Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Penebang Pohon Alim di Negeri Demokrasi

1 September 2024   00:46 Diperbarui: 1 September 2024   00:46 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Faktanya, saking meleburnya kealiman seorang yang disebut-sebut sebagai tukang kayu yang tak lagi biasa, jargon yang disematkan kepadanya sekaligus mem-branding "dirinya adalah kita" menjadi kekuatan narasi tentang 'tesis orang baik' dalam pertarungannya di pemilihan Presiden 2014.

Kealiman dan narasi tentang 'tesis orang baik' tersebut kemudian moksa ke dalam setiap jiwa-jiwa individu rakyat pendukungnya. 

Rakyat yang mendukungnya tiba-tiba merasa sama, menjadi alim dan orang baik. Sehingga bagi pendukungnya tak ada satu pun kesalahan dilakukan oleh sang tukang kayu yang tak lagi biasa ini. Harta dan jiwa siap dikorbankan terhadap orang-orang yang tidak sehaluan dengan mereka. 

Meskipun pernah meninggalkan Surakarta sebelum waktunya, dan akan berpamitan pada Jakarta sebelum saatnya demi maju ke kursi satu Republik Indonesia, mereka yakin dan percaya niat utama orang nomor satu Jakarta alias tukang kayu yang tak lagi biasa kala itu adalah keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 

Moksa rakyat pendukungnya ketika itu sampai membuat tukang kayu yang tak lagi biasa ini berdiri kokoh bak pohon keramat yang disembah-sembah lantaran kealiman dan tesis orang baiknya.

Terlebih ketika dirinya terbukti moncer memenangkan pemilu Presiden yang dilantik pada 20 Oktober 2014. Bahkan di periode berikutnya sang tukang kayu yang tak lagi biasa, menang di pemilu Presiden untuk kedua kalinya pada 2019.

Tapi kisah berbeda mulai dirasakan oleh sebagian besar masyarakat saat meritualkan kemenangan sosok yang telah menjelma bagai pohon keramat ini. 

Sebuah ritual dalam euforia demokrasi yang barangkali sudah ditinggalkan bila tak boleh disebut dilupakan, di prosesi pelantikan pertamanya bila dibandingkan dengan pelantikan kali kedua. 

Di 2014. Saat itu ia disambut ritual euforia rakyat lewat kirab budaya.  Tidak langsung menuju Istana, melainkan menuju Bundaran Hotel Indonesia (HI) untuk menemui masyarakat. 

Dari Bundaran HI, ia diarak dengan kereta kencana menuju Monas. Euforia itu menunjukkan pergerakkan tanpa jarak antara pemimpin negeri dengan rakyatnya. Membaur dalam tatap penuh semangat, berdiskusi lewat celoteh suka cita, bersama menutup telinga dari anjing menggonggong kafilah berlalu sampai saling bercerita tentang indahnya hari esok. Tentang janji-janji yang katanya akan ditepati. 

Ibarat pohon keramat yang masih dapat disentuh, dielus, dirangkul, dicium aromanya hingga bisa bersujud mengecup akar-akarnya dan meyakini bahwa ketika mulut merapal mantra lalu berucap memohon harap dengan tiga permintaan maka pasti akan dikabulkan dengan segera. Bukankah demikian janji Iblis yang dibisikkan lewat malih rupa ke bentuk manusia atau melalui para kuncen penjaga pada para penyembah pohon-pohon berhala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun