2. Pada beberapa kasus kekerasan seksual dengan pelaku profesional terbukti dilakukan di area pendidikan yang sama pada korban yang sama sehingga tidak sedikitpun memberikan kesan bahwa dunia pendidikan memiliki sistem keamanan terhadap tindak kejahatan kekerasan seksual.
3. Â Mudahnya kekerasan seksual bisa terjadi dengan menggunakan kedok pendidikan seperti di kasus Herry Wirawan yang sempat viral di akhir tahun 2021. Dia (pelaku) menggunakan ranah pendidikan pesantren untuk melampiaskan aksi bejatnya dalam melakukan kekerasan seksual bahkan memanfaatkannya untuk menarik simpati guna menarik dana bantuan.Â
4. Banyak kasus kekerasan seksual justru terjadi di sekolah. Di ruang kelas, ruang guru, kamar mandi sekolah, ruang UKS, ruang praktikum dan ruang lainnya, yang bahkan sejumlah di antaranya terjadi di waktu jam pelajaran sedang berlangsung. Ini bukti bahwa akibat rusaknya otak, para pelaku kekerasan seksual menjadi tidak beradab atau bermoral. Â Â
5. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak usia sekolah kini cenderung berkelompok. Banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi dengan pelaku dan korban anak usia sekolah, ternyata dilakukan oleh pelaku berkelompok. Tindak kriminal yang dilakukan oleh banyak orang atau kelompok umumnya terjadi atas dorongan perilaku 'soliderit' yang terbangun atau dibangun dalam satu momen dengan kemungkinan motif cinta, dendam, sakit hati atau nafsu.
6. Kekerasan seksual usia anak semakin mengganas dan tidak masuk akal. Kasus gadis berusia 13 tahun penjual balon yang menjadi korban perkosaan secara bergantian (kelompok), yang juga dilakukan oleh anak di bawah umur (usia sekolah) adalah salah satu buktinya. Dan kasus ini, lagi-lagi menjadi bukti bahwa daya rusak otak akibat narkolema atau pornografi bisa jauh lebih fatal dari bahaya narkoba.
7. Usia anak atau usia sekolah dan usia remaja atau usia kampus menjadi objek atau target paling rentan bagi para pelaku human trafficking terutama dalam konteks eksploitasi seksual dan kekerasan seksual. Ini juga dampak dari rusaknya otak para pelaku dengan kecenderungan akibat terpapar pornografi.Â
8. Bertumbuh dan berkembangnya ruang-ruang stensil digital di berbagai platform digital dan platform media sosial tanpa adanya pengawasan, sensor atau blokir, baik yang secara langsung mempertontonkan pornografi dengan vulgar lewat tampilan video maupun yang secara verbal disajikan melalui cerita (story telling), obrolan atau diskusi (podcast), tulisan teks, audio, video-teks dan lainnya, yang dapat bebas diakses oleh siapa pun termasuk anak dan remaja. Ini bukti lain lagi bahwa tak ada keseriusan dalam menangani dampak atau akibat yang bisa ditimbulkan oleh bahaya narkolema atau pronografi.
Berharap dari Kurikulum Merdeka, Apakah Relevan?
Sebagai bagian dari upaya pemulihan pembelajaran, apakah Kurikulum Merdeka dikonsep untuk dapat mencegah dan mengantisipasi dampak dunia digital terutama terhadap bahaya narkolema atau pornografi?Â
Kurikulum Merdeka (yang sebelumnya disebut sebagai kurikulum prototipe) dimaksudkan sebagai kerangka kurikulum yang fleksibel, sekaligus berfokus pada materi esensial dan pengembangan karakter serta kompetensi peserta didik.Â
Berdasarkan karakteristik utama dari kurikulum merdeka yang mendukung pemulihan pembelajaran dan seharusnya dapat menjadi sumber untuk mengantisipasi dan mencegah dampak negatif dunia digital terutama yang berdampak pada kenakalan anak dan remaja serta bahaya narkolema atau pornografi tetapi faktanya tidak sesuai dengan kenyataannya adalah berikut: