Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Penebang Pohon Alim di Negeri Demokrasi

1 September 2024   00:46 Diperbarui: 1 September 2024   00:46 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Tangkapan layar Channel YouTube @UlilAlbab.Official

Alkisah di sebuah negeri demokrasi terdapatlah seorang alim putra dari penjual kayu. Ia tumbuh dalam kesederhanaan bila tak layak disebut serba kekurangan atau dalam kemiskinan. 

Pemuda alim ini lahir di Surakarta di sebuah bantaran sungai. Masa kecilnya berhubungan erat dengan kayu. Di rumahnya yang kecil di bantaran Kali Anyar, Solo, penuh dengan tumpukan kayu dan bambu.

Alim disebut karena ia dikenal sebagai sosok yang baik, sederhana, polos, jujur, peduli, penyayang dan bijak. Bagi sejumlah orang bahkan sosok alim ini paripurna tak bercela. Kesempurnaan inilah yang kemudian menahbiskan ia sebagai sosok orang alim.

Di rumahnya yang terbilang sempit, tidak banyak ruangan tersisa kecuali untuk duduk dan tidur keluarga. Pada sejumlah referensi digital ia pernah berkata bahwa "Sejak kecil saya tahu saya terbantu oleh kayu dan bambu,". 

Lain waktu ia berkata, "Saya lahir di bantaran sungai. Sudah pernah merasakan bagaimana tidak enaknya hidup susah," Karena kesehariannya bersama kayu, ia pun kian mencintai kayu. Sampai tiba waktunya di usia kuliah dia memilih jurusan yang juga masih berhubungan dengan kayu. 

Berkuliah di Fakultas Kehutanan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dia ingin meneruskan tradisi leluhur, karena kakek dan ayahnya adalah seorang pedagang kayu.

Hingga akhirnya ia merintis sebuah usaha yang masih bergerak di bidang perkayuan. Namun bukan mendalami penjualan kayu mentah, melainkan pengolahan kayu menjadi barang jadi; mebel.

Usaha mebelnya tentu saja berhubungan dengan kayu sebagai bahan mentahnya, dan pohon-pohon yang ditebang sebagai penghasil bahan mentahnya. 

Maka usahanya tak lepas dari aktivitas menebang pohon, yang tentu saja tidak dilakukannya secara mandiri karena bahan baku untuk usaha mebelnya didapat dari hasil kerja sama dari pemasok atau penebang kayu. 

Tukang kayu atau pembuat mebel cenderung tidak menebang langsung jenis kayu dari pohon-pohon yang akan digunakannya menjadi bahan baku. Namun barangkali ia juga memiliki keahlian menebang pohon sendiri. 

Perkakas yang ia punya tentunya tidak ditujukan khusus untuk menebang pohon, meski usahanya membutuhkan bahan baku dari berbagai jenis pohon demi membuat beragam jenis produk mebel yang laku di pasaran atau berdasar pesanan. Perkakasnya lebih utama ia gunakan sebagai bagian dari pembentuk desain mebel. 

Tetapi bisnis di bidang mebelnya ternyata terus berkembang hingga dieskpor ke sejumlah negara. Kesuksesannya di dunia bisnis, dan sifat pedulinya membuat ia tak melupakan rekan-rekan sesama pengrajin kayu yang belum berhasil. 

Kabarnya, dia merangkul sejumlah Usaha Kecil dan Menengah di bidang perkayuan dan disatukan dalam satu wadah organisasi. Tergabung dalam cabang organisasi induk Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia Komda Solo.

Kepeduliannya pada pengrajin kayu mungkin didasarkan atas iman kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala seperti niat seorang alim lainnya di masa lampau, yang membawa perkakas untuk menebang pohon keramat demi menebarkan ajaran yang diyakini benar dan bertujuan untuk menghindarkan para penyembah pohon keramat dari kemusyrikan.  

Dari empati, kealiman dan organisasi pengusaha itulah sejarah kepemimpinannya dimulai. Walaupun tanpa membawa perkakas untuk menebang pohon, ia ditunjuk sebagai sebagai ketua. 

Di organisasi ini kepemimpinan dirinya dilihat sebagai potensi oleh sejumlah pengusaha. Sehingga mereka menyarankan agar sosok alim ini maju dalam bursa pemilihan calon Wali Kota Surakarta periode 2005-2010.

"Saya ini tak pernah tertarik bergabung dengan partai tertentu, dan tidak pernah berkecimpung di ajang-ajang yang berhimpitan dengan politik atau pemerintahan," demikian ujarnya pada suatu kesempatan menunjukkan kerendahan hati dan kesederhanaannya.

Tetapi takdir dan alam semesta mendukungnya, meski tak pernah bersentuhan dengan politik, dia akhirnya terpilih sebagai pemimpin Kota Surakarta periode 2005-2010. 

Tidak hanya satu periode, dia terpilih kembali sebagai pemimpin Kota Surakarta untuk kedua kalinya di periode 2010-2015. Dia menang mutlak dengan perolehan suara lebih dari 90,09 persen. Perolehan angka kemenangan yang sangat fantatis dalam sebuah kompetisi politik. 

Ternyata dampak baik dari kealimannya belum berakhir di sana, orang-orang mendengar dan mengetahui berita tentang sosok pemuda alim ini hingga ke penjuru negeri. 

Kepemimpinannya di Surakarta dinilai merakyat, egaliter, bersahaja, berprestasi dan membawa kemajuan. 

Maka alih-alih menyelesaikan kepemimpinan di Surakarta pada periode kedua, meritokrasi menjadi jalan baginya menuju Jakarta. 

Tahun 2012 dia pun diajukan oleh partai berlambang banteng dan partai berlambang kepala burung garuda sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Melalui pertarungan dua putaran ia memenangkan kontestasi dan memimpin Jakarta. 

Dari sinilah ia menunjukkan sosok alimnya dengan merakyat lewat blusukan ke pasar-pasar, ke lokasi-lokasi terpencil, ke sudut-sudut kota, ke tepian sungai hingga ke parit-parit atau gorong-gorong.

Hanya dua tahun memimpin Jakarta, lagi-lagi meritokrasi membawanya ke level yang lebih tinggi. Dirinya diajukan menjadi calon Presiden. 

Luar biasa, kealiman mengiringi sekaligus membalap kemampuan dan prestasinya, jauh melewati tokoh-tokoh yang sudah lebih dahulu dan lebih lama berada di ruang politik. Apakah ia menolak? 

Tentu saja tidak. Tetapi apakah posisinya identik dengan penebang pohon alim yang awalnya mampu mengalahkan Iblis, yang merubah dirinya menjadi manusia ketika coba menghalangi agar pohon keramat tidak ditebang? 

Dan kemudian dengan strategi penawaran satu kenikmatan dunia agar pohon keramat tidak ditebang, keimanan penebang pohon alim akhirnya runtuh dalam sekejap hanya dengan  tawaran kompensasi berupa uang dari Iblis, yang akan diberikan di bawah bantal tidur penebang pohon alim di setiap pagi hari.

Konteksnya tak sama. Namun penebang pohon alim terbujuk, tidak jadi menebang pohon keramat dan menyetujui janji Iblis dengan penawaran kompensasinya. Lalu menunggu uang datang di bawah bantalnya setiap pagi.

Sementara tukang kayu yang tak lagi biasa, terbujuk maju ke pemilihan Presiden yang tidak terbaca karena kompensasi kuasa, melainkan merujuk pada niat atau maksud untuk menunjukkan sikap peduli pada rakyat, yang akan jauh lebih efektif jika direalisasikan melalui posisi kursi satu Republik Indonesia ketimbang lewat area kursi satu Jakarta. 

Hanya saja, kehadirannya yang terhitung baru di kancah politik dan asal muasalnya yang berangkat dari rakyat biasa menimbulkan tanya, apakah kesempatannya kali ini akan kembali moncer?

Dengan posisinya di kursi satu Jakarta yang baru dua tahun dijalani juga memunculkan tanya, apakah niatnya sungguh masih datang dari empati (rasa peduli) yang menjadi bagian dari kealimannya untuk menebang pohon kelaliman yang dilakukan oleh tangan-tangan kuasa terhadap rakyat ketika itu? 

Faktanya, saking meleburnya kealiman seorang yang disebut-sebut sebagai tukang kayu yang tak lagi biasa, jargon yang disematkan kepadanya sekaligus mem-branding "dirinya adalah kita" menjadi kekuatan narasi tentang 'tesis orang baik' dalam pertarungannya di pemilihan Presiden 2014.

Kealiman dan narasi tentang 'tesis orang baik' tersebut kemudian moksa ke dalam setiap jiwa-jiwa individu rakyat pendukungnya. 

Rakyat yang mendukungnya tiba-tiba merasa sama, menjadi alim dan orang baik. Sehingga bagi pendukungnya tak ada satu pun kesalahan dilakukan oleh sang tukang kayu yang tak lagi biasa ini. Harta dan jiwa siap dikorbankan terhadap orang-orang yang tidak sehaluan dengan mereka. 

Meskipun pernah meninggalkan Surakarta sebelum waktunya, dan akan berpamitan pada Jakarta sebelum saatnya demi maju ke kursi satu Republik Indonesia, mereka yakin dan percaya niat utama orang nomor satu Jakarta alias tukang kayu yang tak lagi biasa kala itu adalah keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 

Moksa rakyat pendukungnya ketika itu sampai membuat tukang kayu yang tak lagi biasa ini berdiri kokoh bak pohon keramat yang disembah-sembah lantaran kealiman dan tesis orang baiknya.

Terlebih ketika dirinya terbukti moncer memenangkan pemilu Presiden yang dilantik pada 20 Oktober 2014. Bahkan di periode berikutnya sang tukang kayu yang tak lagi biasa, menang di pemilu Presiden untuk kedua kalinya pada 2019.

Tapi kisah berbeda mulai dirasakan oleh sebagian besar masyarakat saat meritualkan kemenangan sosok yang telah menjelma bagai pohon keramat ini. 

Sebuah ritual dalam euforia demokrasi yang barangkali sudah ditinggalkan bila tak boleh disebut dilupakan, di prosesi pelantikan pertamanya bila dibandingkan dengan pelantikan kali kedua. 

Di 2014. Saat itu ia disambut ritual euforia rakyat lewat kirab budaya.  Tidak langsung menuju Istana, melainkan menuju Bundaran Hotel Indonesia (HI) untuk menemui masyarakat. 

Dari Bundaran HI, ia diarak dengan kereta kencana menuju Monas. Euforia itu menunjukkan pergerakkan tanpa jarak antara pemimpin negeri dengan rakyatnya. Membaur dalam tatap penuh semangat, berdiskusi lewat celoteh suka cita, bersama menutup telinga dari anjing menggonggong kafilah berlalu sampai saling bercerita tentang indahnya hari esok. Tentang janji-janji yang katanya akan ditepati. 

Ibarat pohon keramat yang masih dapat disentuh, dielus, dirangkul, dicium aromanya hingga bisa bersujud mengecup akar-akarnya dan meyakini bahwa ketika mulut merapal mantra lalu berucap memohon harap dengan tiga permintaan maka pasti akan dikabulkan dengan segera. Bukankah demikian janji Iblis yang dibisikkan lewat malih rupa ke bentuk manusia atau melalui para kuncen penjaga pada para penyembah pohon-pohon berhala.

Berbeda di 2019. Jalan-jalan di sekitar Istana dan gedung DPR/MPR sudah ditutup sejak pagi buta. Terdapat Setidaknya 30.000 personel TNI/Polri dikerahkan untuk memastikan jalannya pelantikan. Usai pelantikan, Presiden yang terpilih untuk kedua kalinya ini langsung menuju Istana. 

Tak ada acara arak-arakan dan pesta rakyat seperti 5 tahun lalu. Meskipun kabarnya relawan dan pendukungnya sudah menyiapkan karnaval budaya untuk merayakan pelantikan, informasinya acara itu dibatalkan atas permintaan tuan Presiden sendiri. Berbagai pendapat atau opini pun mengemuka. 

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut bahwa pengamanan yang dilakukan untuk pelantikan Presiden dan Wakil Presiden hari itu terlalu berlebihan. 

Sehingga menimbulkan atmosfer yang berbeda dengan pelantikan 5 tahun lalu. Potret pelantikan 2014, yang memperlihatkan ketika Presiden diarak dengan kereta kencana oleh ribuan orang, dinilai sebagai pemimpin yang pro rakyat. 

Di 2019 sang Presiden dikelilingi oleh pengamanan yang berlebihan. Suatu pengamanan yang dinilai hanya cocok untuk pemimpin yang bukan negarawan, tapi mereka yang dilantik untuk memegang kekuasaan besar dengan nyali dan mental yang kecil.

Bila digambarkan tentang momentum pelantikan kala itu. Pagar kawat berduri membentang, menutup sejumlah ruas jalan yang menuju dan di sekitar Istana Kepresidenan Jakarta. 

Jalan-jalan di sekitarnya yang dekat dan mengarah ke Istana juga mengalami nasib serupa, dibentengi pagar kawat berduri agar orang-orang tak mudah mengakses ke sana. 

Bahkan seorang Panglima TNI menyatakan dalam pengamanan pelantikan itu, kekuatan di darat dilengkapi sejumlah kendaraan baja, sementara di udara disiapkan pesawat Boeing hingga pesawat tanpa awak. Sedikitnya, enam kendaraan Panser Anoa milik TNI dan tiga helikopter disiagakan di Gedung MPR/DPR. 

Secara keseluruhan, aparat gabung TNI-Polri yang disiagakan mencapai 30 ribu personel. Apakah efek kealiman dan tesis orang baik seorang tukang kayu yang tak lagi biasa dan telah berhasil duduk di kursi Presiden untuk kedua kalinya tak lagi sakti? 

Tapi kembali lagi, ibarat pohon keramat yang dipertahankan oleh Iblis agar tidak ditebang oleh penebang pohon alim. Setelah sosok penebang pohon alim kalah oleh tawaran kenikmatan duniawi lewat kompensasi berupa uang di bawah bantal, Iblis seperti tak mau para penyembah pohon terlalu dekat pada tuannya. Maka dipasanglah pagar mengelilingi pohon keramat dan membentenginya dengan kekuatan gaib. 

Begitulah cara Iblis sebagai tuan, membuat jarak dengan para pengikutnya supaya tak ada kata dan tindakan di luar kuasanya, yang membuat para penyembah pohon keramat justru bisa berbalik menyerang dengan kesadaran iman dan keyakinan yang diinsyafi lantaran sesekali janji-janji Iblis akan setiap tiga permintaan penyembahnya, tidak akan pernah ditepati.

Ujungnya, kealiman dan tesis orang baik terhadap tukang kayu yang tak lagi biasa dalam menjabat Presiden Republik Indonesia hingga ke akhir masa kepemimpinannya justru terus menguat. 

Terbukti dengan dimunculkannya wacana masa perpanjangan jabatan tiga periode, yang diduga berasal dari orang-orang di dekatnya atau massa pendukungnya. Dan sepertinya bagi sejumlah mereka, kealiman dan tesis orang baik tidak boleh dihalangi oleh konstitusi. 

Moksa kealiman dan tesis orang baik juga masih melekat di sebagian besar masyarakat saat beredar berita tentang cawe-cawe dan narasi politik dinasti yang diduga sedang dibangun oleh tukang kayu yang tak lagi biasa dijelang penghabisan masa jabatannya. 

Di mulai dengan Putusan MK Nomor 90, ia diisukan melakukan hianat pada partai yang membesarkan namanya. Banyak rumor beredar bahwa apa yang dilakukannya bermula dari sebutan 'petugas partai' kepada dirinya.

Bayangkan jika rumor itu benar adanya, seorang Presiden, penguasa nomor 1 di negeri demokrasi bernama Republik Indonesia tak lebih dari sekadar petugas partai, siapa yang tak sakit hati?

Tapi kealiman dan tesis orang baik yang telah melekat pada tukang kayu yang tak lagi biasa ini, membuat banyak orang menafikan. 

Bahwa ia tak mungkin mempunyai sifat balas dendam, dan tak akan menjadikan sebutan petugas partai sebagai godaan untuk tidak setia pada partai yang sudah menempanya menjadi tukang kayu yang tak lagi biasa.

Kendati begitu, banyak indikasi yang jauh lebih masuk akal dan bisa melunturkan kealiman dan tesis orang baik dari dirinya ketimbang hanya karena sebutan petugas partai. 

Seperti indikasi adanya isu keinginan dari ibu suri, isu keinginan melanjutkan cita-cita yang tidak bisa dipercayakan kepada orang lain kecuali keturunan atau orang-orang kepercayaannya, pengaruh lingkungan politiknya atau indikasi-indikasi lainnya yang membuat dirinya bisa tergoda sebagaimana iman penebang kayu alim, luntur oleh kompensasi uang di bawah bantal.

Entah indikasi yang mana telah membuatnya mengubah sikap dan perilaku, melawan dalam konteks menaklukkan banteng-banteng politik bagai kerbau dicocok hidungnya dengan menanggalkan atribut tukang kayu yang tak lagi biasa, saat dirinya mulai terbaca menyodorkan putranya untuk menggantikan kuasa. 

Lalu menjelmakan dirinya dengan memakai traje de luces, membawa muleta di tangan dan berdiri seumpama torero di kandang banteng serta dengan gagah berani melakukan aksi faena sampai membuat banteng-banteng mengembik di kandangnya sendiri. Sehingga layak disematkan kepadanya atribut maestro matador politik. Sang penakluk banteng.    

Akan tetapi berikutnya, setelah banteng-banteng dibuat mengembik di kandangnya, sekalipun nyata-nyata kemenangan atas putranya diraih lewat perolehan suara terbanyak, sejumlah masyarakat bersikeras kemenangan itu datang dari abuse of power dan sederet kecurangan yang menghasilkan pemilih kotor (dirty vote). 

Kecurangan yang bahkan dikatakan terstruktur, sistematis dan masif itu akhirnya berubah jadi tuduhan yang lalu digugat.

Ragam tuduhan kecurangan yang tetap berkutat di Putusan MK Nomor 90, keberpihakan KPU, penggunaan bansos pakai APBN, mobilisasi aparat pemerintah, intimidasi konstituen dan money politics. 

Tapi tentu saja gugatan itu tak mengarah langsung pada tukang kayu yang tak lagi biasa ini, oleh karenanya kealiman dan tesis orang baik tak tergoyahkan seperti penebang pohon alim yang imannya langsung terjun oleh uang di bawah bantal. 

Hari-hari selanjutnya, dijelang akhir masa jabatan muncul lagi buah keputusan hukum yang kembali diduga ada cawe-cawe darinya saat keluar Putusan MA Nomor 23.

Lain waktu digunakan loyalitas insentif dan injak kaki atas dugaan campur tangan dalam pelaksanaan RUU Pilkada untuk menjegal Putusan MK Nomor 60 dan Nomor 70, dan banyak dugaan lainnya. Apakah dugaan-gugaan ini menunjukkan bahwa kealiman dan tesis orang baik cenderung meluntur atau musnah sama sekali, seperti keimanan penebang pohon alim yang tiba-tiba turun ke dasar saat menerima godaan uang di bawah bantal?   

Salah satu peristiwa yang juga diduga menjadi cara dalam melanggengkan narasi politik dinasti agar memiliki kendaraan politik bagi keturunan sang tukang kayu yang tak lagi biasa adalah pengunduran diri ketua umum partai berlambang pohon beringin, yang tentu saja sangat identik dengan riwayatnya sebagai tukang kayu yang sudah bukan lagi tukang kayu biasa. 

Dengan perkakas loyalitas injak kaki, katanya ia bergegas memangkas pohon beringin sebelum munas supaya hajat politiknya tuntas. Cerita ini pulalah yang lalu membesar dan menciptakan kelakar politik, yang menurut sejumlah tokoh merupakan kelakar politik terbaik tahun ini. 

"Sebesar-besar pohon, kalau melawan tukang kayu akan tumbang juga. Pohon beringin, pohon jati, itu gede banget. Tapi kalau ketemu tukang kayu jadi perabot lu. Dia (tukang kayu) punya perkakas," begitu kata Qodari, seorang konsultan politik yang tengah naik daun.

Dalam konteks tukang kayu yang tak lagi biasa dengan posisinya di puncak kuasa jelang akhir masa jabatan di negeri demokrasi, analogi penebang pohon alim yang kalah oleh tawaran Iblis melalui kompensasi uang seakan menjadi tidak sebanding. 

Sebab seolah ada ketidakselarasan konteks untuk membandingkan yang mana pohon keramatnya, siapa penyembahnya, siapa pengganti Iblisnya, apa penggodanya, bagaimana memposisikan objek dan subjek kalah dan menangnya. 

Tapi bagi para pendukungnya, sosok tukang kayu yang tak lagi biasa ini adalah pemimpin yang ter atau paling...baik, berprestasi, bersih, jujur tanpa noda. Sampai-sampai ada yang lantang berkata, akan tetap mendukung terus ke anaknya bahkan hingga ke cucunya jika usianya memungkinkan. 

Betapa dahsyat kealiman dan tesis orang baik yang tetap dianggap melekat pada tukang kayu yang tak lagi biasa ini. Apalagi setelah diketahui bahwa perkakas pertukangannya tidak lagi sekadar untuk mendesain bahan mentah kayu menjadi mebel, melainkan sudah mampu mencari sendiri bahan bakunya dengan menebang pohon beringin. 

Demikianlah kisah penebang pohon alim di negeri demokrasi. Kisah yang dikembalikan pada pembacanya untuk menebak atau menduga sendiri, yang kebenarannya terbiasa akan terungkap di masa depan tentang siapa dalam konteks demokrasi, orang yang keimanannya luntur dalam sekejap oleh kompensasi uang di bawah bantal. 

Di akhir cerita, satu hal yang harus tetap diingat dan digaungkan terus-menerus bahwa sejarah tak akan pernah membungkam tentang dia, yang menjadi inspirator bagi rakyat kecil untuk berani bercita-cita setinggi langit. 

Sebab dirinya merupakan bukti Presiden yang lahir bukan dari elite Jakarta, tidak berasal dari keluarga darah biru politik di Indonesia, bukan dari kalangan berpangkat atau pejabat. Bukan dari negarawan apalagi bangsawan. 

Dia hadir sebagai orang biasa, dari keluarga tukang kayu yang menjadi luar biasa karena mendapat kesempatan di negeri demokrasi, yang memungkinkan hal tersebut bisa terwujud. 

Jadi dia mewakili harapan,  kebanggaan, dan optimisme terhadap demokrasi bagi siapaun rakyat kecil yang punya cita-cita ingin menjadi pemimpin bangsa di negeri demokrasi. 

Referensi

https://news.detik.com/berita/d-2723393/bukan-tukang-kayu-biasa-ini-perjalanan-jokowi-ke-kursi-istana

https://timesindonesia.co.id/peristiwa-nasional/415015/jokowi-tukang-kayu-yang-berhasil-jadi-presiden-dua-periode

https://nasional.kompas.com/read/2019/10/20/18152721/pelantikan-jokowi-disorot-aktivis-ham-dulu-ramai-diarak-kini-dikawal-aparat?page=all

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun