Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apa itu Spatles?

22 April 2024   12:59 Diperbarui: 22 April 2024   13:03 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: jurnalpost.com pada artikel M. Thaufan Arifuddin judul Mengenal Neologisme Ideologi

Siang itu sekira tahun 1986. Seorang anak berusia belasan tahun tengah menggelar sajadah di antara orang-orang yang telah lebih dulu membuat barisan salat di sebuah mesjid. Baru saja dia duduk pada hamparan sajadah yang digelarnya, seorang laki-laki muda dari barisan depan menoleh ke belakang dan berkata pada seorang muda lainnya yang duduk bersila di samping kiri sang anak.

"Ini anak yang pintar itu ya? Yang juara kelas. Dari tampangnya memang kelihatan cerdas. Besar nanti pasti jadi orang sukses"

Anak laki-laki itu hanya memandang dingin kepada dua laki-laki muda yang sedang bercakap-cakap. Lalu mengedar pandang ke sekeliling. Tak ada anak lain di barisan situ. Bila laki-laki muda yang ditanya tak menyahut, anak itu sama sekali tak menduga bahwa spatles itu ditujukan untuk dirinya sebab dia tak mengenal kedua pemuda.

"Iya betul anak ini" sahut laki-laki muda yang ditanya sambil menepuk bahu si anak.

Spatles yang ditujukan kepada anak laki-laki itu bukan terjadi sekali. Di lingkungan tempat tinggalnya, spatles terus berdatangan dari orang-orang di sekitarnya. Baik dari orang-orang yang dikenal maupun orang-orang yang tak dikenalnya.

Tahun terus berganti. Anak itu juga tumbuh seperti anak-anak lainnya. Setamat Sekolah Dasar Negeri (SDN), dia diterima pada sebuah Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN). Dia menjadi satu-satunya murid yang diterima dan bersekolah di SMP Negeri yang berasal dari SDN tersebut setelah seorang teman lainnya yang juga diterima di SMP Negeri lebih memilih bersekolah di SMP swasta. Spatles tertuju lagi padanya.

Di bangku sekolah SMP, dia dispatles lagi. Patuh, pendiam, rajin belajar, tidak pernah membolos, taat beribadah dan lainnya. Sangat sedikit stigma yang pernah singgah pada dirinya. Meski postur tubuhnya kala itu terbilang paling kecil dan pendek di antara teman-teman sebaya satu sekolahnya---yang bisa saja mengundang perisakan atau stigma berulang baginya, tetap  saja ia lebih sering menernima spatles.   

Saat kelulusan SMP, dia terima sebuah amplop berisi selembar kertas seukuran A5 yang menunjukkan bahwa nilai hasil ujiannya dinyatakan layak  untuk mendaftar pada Sekolah Teknik Menengah Negeri Grafika yang menjadi pilihannya. Hatinya gembira. Namun kegembiraannya tidak sempurna karena untuk diterima sebagai murid STMN Grafika harus melalui serangkaian tes yang tidak mudah.

Baca juga: Soliderit

Mengapa orang tak henti memberikan spatles pada dirinya tanpa menggali lebih jauh untuk melihat keadaan yang sebenarnya? Barangkali kita memang memiliki kecenderungan menilai segala sesuatu hanya dari apa yang dilihat dan didengar tanpa perlu mengetahui kebenarannya.  

Orang-orang yang melalukan spatles pada anak yang di tahun 1986 berusia belasan tersebut tidak tahu kebenarannya. Anak itu memang juara di tingkat Sekolah Dasar (SD) saat kelas lima dan enam, yang orang tidak tahu adalah jumlah murid di kelasnya kala itu hanya belasan. Sebab Sekolah Dasar Negeri tempatnya bersekolah saat itu merupakan sekolah yang baru saja berdiri dan murid-murid kelas dua hingga kelas lima adalah murid-murid pindahan. Belum ada kelas enam di tahun pertama Sekolah Dasar Negeri itu ketika memulai kegiatan belajar mengajarnya.

Orang tidak tahu jika selama menjadi murid SMP anak itu tak pernah masuk rangking. Orang tidak pernah tahu bahwa anak itu penakut, pengecut, introvert akut. Orang tidak tahu bahwa anak itu gagal masuk Sekolah Menengah Teknik Grafika lantaran tidak lulus tes warna dan tes fisik. Tak banyak orang tahu bahwa anak itu akhirnya memutuskan jeda sekolah, nyantri dan pulang dari pesantren setelah hanya menjalaninya tiga bulan.

Orang tak pernah tahu bahwa ketika anak itu akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah agama setelah setahun vakum dari belajar formal, ia sama sekali tak mengerti bahasa Arab yang telah dipelajarinya selama tiga tahun.

Orang juga tak pernah tahu saat naik ke kelas 2 (dua) dan tiba memilih penjurusan, anak itu inginnya masuk jurusan sosial tapi guru wali kelasnya melakukan spatles. Kemudian meminta dirinya masuk kelas fisika, dan anak itu tak bisa menolak. Di kelas fisika anak itu tak punya prestasi.

Anak itu terus tumbuh dewasa. Setamat sekolah agama (Madrasah Aliyah) yang sederajat Sekolah Menengah Atas (SMA), dia tak lanjut kuliah. Selain gagal ikut tes perguruan tinggi negeri di sana-sini, orang tuanya tak mampu membiayainya kuliah di perguruan tinggi swasta. Dan sedikit orang yang tahu bahwa dia sempat mendapatkan pekerjaan beberapa kali tetapi keluar dari pekerjaan itu tak lebih dari tiga bulan. Mentalnya lemah. motivasinya nyaris nol. 

Ketika pada akhirnya orang tahu bahwa dirinya tidak kuliah, tidak bekerja dan menganggur, lagi-lagi spatles masih terjadi. Suatu hari saat dirinya duduk dalam menganggurnya, seorang teman kakaknya berkata, "Ini nih anak muda cerdas. Bakal kerja enak di perusahaan hebat dengan karir moncer. Kelak pasti sukses buka usaha sendiri"

Hingga tiba pada waktunya ia mendapatkan pekerjaan, spatles pada dirinya masih terus berlanjut. Bahkan pernikahannya diduga terjadi akibat spatles orang lain atas dirinya. Apakah spatles berdampak baik?  

Apa yang pernah orang lain nilai tentang diri kita? Positif atau negatif? Dispatles atau distigma? Boleh jadi setiap hari kita mendapat spatles atau stigma. Namun apapun penilaian yang kita terima, hal terpenting adalah bagaimana menyikapinya. Apakah spatles atau stigma tersebut memotivasi atau malah memolusi?

Dari sisi psikologis, menurut Goffman (1963) stigma adalah diskredit atribut secara luas yang dilekatkan kepada seorang individu yang dapat mengurangi inidividu tersebut dari keseluruhan dan kebiasaan yang dimiliki individu tersebut sampai pada tahap yang sangat rendah. 

Stigma sendiri dalam bahasa Inggris  berarti aib; noda; cacat, maupun bahasa Indonesia merupakan pinjaman kata dari bahasa Latin stigmata-stigma, yang berarti sebuah 'tanda, cap'. Dan juga dari bahasa Yunani Kuno stizein yang berarti 'untuk dirajah'.

Sumber lainnya mengatakan stigma berasal dari bahasa Latin yang berarti luka potong atau bekas luka. Bentuk jamaknya disebut stigmata yang dalam Gereja Katolik diartikan sebagai tanda luka-luka  dalam diri seseorang, yang sama persis dengan luka-luka Yesus akibat derita penyaliban. Sedangkan orang yang mengalaminya disebut stigmatis. Dalam perkembangannya, ada yang memaknakan kata stigma sebagai pandangan orang yang menilai diri seseorang negatif, hal yang  dilakukan negatif sampai pikirannya pun negatif.

Pada kamus oxford stigma dimaknai dengan 'a mark of disgrace associated with particular circumstans, quality of persons' (suatu cap keaiban yang berkenaan dengan keadaan, mutu atau seseorang). Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya.

Kemudian pada penggunaannya, ada yang sesekali menggabungkan kata stigma dengan kata negatif; 'stigma negatif'. Padahal kata stigma sudah mengandung makna negatif sehingga bila digabungkan dengan kata negatif, kata tersebut sudah masuk dalam gaya bahasa pleonasme (pemakaian kata-kata yang lebih daripada yang diperlukan).

Sementara di lain kesempatan, ada yang memasangkan kata stigma dengan kata positif. Stigma positif  cenderung dimaksudkan untuk menunjukkan makna sebaliknya dari stigma itu sendiri. Namun memasangkan kata stigma dengan positif justru bisa menimbulkan persepsi yang ambigu.

Untuk menghindari gaya bahasa pleonasme pada penggunaan kata stigma, tidak hanya sekadar penulisannya yang harus berdiri sendiri, melainkan memunculkan juga istilah sebaliknya agar tidak tidak terjadi persepsi ambigu saat digunakan, spatles hadir sebagai kosakata baru untuk mendefinisikan kebalikan dari makna stigma, dan sekaligus ikut memperkaya perbedaharaan kosakata kata Bahasa Indonesia.  

Oleh karena pandangan penilaian orang terhadap orang lainnya tidak melulu negatif, seperti yang dialami oleh cerita anak laki-laki tadi, yang sampai dewasanya masih terus dispatles. Sebuah istilah yang lebih tepat untuk disebut pada orang-orang yang memiliki ciri positif yang menempel pada pribadinya, daripada 'stigma positif' yang ambigu.

Spatles diambil dari kata spotless; bersih; tak bernoda (Inggris), selanjutnya diartikan sebagai ciri positif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Pandangan penilaian sebagai suatu cap kebaikan yang berkenaan dengan keadaan, mutu atau seseorang. Pandangan orang yang menilai diri seseorang positif, hal yang dilakukan positif sampai pikirannya pun positif.

Kembali ke kisah di atas. Puluhan tahun kemudian, anak laki-laki itu tumbuh dewasa dan masih dalam kegamangannya. Dia masih belum menemukan kesuksesannya. Bahkan di kantor tempatnya bekerja, posisinya tak pernah beranjak meskipun sudah dua puluh lima tahun lamanya di sana. Cita-citanya tak berbekas. Semua spatles yang dialamatkan kepadanya bahkan sampai hari ini, masih cenderung memolusi dirinya.       

Untuk itu, respon atau reaksi yang perlu diperhatikan oleh para spatlestis atau stigmatis (orang yang mengalami atau terkena spatles atau stigma) ketika spatles atau stigma tersebut mulai memengaruhi pikirannya, bukanlah kandungan positif atau negatifnya pandangan penilaian, melainkan apakah kandungan positif atau negatifnya pandangan penilaian itu dapat membuat para spatlestis atau stigmatis termotivasi. Bukan terfolusi.    

Tidak ada manusia maha tahu, yang mengetahui seluruh aktivitas, pengalaman atau kehidupan orang lain. Karena itu setiap manusia tidak lepas dari spatles dan stigma. Apa yang dapat dilakukan oleh para spatlestis atau stigmatis adalah bagaimana sikapnya terhadap pandangan penilaian orang tentang dirinya.

Kekeliuran dalam menyikapi penilaian orang lain tentang dirinya, entah spatles atau stigma, keduanya dapat menempatkan para spatlestis atau stigmatis pada kegagalan. Kunci utama dalam menyikapi spatles atau stigma yang bisa dilalukan oleh para spatlestis atau stigmatis agar tidak keliru langkah adalah dengan motivasi diri yang terus terjaga.         

***

Referensi

Indonesia, Yayasan AIDS. 2020. "Stigma", https://www.yaids.com/stigma/, diakses pada tanggal 14 Desember 2022 pukul 17.09

Kamus. 2022. Pada KBBI Daring. Diakses pada tanggal 6 Desember 2022, dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pleonasme

Kamus. 2022. Pada KBBI Daring. Diakses pada tanggal 6 Desember 2022, dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/stigma

Kristiono, Joko. 2015. "Fra Elia, Stigmatis Jaman Kini", https://www.kompasiana.com/jokokristiono/54f45fca7455137b2b6c8ae7/fra-elia-stigmatis-jaman-kini, diakses pada tanggal 14 Desember 2022 pukul 17.56

Kusno, Gustaaf. 2015. "Mengatakan 'Stigma Negatif', Sudah Tepatkah?", https://www.kompasiana.com/gustaafkusno/551b3337a33311ea21b65dc9/mengatakan-stigma-negatif-sudah-tepatkah, diakses pada tanggal 14 Desember 2022 pukul 18.06

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun