Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Indonesia Gawat Darurat, Awas Penggunaan Politik Diving!

23 Agustus 2024   15:28 Diperbarui: 24 Agustus 2024   14:05 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilkada Threshold. "Kawal Putusan MK!". Ini pesan yang terkandung dalam gambar burung garuda biru dengan latar belakang tulisan 'Peringatan Darurat'. 

Ketika Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang seharusnya menjadi kabar gembira bagi sejumlah partai hendak ditolak oleh Baleg DPR dengan revisi UU pilkada. 

Oleh karena itu rakyat bersuara melalui media sosial dan menyatakan Indonesia gawat darurat. 

Pernyataan tersebut terkandung lewat pesan 'peringatan darurat' untuk mengawal putusan MK yang bersifat final dan mengikat bagi semua, ternyata coba diakali, diabaikan dan akan dianulir Baleg DPR. 

Suara rakyat yang ditujukan untuk mengawal putusan MK kemudian bukan sekadar berbagi pesan di media sosial, tetapi dibuktikan dengan aksi turun ke jalan. Mahasiswa dan masyarakat dari berbagai elemen berkumpul, berorasi dan menuntut agar DPR tidak melawan dan mengubah putusan MK Nomor 60.

Tak hanya di Jakarta, aksi mengawal putusan MK juga terjadi di Yogyakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Sejumlah figur publik bahkan ikut berorasi di depan gedung DPR. 

Menyikapi aksi massa yang kian tak terbendung, yang oleh salah seorang politisi disebut sebagai kegaduhan, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menegaskan revisi UU Pilkada batal dilaksanakan. Ia menegaskan bahwa aturan pendaftaran Pilkada pada 27 Agustus 2024 mendatang tetap mengacu pada putusan MK terbaru.

Akan tetapi, poin mendasar dari pesan Indonesia gawat darurat bukan sekadar penegasan melainkan juga pengakuan bahwa apa yang telah telanjur menyebar di media sosial tentang penggunaan UU Pilkada berdasarkan putusan MK, yang dilawan atau ditolak DPR dan akan merujuk pada putusan MA adalah proses yang keliru.  

Terlebih informasi yang diterima oleh masyarakat bahwa mayoritas fraksi di DPR lebih condong untuk merujuk pada putusan MA diambil secara voting. Informasi lainnya mengatakan bahwa batalnya pengesahan revisi UU Pilkada ini karena hanya dihadiri 176 orang anggota DPR sehingga tidak memenuhi persyaratan kuorum karena kurang dari 50 persen plus 1 dari total jumlah anggota DPR yang sebanyak 575 anggota. 

Sehingga batalnya revisi UU Pilkada tidak memberi kesan pernyataan bahwa rencana DPR menganulir putusan MK dan tetap akan merujuk pada putusan MA bukanlah karena kekeliuran atau mengakui putusan MK, melainkan karena mekanisme kuorumnya tidak memenuhi syarat dan kencenderungan demi menghentikan suara rakyat di luar gedung DPR, yang dinilai sebagai kegaduhan. 

Maka dengan indikasi arogansi yang tetap dipertahankan, pesan 'Kawal Putusan MK' tidak boleh berhenti di sini. Masyarakat harus waspada dan terus mengawal hingga putusan MK benar-benar digunakan untuk dasar hukum UU Pilkada. Awas penggunaan politik diving di masa-masa injury time! Apa itu politik diving?

Sepak bola mendefisinikan diving sebagai tindakan berpura-pura terjatuh atau kesakitan untuk mendapatkan hadiah penalti atau tendangan bebas. Juga berharap wasit tidak melihatnya sebagai kepura-puraan dan pemain lawan akan menerima kartu kuning atau kartu merah atas tindakan tersebut. 

Diving merupakan pelanggaran yang tidak sportif, yang pelakunya dapat dikenakan sanksi kartu kuning hingga kartu merah oleh wasit. 

Seorang pemain sepak bola profesional dan ternama, Neymar, bahkan dijuluki sebagai 'raja diving'. Dikutip dari bola.net, stasiun televisi Swiss, RTS, menghitung secara detail berapa lama waktu yang dihabiskan Neymar untuk terkapar di tanah pada Piala Dunia 2018. Sebab Neymar menjadi pemain yang paling banyak dilanggar. 

Secara keseluruhan, dalam empat pertandingan bersama Brasil, Neymar sudah menghabiskan hampir 14 menit. Yang paling lama adalah ketika laga melawan Meksiko di babak 16 besar lalu. 

Wasit menghabiskan 5,5 menit karena Neymar dilanggar atau sedang terkapar. Insiden yang paling lama adalah ketika Neymar berguling-guling setelah diinjak Miguel Layun.

Tetapi aksi Neymar kemudian direspon oleh masyarakat pencinta sepak bola sebagai aksi diving yang berlebihan, dan Neymar menjadi olok-olok netizen terutama para penggemar sepak bola. 

Olok-olok aksi diving Neymar banyak dibuat dalam bentuk meme gambar atau video hingga ada yang membuatnya menjadi game digital.

Beralih ke politik. Dalam dunia politik, tindakan pura-pura juga sering dilakukan demi mendapatkan simpati dan kepercayaan dari masyarakat agar sementara waktu pelaku pura-pura dapat menyembunyikan dan menguatkan niat atau keinginan yang sebenarnya.

Sulistyowati Irianto, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonseia mengatakan, "Publik tetap berisiko kena prank dari DPR RI dan Pemerintah. Ia menyerukan, "Belum boleh lengah. Meskipun langit runtuh, kita (masyarakat) harus tetap berpihak pada konstitusi".  

Itulah politik diving yang dimaksud, dan dalam mengawal putusan MK politik diving patut diawasi agar tidak digunakan dalam proses revisi UU Pilkada yang sempat dicurigai oleh sejumlah orang akan tetap dilakukan saat masyarakat lengah. 

Sebab dicurigai revisi UU Pilkada hanya ditunda sementara waktu agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, demi memuaskan aspirasi masyarakat yang melakukan aksi dan menarik simpati bahwa DPR tidak searogansi apa yang ada di pikiran masyarakat pelaku aksi demo. Apakah politik diving pernah digunakan?    

Bila merujuk pada makna politik diving yang berarti tindakan pura-pura yang dilakukan atau diungkapkan oleh seseorang atau sekelompok orang demi mendapatkan simpati dan kepercayaan dari masyarakat dalam upaya menyembunyikan atau menguatkan niat atau keinginan sebenarnya di balik tindakan pura-puranya, ada indikasi bahwa politik diving telah dilakukan oleh Presiden Jokowi pada momentum pemilu 2024. 

Politik diving terindikasi digunakan pada momentum pilpres 2024. Sebelumnya Jokowi membantah soal isu Gibran yang akan dicalonkan menjadi pasangan Prabowo di Pilpres 2024 (4/5/2023). Menurutnya, umur Gibran yang belum memenuhi kriteria batas usia capres-cawapres. 

Selain itu, Gibran baru dua tahun menjabat sebagai Wali Kota Surakarta. Maka, ungkapan tersebut dinilai tidak logis. 

Bantahan tersebut juga telah beredar luas di media sosial dalam konten-konten yang diunggah ulang oleh banyak kreator konten. Mengapa momentum ini terindikasi sebagai politik diving?

Premis yang terbangun dalam bantahan Jokowi tentang kriteria batas usia capres-cawapres sudah jelas dan terang-terangan. Jowoki juga menyebut kata logis. Artinya, bahwa berdasarkan umur, memajukan Gibran sebagai cawapres adalah tindakan tidak logis.

Namun faktanya, kepura-puraan dalam premis usia hanya untuk menyembunyikan dan menguatkan niat atau keinginan sebenarnya. 

Indikasinya bisa terbaca melalui Putusan MK Nomor 90, sebuah inkonsistensi yang terbuka dan secara terang-terangan melakukan politik diving. Bagaimana menurut pembaca! 

 

Referensi

https://www.bola.net/piala_dunia/di-piala-dunia-ini-neymar-sudah-terkapar-total-14-menit-692933.html

https://www.kompas.tv/talkshow/457150/gibran-jadi-bacawapres-pengamat-inkonsistensi-jokowi-rosi

https://www.youtube.com/results?search_query=jokowi+sebut+gibran+belum+cukup+umur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun