Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Beda Salah Tangkap dan Sengaja Ditangkap dalam Perspektif 'Tukpal'

5 Juli 2024   05:26 Diperbarui: 5 Juli 2024   05:29 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oman saat menerima uang ganti rugi atas kasus salah tangkap. Sumber gambar: Dok.Polres Lampung Utara/kompas.com

Bagi sebagian besar masyarakat yang sedang menyoroti kasus Vina-Eky Cirebon, apa yang tersaji di televisi dan/atau ruang digital sungguh sangat mencengangkan sekaligus prihatin. Reaksi itu menyusul apa yang diungkapkan oleh Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Sandi Nugroho pada jumpa pers, Kamis, 20 Juni 2024, yang mengatakan  bahwa proses penyidikan di 2016 oleh penyidik sudah sesuai dengan ketentuan dan tidak melanggar etik. 

Lebih mencengangkan lagi saat dalam konferensi pers tersebut, ditunjukkan barang bukti petunjuk berupa foto keluarga yang di dalamnya terdapat foto tersangka, yang bagi sebagian besar ahli hukum dan masyarakat tidak memiliki korelasi terhadap penetapan sebagai tersangka. 

Terlebih ketika bukti petunjuk foto yang ditayangkan dikonfrontir masyarakat ke sejumlah ahli hukum, kesaksian dan berbagai petunjuk digital yang dikemukakan oleh banyak netizen, ketidaklogisan keterkaitan antara foto dengan penetapan tersangka semakin jelas. 

Sementara dari sudut pandang perilaku sosial digital, apa yang sedang dilakukan dalam konferensi pers tersebut cenderung menjadi bagian dari upaya untuk menciptakan ruang disorientizen. Yaitu sebuah ruang digital untuk memecah konsentrasi publik digital atau warganet terhadap waktu, tempat dan orang sehingga mengubah persepsi dan penilaian salah atau benar, baik atau buruk, fakta atau fiktif, jujur atau bohong, bukti atau bukan, dan dualisme penilaian pembanding lainnya, yang tentunya untuk berharap mendapatkan dukungan ulang terhadap kasus. Apa makna disorientizen sesungguhnya? 

Disorientizen adalah kondisi seseorang atau sekelompok orang yang kehilangan kemampuan mengenali lingkungan (ruang, waktu dan orang) di dunia digital oleh sebab terhambatnya kemampuan nalar melogiskan ruang, waktu dan orang dalam interaksi media sosial. 

Ketidakmampuan nalar mengejar kecepatan teknologi menjadi penyebab seseorang atau sekelompok orang mengeluarkan argumentasi yang bersifat apologi, kesepemahaman yang berbeda atau sama sekali tidak memahami konten atau konteks. Tentu bisa dibayangkan apa tujuannya ketika ruang disorientizen ini sengaja diciptakan? 

Untuk lebih memahami ruang disorientizen (disorientizen chamber) yang cenderung coba diciptakan atau tercipta dengan sendirinya di dunia digital di kasus Vina-Eky Cirebon diawali dengan hilangnya kepastian detik, menit dan jam dalam waktu kejadian. Sebab semua informasi pasti tentang waktu kejadian hanya mengarah pada tanggal kejadian saja, yaitu tanggal 27 Agustus 2016. 

Sedangkan untuk kepastian detik, menit dan jam terdapat banyak perbedaan antara seorang saksi dengan saksi lainnya atau antara satu sumber berita dengan sumber berita lainnya. 

Salah satu contoh terciptanya disorientizen waktu adalah ketika terhitung sejak film "Vina Sebelum 7 hari" tayang perdana di bioskop pada tanggal 8 Mei 2024, seharusnya jarak antara tanggal kejadian kasus ke tanggal tayangan perdana filmnya, kurang lebih 7 tahun 4 bulan 11 hari atau belum masuk ke tahun ke 8 yang akan jatuh di tanggal 27 Agustus 2024. 

Tetapi di titik itu, disorientizen mulai terbaca saat sejumlah orang mengatakan bahwa kasus sudah berjalan 8 tahun bahkan ada yang menyebutnya 9 tahun. Padahal perlu diingat, waktu dapat mengubah apapun hanya dalam hitungan detik.

Begitupun akhirnya pada tempat kejadian perkara (TKP), dan orang-orang yang diduga pelaku serta saksi-saksi yang kemudian bermunculan, bahkan barang bukti berupa CCTV yang dikonfrimasi keberadaannya oleh salah seorang kuasa hukum tapi tak pernah dibuka, yang membuat masyarakat seolah dibikin kehilangan kemampuan bersepakat menalarkan ruang (tempat kejadian perkara), waktu (2016 dan/atau 2024), orang (pelaku dan saksi-saksi) dan bukti. Sampai pada fakta akhirnya, logika masyarakat cenderung dipengaruhi oleh masing-masing apologi yang dibangun meskipun pertahanan pembelaan atas apologi tersebut jauh dari kelogisan.   

Oleh karena itu, ruang disorientizen yang kini cenderung diciptakan atau tercipta di kasus Vina-Eky Cirebon di ruang digital, yang disebabkan oleh apalogi (memaksakan persepsi), ketidaksepemahaman persepsi (seakan dipaksa memahami) atau ketidakpahaman konten atau konteks (terpaksa memahami), yang dilakukan oleh salah satu kubu membuat semakin terang bahwa ada yang ingin ditutupi dalam kasus itu. 

Tapi tentunya, salah satu kubu ada di pihak yang benar, dan tidak berupaya membuat kasus terdistorsi apalagi menciptakan disorientizen. Hanya saja, masih sulit diketahui secara pasti mana pihak yang benar walaupun dengan kecenderungan salah satunya lebih dominan benar. Begitulah cara kerja disorientizen yang diciptakan atau tercipta di ruang digital. Lalu bagaimana dengan posisi tersangka? 

Status tersangka yang ditetapkan pada salah seorang dari tiga orang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) di 7 tahun lebih setelah kejadian atas kasus Vina-Eky Cirebon pada ujungnya juga menciptakan ruang disorientizen saat dua DPO lainnya dinyatakan tidak ada alias fiktif meski padahal dua DPO tersebut memiliki peran yang jelas di dalam BAP. 

Maka seharusnya diketahui untuk disepakati bahwa dari sanalah kemudian terdapat sejumlah kronologis yang tidak berkesesuaian dengan logika sehingga sebagian besar masyarakat awam hukum, ahli hukum dan banyak pakar lainnya menilai atau mempersepsikan bahwa penetapan Pegi Setiawan sebagai salah tangkap. Benarkah salah tangkap?

Sebelum membedakan antara salah tangkap dan sengaja ditangkap karena disebut dalam daftar pencarian orang (DPO) atau buronan yang dalam waktu tertentu belum mampu ditangkap, orang-orang yang sengaja ditangkap ternyata tidak selalu karena telah diputus DPO, buron, bersalah atau menjadi tersangka atas sebuah kasus, melainkan sengaja ditangkap untuk mengganti kepala atau istilah lainnya tukar kepala, singkat saja 'tukpal'. Sebuah istilah untuk merujuk pada tumbal kriminal, yaitu orang atau sekelompok orang tidak bersalah yang diumpankan atau sengaja dibuat bersalah untuk menggantikan pelaku sebenarnya. 

Di dalam pergaulan sosial masyarakat yang erat kaitannya dengan dunia kriminal, tumbal kriminal atau tukpal sudah kerap terjadi. Biasanya dilakukan oleh orang tak dikenal, teman atau sanak saudara kepada orang tak dikenal, teman atau sanak saudara lainnya dengan tujuan untuk menjebak atau membuat diri (pelaku kriminal) aman dari konsekuensi atau dampak hukum yang dapat menjerat dirinya atas perbuatan kriminal yang dilakukannya. 

Sehingga perbuatan menyodorkan orang tak dikenal, teman atau sanak saudara yang diumpankan membuat konsekuensi hukum atau dampak hukum akan beralih atau dialihkan pada orang tak dikenal, teman atau sanak saudara yang menjadi umpan karena tidak mengetahui bahwa dirinya sedang dijebak atau sengaja diumpankan untuk menggantikan peran atas suatu perbuatan melawan hukum. 

Dalam pergaulan sosial masyarakat yang berhubungan dengan dunia kriminal terdapat banyak kisah yang dapat menggambarkan peristiwa tukpal. Salah satunya adalah kisah berikut; beberapa tahun lalu di suatu wilayah Jakarta, ada seorang pengedar narkoba yang tertangkap oleh aparat kepolisian dan sedang berada dalam proses penahanan di kantor polisi sektor. 

Suatu hari, salah seorang anak buahnya diminta untuk menjenguk dan mengantarkan sarapan pagi untuknya. Sebagai anak buah yang setia, ia berusaha melaksanakan permintaan pimpinannya dengan membelikan bubur ayam dan mengutus dua orang temannya untuk menggantikan dirinya menjenguk dan mengantar bubur ayam untuk sarapan pagi. Tetapi tahukah apa yang terjadi?

Saat petugas jaga memeriksa bungkusan bubur ayam, di dalam menu bubur ayam itu ternyata terdapat bungkusan plastik klip berukuran kecil yang di dalamnya berisi bubuk putih seperti gula atau garam. Bubuk putih itu tentu saja adalah salah satu jenis narkoba serbuk.

Atas temuan serbuk narkoba tersebut, kedua pengantar yang tidak mengetahui ada sesuatu yang tersembunyi di balik menu bubur ayam langsung ditahan untuk diproses hukum. Tetapi alih-alih diproses secara hukum dengan mengacu pada barang bukti, pada kasus semacam itu seringkali terindikasi sebagai salah satu strategi yang disebut tukar kepala.  

Tukar kepala merupakan istilah yang cenderung digunakan pada kasus-kasus narkoba untuk tujuan meringankan hukuman bagi pelaku yang sudah tertangkap dengan cara membawa orang lain untuk jadi tersangka dikasus yang sama, dan indikasi lain yang membuat istilah tukar kepala marak terjadi adalah kemungkinan keuntungan finansial atau kenaikan pangkat bagi aparat penegak hukum yang menangani kasus. 

Begitulah salah satu indikasi terjadinya peristiwa tukpal atau tumbal kriminal yang dialami oleh dua orang pengantar bubur ayam, yang tidak bisa membuktikan dirinya tidak bersalah lantaran dijebak atau tidak mempunyai unsur kesengajaan membawa narkoba tapi tertangkap tangan melakukan perbuatan melanggar hukum. Namun pada kenyataannya, tumbal kriminal atau tukpal tidak hanya terjadi pada ruang lingkup kasus narkoba atau merujuk pada pendefinisian tukar kepala dalam arti sempit hanya di kasus narkoba. 

Di kasus Ferdy Sambo misalnya, ada sebuah berita yang nyaris luput dari sorotan, yaitu informasi  tentang seorang perempuan yang menggunakan kaos bergambar Ferdy Sambo menerobos persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 29 November 2022 lalu. Aksi perempuan yang kemudian diketahui bernama Syarifah Ima tersebut menunjukkan bahwa Syarifah Ima adalah penggemar berat Ferdy Sambo dan siap menggantikan hukuman yang bakal diterima oleh Ferdy Sambo. 

Aksi yang dilakukan oleh Syarifah Ima dan pernyataannya tentang kesiapan menggantikan hukuman  mengarah pada peristiwa tumbal kriminal atau tukpal yang diajukan secara langsung. Tapi tentu saja, tidak ada undang-undang yang dapat merealisasikan itu, sekalipun Syarifah Ima mempunyai keberanian untuk membuktikan ucapannya. 

Pada kasus lainnya, yang terekam pada sebuah portal berita detik.com dengan judul 'Rela Meringkuk di Penjara Karena Terbelit Utang', peristiwa hukumnya dapat dimasukkan ke dalam kategori tukpal atau tumbal kriminal yang dilakukan sebagai proses tukar kepala dengan kesepakatan sejumlah bayaran. 

Di artikel berita itu disebutkan bahwa kasus penukaran tahanan di Lapas Klas IIA Bojonegoro benar-benar mencoreng hukum di Indonesia. Kasiem (55) terpidana kasus penyelewengan pupuk digantikan oleh Karni (50) warga Dusun Kalipang, Desa Leran, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro dengan imbalan uang Rp 10 juta.

Berdasarkan kasus-kasus atau peristiwa hukum yang pernah terjadi dengan tambahan informasi adanya implementasi tukpal atau tumbal kriminal, maka tukpal didefinisikan sebagai upaya seseorang atau sekelompok orang dalam melakukan penolakan terhadap suatu kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan seseorang atau kelompok tersebut, dengan cara menyodorkan sesosok atau sekelompok orang sebagai peran atau pelaku pengganti perbuatan jahat melalui cara-cara tertentu atas motif dendam, imbalan ekonomi, mendapatkan keringanan hukuman, klaim prestasi, menjaga nama baik seseorang atau sekelompok orang yang berbuat jahat, melindungi atau menyembunyikan kejahatan lebih besar dan/atau motif lainnya. 

Beranjak dari perspektif tukpal itulah salah tangkap dan sengaja ditangkap pada suatu peristiwa hukum dapat dibedakan. Kemudian kembali pada kasus Vina-Eky Cirebon, ketika Pegi Setiawan pada 21 Mei 2024 lalu ditetapkan sebagai tersangka, narasi yang berkembang di masyarakat terutama di dunia digital, dinilai sebagai kasus salah tangkap atau ada yang menyebutnya error in persona.

Salah tangkap itu sendiri bisa diartikan sebagai orang-orang yang secara individu maupun kolektif ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa, atau terpidana ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain serta membuat menderita secara fisik maupun mental yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau kesalahan proses penyidikan ataupun penahanan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. 

Di sisi lain, ada orang-orang yang secara individu ataupun kolektif disebut sebagai DPO (Daftar Pencarian Orang) atau yang dijadikan target tangkap setelah ditetapkan sebagai tersangka karena terduga kuat, sudah terbukti atau tertangkap mata melakukan aksi kejahatan atau tindak pidana tapi kemudian melarikan diri atau bersembunyi untuk menghindari kejaran aparat penegak hukum dan berupaya lari dari tanggung jawab hukum atas perbuatannya. 

Pada kontek itu, DPO atau target tangkap adalah orang-orang ataupun sekelompok orang yang masih dalam pengejaran atau buruan, yang kelak akan sengaja ditangkap berdasarkan hasil penyelidikan, penyidikan atau hasil putusan pengadilan sesuai dengan Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.    

Namun di luar ketentuan DPO atau target tangkap yang diputus berdasarkan Undang-undang Acara Pidana yang berlaku, bila melihat fakta yang terjadi, dan dikorelasikan ke dalam perspektif tukpal, orang-orang yang secara individu maupun kolektif sengaja ditangkap tidak melulu merupakan DPO atau target tangkap yang diburu aparat karena melarikan diri, kabur atau bersembunyi. 

Dalam perspektif tukpal, sengaja ditangkap ialah upaya menyodorkan orang secara individual atau kolektif untuk menggantikan peran atau pengganti pelaku kejahatan atau tindak kriminal, yang diantara korbannya bukan saja tidak melakukan perbuatan jahat atas apa yang dituduhkan, disangkakan, dialihkan atau dialamatkan kepadanya, tetapi bahkan tidak mengetahui atau tidak terkait sama sekali dengan kasusnya. 

Parahnya, sengaja ditangkap dalam perspektif 'tukpal' dengan menyodorkan sesosok atau sekelompok orang sebagai peran atau pelaku pengganti perbuatan jahat, cenderung ditempuh melalui cara-cara tertentu, seperti lewat jebakan, intimidasi, paksaan hingga penyiksaan fisik atau mental untuk mendapatkan pengakuan, yang dilakukan atas motif dendam, imbalan ekonomi, mendapatkan keringanan hukuman, klaim prestasi, menjaga nama baik seseorang atau sekelompok orang yang berbuat jahat, melindungi atau menyembunyikan kejahatan lebih besar dan/atau motif lainnya, yang tidak mengacu pada Undang-undang Acara Pidana yang berlaku. 

Jika demikian, masuk kategori manakah kasus Sengkon Karta 1974, 6 (enam) pengamen di kasus pembunuhan Dicky di Cipulir 2013, Mbah Oman di kasus perampokan Lampung Utara 2017, dan Pegi Setiawan di kasus Vina-Eky Cirebon 2016? Salah tangkap atau sengaja ditangkap dalam perspektif tukpal? 

Referensi

https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-1537575/rela-meringkuk-di-penjara-karena-terbelit-utang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun