Pengertian Doom Spending dan Kemungkinan Adiksi
Seorang psikolog dari Universitas 17 Agustus (Untag), Riza Wahyuni berpendapat bahwa doom spending adalah pola konsumtif berlebihan, bahkan cenderung obsessive, di mana seseorang sulit menahan keinginan untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Pengertian berikutnya, yang juga identik menyebutkan bahwa doom spending adalah ketika seseorang berbelanja tanpa berpikir, untuk menenangkan diri karena merasa pesimis dengan ekonomi dan masa depannya.
Definisi lainnya mangatakan doom spending merupakan fenomena di mana seseorang menghabiskan uang secara impulsif sebagai respons terhadap kecemasan dan ketidakpastian ekonomi. Sebuah fenomena yang menunjukkan antara perasaan dengan perilaku yang tidak sejalan atau berlawanan.
Doom spending tentu tidak termasuk gangguan kejiwaan, bahkan doom spending pada kondisi tertentu malah dianggap sebagai terapi. Sebagai salah satu cara untuk mengatasi tekanan atau stres akibat kekacauan politik, perubahan iklim, ancaman inflasi, perang atau kondisi buruk lainnya akan masa depan.
Selanjutnya dikatakan juga bahwa doom spending merupakan bentuk pelarian yang cenderung bersifat sementara meski tidak menutup kemungkinan doom spending bisa menjadi adiksi. Bila dikorelasikan dengan gaya hidup dan psikologis yang menampakkan ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kenikmatan atau kemewahan hidup seperti orang lain tetapi tetap dipaksakan lalu menjadi adiksi, maka doom spending sudah masuk pada kategori gangguan sosial yang akan berdampak pada kerusakan psikologis pelakunya.
Apakah Terapi Mampu Menghalau Keinginan Berbelanja Akibat Kecemasan pada Masa Depan?Â
Dari sisi global, tak ada formula yang benar-benar dapat memastikan fenomena doom spending mampu diantisipasi atau diatasi ketika sedang terjadi atau berlangsung. Sebab faktor media yang menjadi jembatan bagi pertumbuhan fenomena doom spending dapat terealisasi dengan cepat, masif dan menyebar.
Di sisi lain, pertumbuhan dan perkembangan pesat media dalam menjembatani fenomena doom spening di ruang-ruang digital di berbagai aplikasi, platform digital dan platform media sosial, juga telah ikut memberikan pertumbuhan baik bagi jalannya roda perekonomian.
Sehingga sangat tak mungkin bila terapi yang dimaksud adalah dengan cara menutup atau memblokir jalur pertumbuhan ekonomi di berbagai aplikasi, platform digital dan platform media sosial untuk tujuan menghentikan fenomena doom spending. Tapi apakah dari sisi personal, doom spending mampu diantisipasi atau diatasi dengan terapi? Terapi apa yang dapat mengatasi fenomena doom spending?
Salah satu terapi yang ada hubungannya dengan orang yang berbelanja dan menghabiskan uangnya secara impulsif adalah retail therapy. Namun, retail therapy ternyata berbeda dengan doom spending.
Retail therapy adalah di mana seseorang berbelanja untuk menghibur diri akibat masalah pribadi seperti cinta, karir, atau keluarga untuk tujuan utama membuat dirinya lebih baik, meredakan stres, meningkatkan suasana hati, dan meningkatkan kesejahteraan emosional.
Sedangkan doom spending dipicu oleh faktor eksternal, dan merasa lebih baik setelah membeli sesuatu (berbelanja), padahal tujuannya cenderung hanya untuk penenang sementara dari kecemasan finansial dan masa depan.
Dari faktor penyebab dan tujuan yang jelas sudah berbeda. Juga kesamaan perilaku dalam aktivitas berbelanja, retail therapy bukanlah cara yang tepat untuk dapat menghentikan fenomena doom spending. Terapi sendiri mempunyai arti usaha untuk memulihkan kesehatan orang yang sedang sakit, pengobatan penyakit dan perawatan penyakit.
Dalam konteks fenomena doom spending, bagian mana dari perilaku impulsif dalam berbelanja untuk menenangkan kecemasan finansial dan masa depan, yang bisa menjadi objek untuk dipulihkan atau diobati?
Bila merujuk pada pengetahuan psikologis, bagian yang perlu diterapi adalah kecemasannya (anxiety). Tapi pertanyaannya, bagaimana melakukan terapi pada pelaku doom spending, yang justru menggunakan itu sebagai caranya untuk mengalihkan kecemasan?
Antisipasi Doom Spending dengan Literasi FinansialÂ
Kecemasan keuangan atau finansial dan kecemasan terhadap masa depan cenderung disebabkan oleh ketidakmampuan, ketidaktahuan atau ketidakinginan seseorang dalam mengelola keuangan atau finansialnya.
Salah satu faktor penyebab ketidakmampuan, ketidaktahuan atau ketidakinginan mengelola finansial dapat dipastikan terjadi karena mereka tidak atau belum memiliki bekal pengetahuan tentang literasi finansial.
Bila melihat data, tingkat literasi keuangan Indonesia memang masih terbilang rendah. Berdasarkan hasil survei Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024, Indeks Literasi Keuangan Nasional berada di angka 65,43 persen.
Angka tersebut masih lebih kecil dibanding tingkat literasi keuangan Malaysia, Singapura, dan Thailand. Tercatat, indeks inklusi keuangan Malaysia mencapai 88,37 persen, Singapura 97,55 persen, dan Thailand 95,58 persen.
Dengan tingkat literasi keuangan yang relatif rendah, maka bukan tidak mungkin fenomena atau perilaku doom spending bisa bertumbuh pesat di Indonesia. Gejala-gejalanya pun sudah mulai tampak di berbagai platform digital dan platform media sosial. Â
Literasi keuangan adalah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang memengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan untuk mencapai kesejahteraan keuangan setiap individu.
Beranjak dari makna, maksud dan tujuannya, untuk dapat mengantisipasi pertumbuhan perilaku doom spending, masyarakat terutama generasi yang mudah terkontaminasi oleh fenomena doom spending perlu dan harus diarahkan pada pengetahuan, pemahaman, pembekalan dan penguasaan mengenai literasi keuangan atau finansial.
Setelah mengetahui, memahami, membekal dan menguasai literasi keuangan atau finansial, bagi masyarakat nantinya, literasi keuangan atau finansial akan memberikan manfaat yang besar, seperti:
1. Mampu memilih dan memanfaatkan produk dan layanan jasa keuangan yang sesuai kebutuhan.
2. Memiliki kemampuan dalam melakukan perencanaan keuangan dengan lebih baik.
3. Mampu bertanggung jawab pada keputusan keuangan yang diambil.
4. Terhindar dari aktivitas investasi pada instrumen keuangan yang tidak jelas.
5. Mampu memahami bahwa dengan mengelola keuangan atau finansial secara baik dan benar tidak ada yang perlu ditakuti atau dicemaskan terhadap ancaman ekonomi, inflasi atau masa depan.
Atasi Doom Spending dengan Reedom Spending Therapy
Bagi sejumlah orang yang merasa bahwa dirinya telah telanjur terkontaminasi perilaku doom spending, berupaya untuk menguasai literasi finansial bukanlah cara yang tepat untuk mengatasinya.
Orang yang sudah terkontaminasi perilaku doom spending harus terlebih dahulu diatasi atau dibersihkan kontaminasinya. Sebab tindakan yang dilakukan untuk orang yang terkontaminasi bukan lagi pencegahan atau antisipasi, melainkan tindakan penanganan atau mengatasi melalui terapi, pengobatan atau lainnya.
Perilaku doom spending, yang cenderung bersifat sementara atau kemungkinan menjadi adiksi bisa diatasi dengan mengembalikan perilaku tersebut ke arah perilaku sebaliknya lewat cara menebus (redoom) kekeliruan atau kesalahannya dalam menghabiskan uang untuk berbelanja, yakni dengan redoom spending therapy.Â
Redoom spending therapy adalah terapi dengan cara mengembalikan pengeluaran atau pembelanjaan melalui aktivitas sebaliknya, yaitu menjual barang (berpikir bisnis) yang telah dibelanjakan atau mengupayakan mengambil keuntungan atas jasa yang akan dikeluarkan atau dibelanjakan.
Dalam menerapkan redoom spending therapy yang perlu diarahkan adalah sasaran produk belanjanya dialihkan, penggunaan produk yang dibeli diminimalisasi dan berupaya mencari keuntungan atas produk atau jasa yang sudah dibelinya.
Pengalihan sasaran produk belanja (melakukan proses memilih barang atau produk yang dibeli);Â
Pelaku doom spending diarahkan untuk menghabiskan atau membelanjakan uangnya pada produk-produk yang memiliki nilai jual kembali seperti pembelian dalam jumlah dan harga grosir, laku dipasaran, dibutuhkan pasar, awet, tidak cepat rusak, bersifat dapat dikoleksi, bukan produk bergaransi dan lainnya.
Produk yang dibelanjakan atau dibeli diminimalisasi penggunaannya (melakukan proses stok produk atau barang); Â
Produk-produk yang dibeli berdasarkan sasaran yang diarahkan tadi selanjutnya diupayakan tidak dipakai seluruhnya melainkan harus diminimalisasi pemakaiannya. Untuk produk atau barang lainnya yang belum dipakai kemudian disimpan dengan baik di tempat yang aman dalam kemasan yang tetap terjaga. Sehingga di waktu yang tepat nanti dapat dijual dalam kondisi produk atau barang tetap baru dan terkemas.
Mengambil keuntungan atas produk atau jasa yang dibeli (melakukan proses penjualan atas produk atau jasa yang telah dibeli);Â
Untuk produk berupa barang tentu saja dilakukan proses penjualan agar bisa mengambil manfaat atau keuntungan atas produk atau barang yang telah distoknya. Tetapi untuk jasa yang sudah dibeli cara mengambil manfaat atau keuntungannya sudah tentu berbeda. Salah satu contoh yang bisa dilakukan misalnya saat seorang pelaku doom spending membeli produk destinasi wisata ke luar negeri bisa saja menerapkan bisnis jastip atau jasa titip untuk dapat mengambil manfaat atau keuntungan darinya.
Manfaat dan hasil dari redoom spending therapy tidak bisa diterima atau dirasakan dalam waktu singkat. Butuh latihan, afirmasi dan arahan yang serius agar hasilnya dapat segera dirasakan. Tetapi setidaknya, saat redoom spending therapy diterapkan, pola konsumtif, perilaku berbelanja berlebihan atau tanpa berpikir sudah mulai dalam kendali atau kontrol dan dalam proses berpikir positif.    Â
Referensi
https://ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan-perlindungan-konsumen/Pages/literasi-keuangan.aspx
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H