Dalam perkembangannya, ada yang memaknakan kata stigma sebagai pandangan orang yang menilai diri seseorang negatif, hal yang dilakukan negatif sampai pikirannya pun negatif.
Pada kamus oxford stigma dimaknai dengan 'a mark of disgrace associated with particular circumstans, quality of persons' (suatu cap keaiban yang berkenaan dengan keadaan, mutu atau seseorang). Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya.
Kemudian pada penggunaannya, ada yang sesekali menggabungkan kata stigma dengan kata negatif; 'stigma negatif'. Padahal kata stigma sudah mengandung makna negatif sehingga bila digabungkan dengan kata negatif, kata tersebut sudah masuk dalam gaya bahasa pleonasme (pemakaian kata-kata yang lebih daripada yang diperlukan).
Sementara di lain kesempatan, ada yang memasangkan kata stigma dengan kata positif. Stigma positif  cenderung dimaksudkan untuk menunjukkan makna sebaliknya dari stigma itu sendiri. Namun memasangkan kata stigma dengan positif justru bisa menimbulkan persepsi yang ambigu.
Untuk menghindari gaya bahasa pleonasme pada penggunaan kata stigma, tidak hanya sekadar penulisannya yang harus berdiri sendiri, melainkan memunculkan juga istilah sebaliknya agar tidak tidak terjadi persepsi ambigu saat digunakan, spatles hadir sebagai kosakata baru untuk mendefinisikan kebalikan dari makna stigma, dan sekaligus ikut memperkaya perbedaharaan kosakata Bahasa Indonesia. Â
Oleh karena pandangan penilaian orang terhadap orang lainnya tidak melulu negatif, seperti yang dialami oleh cerita anak laki-laki tadi, yang sampai dewasanya masih terus dispatles. Sebuah istilah yang lebih tepat untuk disebut pada orang-orang yang memiliki ciri positif yang menempel pada pribadinya, daripada 'stigma positif' yang ambigu.
Spatles diambil dari kata spotless; bersih; tak bernoda (Inggris), selanjutnya diartikan sebagai ciri positif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Pandangan penilaian sebagai suatu cap kebaikan yang berkenaan dengan keadaan, mutu atau seseorang. Pandangan orang yang menilai diri seseorang positif, hal yang dilakukan positif sampai pikirannya pun positif.
Kembali ke kisah di atas. Puluhan tahun kemudian, anak laki-laki itu tumbuh dewasa dan masih dalam kegamangannya. Dia masih belum menemukan kesuksesannya. Bahkan di kantor tempatnya bekerja, posisinya tak pernah beranjak meskipun sudah dua puluh lima tahun lamanya di sana. Cita-citanya tak berbekas. Semua spatles yang dialamatkan kepadanya bahkan sampai hari ini, masih cenderung memolusi dirinya. Â Â Â Â
Untuk itu, respon atau reaksi yang perlu diperhatikan oleh para spatletis atau stigmatis (orang yang mengalami atau terkena spatles atau stigma) ketika spatles atau stigma tersebut mulai memengaruhi pikirannya, bukanlah kandungan positif atau negatifnya pandangan penilaian, melainkan apakah kandungan positif atau negatifnya pandangan penilaian itu dapat membuat para spatletis atau stigmatis termotivasi. Bukan terfolusi. Â Â
Tidak ada manusia maha tahu, yang mengetahui seluruh aktivitas, pengalaman atau kehidupan orang lain. Karena itu setiap manusia tidak lepas dari spatles dan stigma. Apa yang dapat dilakukan oleh para spatletis atau stigmatis adalah bagaimana sikapnya terhadap pandangan penilaian orang tentang dirinya.
Kekeliuran dalam menyikapi penilaian orang lain tentang dirinya, entah spatles atau stigma, keduanya dapat menempatkan para spatletis atau stigmatis pada kegagalan. Kunci utama dalam menyikapi spatles atau stigma yang bisa dilalukan oleh para spatlestis atau stigmatis agar tidak keliru langkah adalah dengan motivasi diri yang terus terjaga.     Â