Maka alih-alih menyelesaikan kepemimpinan di Surakarta pada periode kedua, meritokrasi menjadi jalan baginya menuju Jakarta.Â
Tahun 2012 dia pun diajukan oleh partai berlambang banteng dan partai berlambang kepala burung garuda sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Melalui pertarungan dua putaran ia memenangkan kontestasi dan memimpin Jakarta.Â
Dari sinilah ia menunjukkan sosok alimnya dengan merakyat lewat blusukan ke pasar-pasar, ke lokasi-lokasi terpencil, ke sudut-sudut kota, ke tepian sungai hingga ke parit-parit atau gorong-gorong.
Hanya dua tahun memimpin Jakarta, lagi-lagi meritokrasi membawanya ke level yang lebih tinggi. Dirinya diajukan menjadi calon Presiden.Â
Luar biasa, kealiman mengiringi sekaligus membalap kemampuan dan prestasinya, jauh melewati tokoh-tokoh yang sudah lebih dahulu dan lebih lama berada di ruang politik. Apakah ia menolak?Â
Tentu saja tidak. Tetapi apakah posisinya identik dengan penebang pohon alim yang awalnya mampu mengalahkan Iblis, yang merubah dirinya menjadi manusia ketika coba menghalangi agar pohon keramat tidak ditebang?Â
Dan kemudian dengan strategi penawaran satu kenikmatan dunia agar pohon keramat tidak ditebang, keimanan penebang pohon alim akhirnya runtuh dalam sekejap hanya dengan tawaran kompensasi berupa uang dari Iblis, yang akan diberikan di bawah bantal tidur penebang pohon alim di setiap pagi hari.
Konteksnya tak sama. Namun penebang pohon alim terbujuk, tidak jadi menebang pohon keramat dan menyetujui janji Iblis dengan penawaran kompensasinya. Lalu menunggu uang datang di bawah bantalnya setiap pagi.
Sementara tukang kayu yang tak lagi biasa, terbujuk maju ke pemilihan Presiden yang tidak terbaca karena kompensasi kuasa, melainkan merujuk pada niat atau maksud untuk menunjukkan sikap peduli pada rakyat, yang akan jauh lebih efektif jika direalisasikan melalui posisi kursi satu Republik Indonesia ketimbang lewat area kursi satu Jakarta.Â
Hanya saja, kehadirannya yang terhitung baru di kancah politik dan asal muasalnya yang berangkat dari rakyat biasa menimbulkan tanya, apakah kesempatannya kali ini akan kembali moncer?
Dengan posisinya di kursi satu Jakarta yang baru dua tahun dijalani juga memunculkan tanya, apakah niatnya sungguh masih datang dari empati (rasa peduli) yang menjadi bagian dari kealimannya untuk menebang pohon kelaliman yang dilakukan oleh tangan-tangan kuasa terhadap rakyat ketika itu?Â