sebagai bagian dari upaya pemulihan pembelajaran, apakah Kurikulum Merdeka dikonsep untuk dapat mencegah dan mengantisipasi dampak dunia digital terutama terhadap bahaya narkolema atau pornografi?Â
Kurikulum Merdeka (yang sebelumnya disebut sebagai kurikulum prototipe) dimaksudkan sebagai kerangka kurikulum yang fleksibel, sekaligus berfokus pada materi esensial dan pengembangan karakter serta kompetensi peserta didik.Â
Berdasarkan karakteristik utama dari kurikulum merdeka yang mendukung pemulihan pembelajaran dan seharusnya dapat menjadi sumber untuk mengantisipasi dan mencegah dampak negatif dunia digital terutama yang berdampak pada kenakalan anak dan remaja serta bahaya narkolema atau pornografi tetapi faktanya tidak sesuai dengan kenyataannya adalah berikut:
1. Pembelajaran berbasis projek untuk pengembangan soft skills dan karakter sesuai profil pelajar Pancasila. Faktanya, darurat kekerasan seksual di sekolah (dunia pendidikan) yang terjadi berdasarkan peristiwa-peristiwa yang ada menunjukkan bahwa pembentukan karakter profil pelajar sesuai Pancasila telah gagal.Â
2. Fokus pada materi esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi. Fakta-fakta peristiwa kekerasan seksual di sekolah justru menunjukkan bukti bahwa salah satu literasi pendidikan, yaitu literasi tentang pembelajaran seksual dan upaya dalam mencegah bahaya pornografi juga gagal.Â
3. Fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai dengan kemampuan peserta didik dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal. Lagi-lagi terbukti gagal ketika fakta peristiwa kekerasan seksual banyak terjadi di pendidikan berbasis pesantren dengan pelaku cenderung dari kalangan profesional intelektual.Â
Dengan demikian, Kurikulum Merdeka dalam konteks pencegahan dan pengatasan dampak dan bahaya narkolema atau pornografi dapat dikatakan relevan, yakni relevansi yang tinggi atas tingkat kegagalannya.Â
Kurikulum Merdeka yang Didorong Teknologi Justru Lumpuh oleh Teknologi dan Tak Bisa Apa-apa.Â
Belum lama ini muncul kasus video asusila antara guru dan murid yang beredar viral di media sosial.Â
Video asusila yang dilakukan oleh pasangan pendidik dan muridnya itu memang tidak dibuat dan disebar oleh salah seorang dari keduanya. Perilaku asusila keduanya pun dikabarkan atas dasar suka sama suka.Â
Tetapi masalah esensialnya kali ini bukan tentang suka sama suka, bukan pula perkara apakah perilaku asusilanya akibat terpapar pornografi, melainkan penyimpangan yang tampak jelas dilakukan oleh pendidik selaku instrumen dunia pendidikan kepada anak didiknya, yang seharusnya diarahkan untuk berperilaku sesuai karakter pancasila.Â
Kasus asusila yang melibatkan guru dan murid yang katanya berprestasi itu menunjukkan bahwa esensi dunia pendidikan telah gagal dalam mengarahkan pelaku pendidikan untuk berjiwa pancasila sebab terjadi pelanggaran norma, nilai, agama, moral, etika dan hukum di dalam perbuatan itu.Â
Kasus lain yang cenderung mencerminkan gagalnya kurikulum merdeka dalam mengarahkan, mencegah dan mengatasi bahaya narkolema atau pornografi adalah kasus konten thirst trap. Konten thirst trap diartikan sebagai konten yang dibuat untuk menarik perhatian dalam konotasi seksual.Â
Dalam sejumlah postingan yang informasinya dibuat oleh guru, dalam konten tampak anak-anak siswi SMP bergoyang dengan pakaian sekolah atau kebaya ketat. Hal ini menandakan betapa dampak bahaya narkolema atau pornografi dianggap sepele dalam dunia pendidikan.Â
Konten thirst trap yang dibuat seolah cenderung dianggap sebagai cara berpikir kritis, kolaborasi, komunikasi dan kreativitas dalam bahasa konten dan sekaligus membenarkan bahwa seperti itulah cara memanfaatkan teknologi yang dimaksud oleh kurikulum merdeka. Â
Peristiwa itu juga menggambarkan bahwa teknologi yang didorong untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, memberikan akses ke sumber data belajar yang lebih luas, memfasilitasi pembelajaran jarak jauh, yang diharapkan menjadi media pembelajaran untuk mempermudah dan menyenangkan sesuai dengan konteks lokal dan kebutuhan siswa, terbukti disalah gunakan. Pertanyaannya kemudian, kurikulum merdeka bisa apa ketika teknologi yang didorong untuk pembelajaran berkualitas justru menjadi senjata dalam melakukan serangan balik untuk merusak kualitas pembelajaran?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H